Warga lereng Gunung Gede Pangrango menolak adanya proyek panas bumi (geotermal) yang berdampak negatif ke masyarakat. Akibatnya, mereka menerima banyak intimidasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan.
Proyek geotermal di kawasan Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat memicu penolakan keras dari warga sekitar. Sebab, proyek tersebut diklaim memberikan dampak buruk bagi kehidupan warga. Misalnya, sumber mata air menjadi kering, pencemaran udara akibat pembuangan limbah, hingga menimbulkan gempa bumi.
Anggota Gerakan Surya Kencana (GSK), Cece Jaelani mengatakan, warga kerap melontarkan kritik dalam bentuk spanduk penolakan di beberapa lokasi dan menggelar aksi demonstrasi. Namun, penolakan warga terhadap proyek geotermal acap kali mendapat intimidasi hingga kriminalisasi dari pihak PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP).
Cece mengungkapkan, dirinya sempat dilaporkan kepada pihak kepolisian, dengan tuduhan penghasutan kepada warga Gunung Gede. Sembari menyeruput kopi, ia menceritakan kembali sebab musabab kriminalisasi terhadap dirinya.
Mulanya pada tanggal 1 Agustus 2024, di sela-sela kesibukannya berkebun, Cece mendapat kabar bahwa pemerintah Desa Cipendawa akan mengadakan pertemuan tertutup dengan pihak perusahaan terkait proyek geothermal. Sebelumnya, pertemuan itu direncanakan di rumah Ketua RT, tetapi lokasi dipindahkan ke kantor desa pada 2 Agustus 2024.
“Merasa perlu mendapatkan kejelasan, saya bersama warga lainnya mendatangi kantor desa pukul 13.00 WIB. Tujuannya untuk mempertanyakan isi pertemuan tersebut,” tuturnya saat diwawancarai Tim Didaktika pada Minggu (9/2).
Setibanya di kantor desa, Cece bersama warga melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk kekecewaan terhadap minimnya transparansi mengenai proyek geotermal. Tepat satu jam setelah aksi, aparat keamanan datang untuk mengamankan kondisi di kantor desa.
Baca juga: Asmania dan Perlawanan Perempuan Pulau Pari terhadap Perampasan Ruang Hidup
Sebulan setelahnya, tepat pada 2 September 2024, Cece mendapat surat panggilan dari Polisi Sektor (Polsek) terkait demonstrasi yang dilakukannya. Ia diberi waktu 3-4 hari untuk memenuhi pemanggilan pertama. Namun, karena kondisi di rumahnya tidak stabil membuatnya berhalangan menghadiri pemanggilan tersebut.
“Karena saya tidak memenuhi pemanggilan pertama, pihak kepolisian kembali datang untuk menyerahkan surat panggilan kedua. Sedangkan di waktu yang sama, sejumlah teman saya mengaku melihat lima orang asing memantau situasi di sekitar rumah saya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, setelah berdiskusi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Cece akhirnya memenuhi panggilan kedua dengan didampingi oleh LBH Bandung. Saat proses pemeriksaan, ia dijerat Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Penghasutan di Muka Umum.
Cece merasa tuduhan tersebut tidak berdasar. Pasalnya, aksi demonstrasi yang dilakukan berlangsung damai tanpa adanya tindak kekerasan atau perusakan fasilitas publik.
Pasca pemeriksaan oleh pihak kepolisian, Cece justru mendapatkan tekanan lebih besar. Dirinya mulai menerima banyak teror telepon dari nomor tak dikenal yang berlangsung selama sebulan penuh.
Tak hanya dirinya, para pemuda yang sebelumnya aktif menyuarakan penolakan proyek ini turut mengalami intimidasi. Imbasnya, mereka mulai menghindari pembahasan ihwal proyek geotermal.
Selain itu, warga dipaksa menjual lahan mereka dengan harga Rp250.000 oleh makelar yang bekerja sama dengan pihak perusahaan. Bagi Cece, penawaran tersebut lebih rendah dari harga pasar yang mencapai lebih dari Rp500.000 per meter,
“Karena kerap diintimidasi, warga mau tidak mau terpaksa menjual lahan dengan harga rendah. Seingat saya hingga Januari, ada sekitar 23 warga yang menjual lahannya. Walaupun pihak perusahaan mengklaim baru delapan warga yang menjualnya,” pungkas Cece.
Gayung bersambut, Koordinator Bidang Pertanian GSK, Aryo Primo mengatakan kriminalisasi yang dialami Cece oleh PT DMGP bukanlah satu-satunya tekanan yang terjadi. Intimidasi juga dialami oleh warga Desa Cipendawa.
Baca juga: Ironi Reklamasi: Nestapa Pulau Pari dalam Cengkeraman Korporasi
Melalui strategi adu domba, ucap Aryo, pihak PT DMGP berupaya memecah belah warga. Caranya dengan memberikan uang suap kepada sejumlah warga.
“Akibatnya, warga yang menerima suap mulai berkonflik dengan warga yang menolak proyek. Ini cara kotor perusahaan untuk melemahkan perlawanan,” ungkapnya kepada Tim Didaktika, pada Sabtu (8/2).
Menanggapi permasalahan tersebut, Tim Advokasi LBH Bandung, Andi Dava memandang upaya itu sebagai sebuah strategi yang dilakukan oleh perusahaan guna melemahkan perlawanan warga. Perusahaan juga kerap mengancam warga dengan jerat hukum.
“Kalau ada warga yang aksi, pakai saja pasal penghasutan. Kalau ada warga yang menyebar informasi pakai sosmed, pakai UU ITE,” terang Dava ketika diwawancarai melalui Zoom Meeting, pada Jumat (14/2).
Dava menambahkan, dalam upaya melawan tekanan dari pihak perusahaan, perlu adanya penguatan kesadaran hukum bagi masyarakat. Sebab, warga harus memahami bahwa perjuangan mereka dalam mempertahankan lingkungan adalah hak yang dilindungi undang-undang.
“Tindakan warga dalam menolak proyek geotermal tidak salah. Seharusnya warga dilindungi undang-undang karena berusaha mempertahankan lingkungan, bukannya malah diancam atau dikriminalisasi,” pungkasnya.
Reporter/ Penulis: Shari Angelica Nababan
Editor: Anna Abellina Matulessy