Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) sudah sebelas tahun diberlakukan. Namun, sistem tersebut melenceng dari semangat awalnya yang berasas keadilan. Terbukti, banyak mahasiswa merasa keberatan dengan UKT yang sudah ditetapkan.
Pemerintah menetapkan Undang-undang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 karena pendidikan tinggi memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tertulis dalam pasal 3 ayat d bahwa pendidikan tinggi harus berasaskan keadilan.
Asas keadilan yang dimaksud adalah menyediakan kesempatan yang sama kepada semua warga negara Indonesia tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi. Untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang berasaskan keadilan, pendidikan tinggi diselenggarakan dengan prinsip keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu.
Hal itu dimaktubkan dalam bagian pembiayaan dan pengalokasian perguruan tinggi di pasal 88 ayat 4. Tertulis jelas biaya yang ditanggung mahasiswa harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya.
Merespon undang-undang pendidikan tinggi tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyusun Permendikbud Nomor 55 Tahun 2013, yang memulai sistem pembayaran baru yang bernama Uang Kuliah Tunggal (UKT). Mahasiswa akan mendapat kelompok UKT sesuai dengan kemampuan ekonominya.
Sejak penerapannya permendikbud yang membahas UKT telah mengalami 11 kali pergantian. Lalu tahun ini, muncul Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Dalam peraturan tersebut, pemerintah mulai menetapkan tarif nasional sebagai pertimbangan golongan UKT. Aturan baru tersebut memicu kenaikan UKT di banyak PTN, meski kenaikannya ditunda tidak tahun ini.
Implementasi UKT di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), membuat mahasiswa terbagi menjadi 8 golongan. Untuk golongan I dan II nominal UKT setiap prodinya sama, yaitu Rp500 ribu dan Rp1 juta. Sedangkan untuk golongan III-VIII memiliki nominal berbeda-beda. UKT dengan nominal tertinggi berada pada prodi Bisnis Digital menyentuh Rp12 juta.
Baca juga: Dompet Kosong Negara Membiayai Perguruan Tinggi
Mekanisme penentuan UKT di UNJ ditetapkan oleh Sistem Informasi Uang Kuliah Tunggal (SIUKAT). Setiap calon mahasiswa baru wajib mengisi formulir pengisian biodata dan data ekonomi beserta dokumen pendukung secara daring melalui SIUKAT untuk penetapan UKT.
Dokumen pendukung yang harus diserahkan antara lain, foto calon mahasiswa, KTP orang tua, slip gaji orang tua, Kartu Keluarga, Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terbaru atau surat perjanjian kontrak hunian, tagihan listrik tiga bulan terakhir, STNK motor dan mobil. Apabila tidak bersedia mendapat UKT di golongan atas, mahasiswa harus membuat surat pernyataan kebenaran data dengan tanda tangan dua tetangga serta RT dan RW.
Semangat awal pengaturan UKT yang mengacu pada asas berkeadilan nampaknya belum terwujud. Masih banyak mahasiswa merasa golongan UKT yang didapat tidak sesuai dengan kemampuan ekonomi. Hal tersebut dibuktikan melalui survei mandiri dari mahasiswa di tiga perguruan tinggi negeri.
LPM Didaktika melakukan survei di UNJ dengan total sampel 752 mahasiswa, Aliansi UNY Bergerak di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan sampel 1020 mahasiswa , dan Kelompok Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan sampel 582 mahasiswa. Ketiga survei ini mempunyai kemiripan secara metodologi dan pertanyaannya.
Dalam pertanyaan mengenai kesesuaian golongan UKT, sebanyak 66,4 persen mahasiswa UNJ dan 88,7 persen mahasiswa UIN Yogyakarta merasa golongan UKT miliknya tidak sesuai dengan kemampuan ekonominya. Tidak jauh berbeda sebanyak 97,80 persen mahasiswa UNY merasa keberatan dengan perolehan UKT miliknya.
Dari ketiga survei diketahui rata-rata golongan UKT mahasiswa UIN Yogyakarta dan UNY mempunyai kesamaan, yaitu di golongan VII dengan nominal masing-masing 25,10 persen dan 29,28 persen. Sedangkan mahasiswa UNJ mempunyai rata-rata UKT di golongan III sebanyak 30,20 persen. Namun rata-rata besaran UKT UNJ tertinggi di golongan III mencapai Rp5,3 juta. Melompat jauh dari golongan II yang sebesar Rp1 juta.
Melihat hasil survei Tim Didaktika, sebanyak 29,40 persen rata-rata penghasilan orang tua mahasiswa UNJ sebesar Rp3-5 juta. Di sisi lain, Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta tahun 2024 kurang lebih senilai Rp5 juta. Dengan demikian, besaran UKT golongan III di UNJ bahkan di atas penghasilan rata-rata orang tua mahasiswa dan di atas UMR DKI Jakarta.
Hasil survei KMPD UIN Yogyakarta menunjukan sebanyak 22,68 persen mahasiswa yang memiliki penghasilan di antara Rp 0 – 2 juta mendapat UKT di golongan V, VI, dan VII, yang berkisar Rp 4 – 7,5 juta. Terdapat ketimpangan antara penghasilan orang tua dan UKT yang harus dibayarkan. Tidak hanya itu, Nominal UKT tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta tahun 2024 yang hanya Rp2,1 juta.
Dalam survei Aliansi UNY Bergerak mahasiswa harus mencari sumber pendanaan lain untuk membayar. Di UNY sendiri sebanyak 50,05 persen mahasiswa harus bekerja hanya untuk membayar UKT. Kemudian, ada pula yang berutang 24,11 persen dan rela menjual barang 12,82 persen agar tetap bisa berkuliah.
Lalu, untuk rata-rata pengeluaran bulanan, baik di UIN Yogyakarta dan UNJ mayoritas mahasiswa harus mengeluarkan sebanyak Rp500 ribu – Rp1 juta, masing-masing 41,50 persen dan 48,50 persen. Setiap bulan mahasiswa harus mengeluarkan uang sebesar itu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Belum lagi UKT yang harus dibayarkan per semester.
Salah satu responden mahasiswa UNJ, menceritakan keluh kesahnya mengenai pembayaran UKT. Seorang mahasiswa FIS angkatan 2020 mengaku selalu sulit membayar UKT. Ia merasa UKT golongan VII sebesar Rp9,3 juta per semester tidak sesuai dengan ekonomi keluarganya. Orang tuanya bercerai, ayahnya tidak selalu mengirim uang sedangkan ibunya tidak bekerja. Belum lagi, kedua adiknya masih bersekolah dan neneknya yang sudah tua ditanggung keluarganya.
Baginya, setiap pergantian semester seperti neraka. Dirinya selalu meminta penurunan golongan UKT ke kampus. Namun, ia hanya mendapat keringanan penundaan pembayaran dan di semester ini mendapat keringanan mengangsur. Tagihan angsuran yang harus dibayar semester ini senilai Rp4,65 juta dan untuk membayar, ibunya harus mencari pinjaman.
Mirisnya, saat ingin membayar angsuran ia malah mendapat tagihan sebesar Rp41,85 juta. Hal itu karena selama beberapa semester dirinya mendapat penundaan pembayaran. Sebelum membayar angsuran ia harus membayar penundaan dulu sehingga tagihannya berjumlah sebanyak itu.
Demi membayar UKT, ibunya harus menjual rumah meski sampai saat ini belum juga laku. dirinya mengaku sudah tidak tahu lagi harus mencari bantuan ke mana. Ia hanya bisa berharap mendapat bantuan dari pihak kampus terkait UKT meski dengan berbagai persyaratan administrasi.
Baca juga: Malapetaka Ketidaksesuaian Penggolongan UKT
Berdasarkan kisah dan ketiga hasil survei di atas, dapat terlihat bagaimana sulitnya mahasiswa menempuh pendidikan tinggi. Kesimpulan yang terjadi bahwa penggolongan UKT belum menyelesaikan masalah. UKT yang seharusnya mempunyai asas berkeadilan nyatanya belum adil untuk semua mahasiswa.
Pakar Pendidikan, Eko Prasetyo mengkritisi permasalahan UKT saat diwawancara Tim Didaktika pada (6/6). Menurutnya, penggolongan UKT bersifat diskriminatif karena mahasiswa tidak ikut terlibat dalam perumusannya. Akibatnya, mahasiswa tidak tahu berapa nominal golongan UKT yang seharusnya didapatkan.
Selain itu, tidak transparannya penggolongan UKT menurut Eko membuat adanya konflik horizontal antar mahasiswa. Akhirnya mahasiswa hanya membandingkan diri satu sama lain. Mempertanyakan kenapa golongan UKT-nya lebih tinggi dibanding mahasiswa lainnya yang mempunyai nasib sama.
Mengenai politik kebijakan pengenaan biaya kuliah, Eko turut merasa kebijakan yang dibuat pemerintah kurang melibatkan partisipasi publik. Menurutnya, pengenaan biaya kuliah mesti transparan dan publik lebih dilibatkan. Sistem UKT yang sudah dibuat harusnya terus dievaluasi.
“Kebijakan pengenaan biaya kuliah mestinya transparan dan melibatkan partisipasi publik. Pemerintah kalau tidak ada tekanan dari publik, kebijakannya tidak akan dievaluasi,” pungkas Eko.
Reporter/Penulis: Adinda Rizky
Editor: Ihsan Dwi Rahman