Di tengah perdebatan mengenai pemberian Doktor Honoris Causa, isu UNJ yang ingin menjadi PTN-BH justru kian tersingkirkan.

Perdebatan tentang pemberian gelar Doktor Honoris Causa (HC) kepada sejumlah pejabat, menyeruak di Universitas Negeri Jakarta. Berawal dari adanya agenda pembahasan tentang pemberian gelar tersebut pada rapat pleno Senat UNJ pada Kamis (14/10) yang ditolak oleh aliansi dosen UNJ. Pemberitaan mengenai hal tersebut kemudian menjadi isu publik yang ramai di media massa arus utama.

Perdebatan terus berlanjut. Masing-masing pihak saling adu rilis. Namun, menjadi tak berujung. Sampai, pihak kampus membuat pertemuan yang bertajuk sarasehan dalam membahas regulasi pemberian gelar HC tersebut.

Namun, terlihat ada yang hilang dalam tiap pembahasan gelar HC. Perdebatan yang muncul hanya soal “mempertahankan marwah akademik universitas” dengan segala tetek bengeknya. Namun, tidak sedikitpun menyentuh akar persoalan terkait tata kelola pendidikan tinggi.

Regulasi terkait pemberian gelar HC tertulis dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pasal 27 ayat (1), yang berbunyi: “Selain gelar doktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) huruf c, Perguruan Tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan kepada perseorangan yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasajasa yang luar biasa dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan/atau berjasa dalam bidang kemanusiaan.”

Regulasi yang lebih terperinci tertuang dalam Permenristekdikti Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. Dalam aturan tersebut, yang menjadi syarat adalah perguruan tinggi harus memiliki program doktor yang terakreditasi A. Selain itu, memiliki program doktor yang terkait dengan gelar doktor kehormatan yang akan diberikan. Pasal 2 ayat (3) peraturan tersebut memberikan wewenang kepada kampus terkait tata cara dan persyaratan pemberian gelar doktor kehormatan.

Iklan

Sementara itu, dalam Permenristekdikti Nomor 42 Tahun 2018 tentang Statuta UNJ Pasal 22 ayat (1), UNJ dapat memberikan gelar kehormatan kepada seseorang yang memiliki jasa luar biasa dalam bidang IPTEK dan kemanusiaan. Serta, UNJ berhak mencabut gelar yang sudah diberikan.

Polemik terjadi, diantaranya terkait pedoman yang mengatur tata cara pemberian gelar Dr HC. Dalam Peraturan Rektor UNJ Nomor 10 Tahun 2019 Tentang Gelar dan Penghargaan pasal 22 ayat (1) dan (2), yakni usulan pemberian gelar Dr HC harus dari program studi doktor yang memiliki akreditasi unggul atau A dan memiliki profesor tetap.

Perdebatan kedua belah pihak, antara Aliansi Dosen UNJ dengan jajaran pejabat kampus adalah Ma’ruf Amin dan Erick Thohir dianggap tidak layak bagi Aliansi untuk diberikan gelar kehormatan. Dalam kasus Ma’ruf Amin bahkan, tidak ada program studi doktor terakreditasi A yang terkait dengan gelar kehormatan yang akan diberikan. Aliansi Dosen UNJ pun mempertanyakan terkait pengusulan gelar kehormatan ini.

Polemik lainnya muncul dalam Pedoman Pengusulan Jabatan Guru Besar Tetap dan Tidak Tetap serta Penganugerahaan Doktor Kehormatan Tahun 2021 (konon pedoman ini belum ditandatangani rektor dan ketua senat). Dalam dokumen tersebut tertulis bahwa pemberian gelar Doktor Kehormatan tidak diberikan oleh UNJ yang sedang menjabat dalam pemerintahan sebagai cara untuk menjaga moral akademik UNJ. Pedoman inilah yang akan diamandemen berdasarkan hasil keputusan rapat pleno senat UNJ.

Baca Juga: Bagi-Bagi Gelar Honoris Causa, Aliansi Dosen UNJ Kembali Menolak

Akan tetapi, terlepas dari bermoral atau tidaknya universitas memberikan gelar kehormatan kepada pejabat, patut diakui pemberian gelar kehormatan tersebut sah menurut peraturan yang ada di Republik indonesia. Bahkan, kampus diberikan keleluasaan untuk mengatur tata cara dan syarat-syarat lainnya dalam memberikan gelar kehormatan ini. Kelonggaran inilah yang kerap dimanfaatkan oleh kampus untuk memasukan kepentingan-kepentingan politik praktis dalam pemberian gelar kehormatan. Artinya, analisis yang diajukan seharusnya melampaui peraturan-peraturan yang ada, yaitu harus kembali menggugat keabsahan logika otonomi dalam mengelola universitas.

Otonomi kampus tumbuh berkembang bersama semangat liberalisme pendidikan. Gelora liberalisme pendidikan pun muncul dari kiat-kiat yang disajikan oleh WTO, ketika Indonesia mengalami fase krisis pada 1997-1998. Resep yang diajukan adalah menjadikan sektor-sektor publik, salah satunya sektor pendidikan menjadi bidang usaha jasa.

Resep tersebut kemudian diamini oleh hampir seluruh universitas di Indonesia. Sehingga, perguruan tinggi negeri di Indonesia terbagi ke dalam tiga jenis berdasarkan otonominya, yaitu PTN-BH, PTN BLU, dan PTN Satuan Kerja (Satker).

Sederhananya, liberalisme pendidikan ditandai dengan reduksi peran dan tanggung jawab negara dalam mengelola perguruan tinggi. Perguruan tinggi dituntut untuk mampu mencari penghasilan secara mandiri melalui pengelolaan aset dan pembiayaan dari masyarakat. Hal tersebut dilakukan dalam upaya mewujudkan perguruan tinggi yang otonom.

Adanya ambisi soal otonomi yang sudah mendarah daging di universitas, tanpa telaah mengenai kepentingan yang masuk di dalamnya, membuat universitas terjebak ke dalam mekanisme pasar bebas. Upaya mencari dana dengan tujuan mengambil untung demi berjalannya universitas pun terjadi.

Iklan

Universitas akhirnya menjadi wadah transaksional. Riset-riset digenjot dalam upaya mencari untung, bukan demi kebermanfaatannya. Banyak program studi dibuat, cuma sebab sejauh mana program studi tersebut digemari. Sehingga, universitas tidak segan untuk mematok harga tinggi di beberapa program studi ramai peminat. Begitupun dengan pemberian gelar kehormatan yang ramai diperbincangkan saat ini. Memang tidak semata karena prestasi akademik maupun kemanusiaan, apalagi mempertimbangkan marwah universitas, tapi soal kebermanfaatan yang didapatkan universitas, baik secara politik maupun ekonomi.

Ambisi UNJ Menuju PTN-BH

Sebenarnya, rapat pleno senat tidak hanya membahas soal pemberian gelar doktor kehormatan tersebut. Namun, juga membahas soal percepatan UNJ menuju PTN-BH. Namun, ironisnya, pembahasan tersebut tidak muncul ke permukaan bahkan di kalangan mahasiswa. Padahal, resiko menjadi PTN-BH salah satunya adalah kenaikan biaya kuliah yang harus dibayar oleh mahasiswa tiap tahun. Sebab, alokasi subsidi dari pemerintah dikurangi.

Pada laporan keuangan UNJ tahun 2019, pemasukan yang didapatkan UNJ masih didominasi oleh dana jasa layanan pendidikan, yakni Rp332.454.522.641. Sementara itu pada 2020, meski memasuki babak pandemi Covid 19, hasil Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) 2020 menyatakan bahwa UNJ merealisasikan Rp386.613.419.900 dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satu aspek yang masuk ke dalam PNBP adalah biaya kuliah yang dibayar oleh mahasiswa tiap tahunnya.

Berdasarkan data tersebut, sumber PNBP UNJ didominasi dari jasa layanan pendidikan. Fenomena-fenomena untuk mendongkrak pemasukan melalui jalur tersebut pun bisa ditelusuri dari pemberlakuan Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) sejak 2018. Hingga saat ini, UNJ menetapkan besaran minimum SPU pada enam program studi ramai peminat.

Gairah UNJ menjadi PTN BH semakin meningkat ketika adanya Permendikbud No. 4 Tahun 2020 (revisi atas Permendikbud No. 88 Tahun 2014) tentang Perubahan PTN menjadi PTN-BH. Pada aturan tersebut, terjadi perubahan di bagian persyaratan. Awalnya, salah satu syarat untuk menjadi PTN-BH adalah mempunyai program studi minimal 80% yang terakreditasi unggul. Sedangkan kini, syarat tersebut dikurangi hanya menjadi 60%.

Dalam situasi demikian, bukan sesuatu yang mengejutkan jika berbicara bahwa pendidikan sudah selayaknya jual-beli barang dagang, dengan kata lain komodifikasi pendidikan. Pola permintaan-penawaran nampak jelas.

Sehingga, munculnya pemberian gelar doktor kehormatan yang ramai diperbincangkan saat ini dilandasi dengan logika transaksional. Ditambah lagi, masuknya kepentingan-kepentingan politik praktis di dalam pendidikan tinggi. Misalkan, pemerintah berupaya untuk menanamkan pengaruh supaya kampus hanya menjadi ruang penyebaran kepentingannya, bukan lagi menjadi ruang akademik yang kritis dan politis, berpihak pada rakyat dan kebenaran.

Memperdebatkan pemberian gelar kehormatan sebatas bicara soal regulasi, merupakan hal yang tidak menyentuh akar persoalan. Upaya keras memberikan gelar doktor kehormatan juga menjadi agenda yang tidak substansial. Begitupun, mempertanyakan tentang siapa yang mengusulkan pemberian gelar tersebut juga tak ada artinya.

Sebab, keduanya pun terjebak dalam transaksi politik elit. Nampaknya, visi kerakyatan yang seharusnya hidup di Universitas sudah sepenuhnya mati. Semua sangat peduli dengan pemberian gelar kehormatan, namun tak ada yang peduli potensi kenaikan uang kuliah ketika kampus menjadi PTN-BH dan terjebak dalam persaingan pasar bebas. Kampus harus berdiri di tengah kehidupan rakyat, dengan pengajaran untuk rakyat, penelitian untuk rakyat, dan mengabdi kepada rakyat.

Penelitian mengenai dampak liberalisasi pendidikan lebih komprehensif lagi dibahas oleh Galih R. N. Putra, mantan mahasiswa UI, di skripsinya. Dalam skripsi yang kemudian menjadi buku berjudul Politik Pendidikan, adanya reduksi peran negara mengakibatkan angka partisipasi pendidikan bagi kalangan miskin makin sedikit. Perguruan Tinggi masih didominasi oleh kalangan menengah ke atas yang notabene berdomisili di wilayah perkotaan. Pemerataan pendidikan, baik secara ekonomi maupun geografis akhirnya menjadi utopia belaka.

Spirit Pendidikan Adalah Kerakyatan

Kembali ke spirit yang paling mendasar dalam menyelenggarakan pendidikan di Indonesia, yang termaktub jelas dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Secara eksplisit, hal itu menunjukan adanya hak bagi setiap warga negara dalam memeroleh pendidikan, dan itu menjadi tanggung jawab bagi negara.

Bila kita menoleh ke ajaran Ki Hajar Dewantara, ketika pidato dalam menjelaskan tujuan pendirian Taman Siswa, salah satu butir yang dikemukakan adalah bahwa pendidikan harus untuk semua orang, bukan hanya segelintir orang saja. Jika yang mendapat pendidikan hanya kelas atas, bangsa tidak akan tumbuh kuat. Pendidikan harus dimulai dari bawah, penyebarannya di kalangan itu adalah yang paling diperlukan supaya bangsa menjadi lebih tertib dan kuat.

Landasan-landasan inilah yang harus menjadi arah politik pendidikan di Indonesia. Bahwa sejatinya, tujuan adanya pendidikan adalah untuk rakyat seutuhnya, dan utamanya bagi kelompok-kelompok yang tidak mampu. Pendidikan harus menjadi ruang emansipatoris bagi kelompok tertindas, bukan menjadi kepanjangan tangan dari si penindas.

Semangat otonomi dengan mereduksi peran negara dalam pembiayaan pendidikan tinggi di tengah  realitas kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi, akhirnya membuat akses terhadap pendidikan tinggi menjadi semakin sulit. Hal tersebutlah yang kemungkinan besar terjadi di kampus eks-IKIP Jakarta ini ketika menjadi PTN-BH. Bahkan ironisnya, belum menyandang status PTN-BH saja, UNJ sudah mematok harga tinggi di beberapa program studi untuk mendulang keuntungan.

Kemungkinan-kemungkinan tersebutlah yang harus menjadi bahan refleksi bersama. Sebab, itu adalah bagian yang paling dekat dengan kehidupan mahasiswa. Pergerakan dalam mewujudkan revolusi pendidikan harus kembali digaungkan, dengan menolak segala bentuk liberalisasi, privatisasi, serta komersialisasi di pendidikan tinggi. Sekali lagi, visi universitas yang sejati adalah kerakyatan.

 

Penulis  : Ahmad Qori H.

Editor    : Hastomo Dwi P.