Pembatalan kenaikan UKT hanya solusi sementara. Lebih jauh, negara harus meningkatkan proporsi pembiayaan di perguruan tinggi negeri (PTN).
Kael Sigalingging harus mengubur rapat-rapat angannya untuk berkuliah. Laki-laki yang baru menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun ini. Ia kaget saat tahu Universitas Riau (UNRI) membebaninya dengan uang kuliah tunggal (UKT) kelompok 7 sebesar Rp 14,1 juta.
Kael merupakan anak petani sawit asal Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Nominal UKT yang tinggi membuatnya bingung, mengapa dirinya ditempati universitas ke dalam kelompok tersebut. Padahal pendapatan keluarganya hanya berkisar 1 hingga 1,5 juta per bulan. “Saya waktu ngecek tanggal 15 itu, langsung lemas Kak,” ujar Kael kepada Didaktika lewat sambungan telepon.
Lulusan dari SMAN 1 Batang Gansal tersebut tergolong siswa berprestasi. Sejak kelas 10 nilainya konstan naik. Kael juga menggemari pelajaran kimia di sekolah, pada penghujung Maret 2024 Kael dinyatakan lulus SNBP jurusan D3 Teknik Kimia di Universitas Riau.
Anak keempat dari lima bersaudara ini menjadi yang pertama berhasil lolos ke jenjang perguruan tinggi. Ketiga kakaknya tidak ada yang berkuliah, sementara satu adiknya masih di jenjang SMA.
Meski dalam perkembangan terakhir, UNRI menurunkan golongan UKT-nya menjadi kelompok 5 dengan nominal Rp 8,8 juta, Kael dan keluarga masih merasa berat dengan besarannya. “Bapak itu penghasilannya tidak menentu. Apalagi nanti harus menanggung biaya hidup di Pekanbaru (UNRI).”
Jarak antara rumahnya di Keritang dengan Ibukota Riau mencapai 270 kilometer. Bila menggunakan sepeda motor waktu tempuhnya adalah enam jam. Kael merasa dilema, jika ia memaksakan diri membayar UKT dengan nominal tersebut, sebab biaya hidup kedepannya ketika sudah aktif berkuliah juga tak sedikit.
Kael mengaku, nominal UKT yang masih mampu dipenuhi keluarganya berada di rentang Rp 1 juta sampai Rp 3 juta. Ketimbang memaksakan diri membayar uang kuliah di luar kemampuannya, Kael berencana untuk mencari kerja dan mencoba tes tulis di tahun depan untuk mendaftar universitas. “Kayaknya pun nanti gak di UNRI, tapi coba di UIN atau yang lain,” tuturnya.
Pupusnya harapan Kael mengenyam bangku perkuliahan disebabkan oleh hadirnya Permendikbudristek No. 2 tahun 2024 yang memicu kenaikan biaya kuliah di banyak PTN. Meskipun pada akhirnya kenaikan ditunda sementara setelah pertemuan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim dan Presiden Joko Widodo, namun kebijakan tersebut tidaklah dicabut.
Nadiem Makarim dalam siaran pers yang dirilis pada Senin (27/5) memutuskan pembatalan kenaikan UKT di seluruh PTN. Hal tersebut ia sampaikan setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo.
“Kemendikbudristek pada akhir pekan lalu telah berkoordinasi kembali dengan para pemimpin perguruan tinggi guna membahas pembatalan kenaikan UKT dan alhamdulillah semua lancar. Baru saja saya bertemu dengan Bapak Presiden dan beliau menyetujui pembatalan kenaikan UKT. Dalam waktu dekat Kemendikbudristek akan mengevaluasi ajuan UKT dari seluruh PTN,” ungkapnya.
Adapun, Nadiem beralasan kenaikan UKT mempertimbangkan penyesuaian Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024. Kenaikan UKT ini juga mempertimbangkan meningkatnya kebutuhan teknologi untuk pembelajaran.
Di hari yang sama, Direktur Jenderal Perguruan Tinggi dan Teknologi, Abdul Haris juga mengeluarkan surat keputusan nomor 0511/E/PR.07.04/2024 mengenai pembatalan kenaikan UKT. Dengan demikian, surat rekomendasi UKT yang dikeluarkan Kemendikbudristek pada rentang 25 Maret hingga 16 Mei untuk 75 kampus PTN secara resmi dibatalkan.
Baca juga: Tetap Konsisten Menggugat Permendikbud Ristek No.2 Tahun 2024
Tim Hukum Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS), Adhi Bangkit Saputra mengatakan pembatalan kenaikan UKT yang dilakukan hanya sebatas penenang hati mahasiswa saja. Sebab pembatalan sebatas pada surat rekomendasi tarif UKT dari Kemendikbudristek, bukan peraturan hukumnya. “Ya kalau cuma pembatalan tanpa pencabutan itu kayak pepesan kosong aja,” ungkapnya pada Rabu (29/5).
Sebelum adanya pembatalan, kenaikan UKT di UNRI mencapai lebih dari 50%. Seperti jurusan yang dipilih Kael, pada 2023 UKT tertinggi hanya Rp 5.550.000 dengan enam kelompok golongan. Sedangkan tahun ini, UKT tertinggi mencapai Rp 27.600.000 dengan 12 kelompok golongan.
Kenaikan UKT terjadi di seluruh prodi, nominalnya pun berbeda-beda. Khariq Anhar dari Aliansi Mahasiswa Penggugat mengatakan kenaikan UKT di UNRI mencapai 4 sampai 5 kali lipat. Belum lagi nominal IPI bagi mahasiswa jalur mandiri, yang jumlahnya berada di rentang belasan hingga ratusan juta.
Akibat dari kenaikan UKT yang signifikan sebelumnya, sampai berita ini diturunkan, terdapat 50 orang mahasiswa baru yang masih belum bisa membayar uang kuliahnya. Padahal tenggat masa pembayaran sudah usai pada Senin (20/5) lalu. “Makin lama orang miskin seperti saya tidak bisa kuliah,” ungkap Khariq pada Minggu (5/5).
Kenaikan UKT juga melanda beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) lain, seperti kampus Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED). Mahasiswa UNSOED, Balqis Zakiyyah mengatakan di kampusnya kenaikan UKT berkisar antara tiga hingga lima kali lipat. “Naiknya sangat drastis, ini sangat mempengaruhi teman-teman mahasiswa baru,” ungkapnya pada Selasa (7/5) .
Sumber: UKT Unri & Unsoed; Diolah oleh LPM Didaktika
Bagi Balqis, kenaikan UKT di UNSOED membuat mahasiswa baru merasa terjebak, sebab pengumuman besaran biaya kuliah baru dikeluarkan setelah mereka selesai mendaftar. Sehingga, mau tidak mau, mereka harus membayar. Balqis takut bila akhirnya mahasiswa baru yang tidak sanggup membayar pada akhirnya menarik diri.
“Mereka kan tahunya kita kampus yang merakyat, tapi besaran UKT-nya sampai belasan juta,” ucapnya.
Balqis menyayangkan adanya lonjakan tinggi nominal UKT ini. Baginya, bila kenaikan sebesar ini berimbas pada masyarakat miskin di daerah Banyumas yang semakin sulit untuk berkuliah.
“Kita harus lihat ini merupakan cerminan pendidikan yang dikomersialisasi, hanya yang bisa bayar saja yang bisa berkuliah,” ungkap Balqis.
Masalah Belum Usai
Tim Hukum Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS), Adhi Bangkit Saputra mengkritik Nadiem yang selalu menggunakan logika mampu atau tidak dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Bagaimanapun pendidikan tinggi adalah hak masyarakat yang harus dipenuhi pemerintah. Dalam hal ini, negara harus memiliki porsi tanggung jawab lebih besar dibanding mahasiswa.
Dalam praktiknya, negara justru menjadi penyumbang yang lebih sedikit dibanding mahasiswa. Di beberapa kampus terlihat porsi pendapatan kampus sebagian besar ditopang dari bayaran UKT mahasiswa.
Data di atas menunjukkan rata-rata kampus negeri mengandalkan uang dari mahasiswa untuk pembiayaan operasionalnya. Negara hanya memberi subsidi sekitar 10 persen hingga 40 untuk membiayai operasional harian kampus kampus.
Bangkit melihat hal ini menjadi kegagalan pemerintah untuk memenuhi hak masyarakat. Ia mengatakan, jika pemerintah ingin secara serius merealisasikan pemenuhan hak atas pendidikan seharusnya terdapat perubahan regulasi serta tanggung jawab negara dalam praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi.
“Misalnya tidak boleh ada kenaikan 5-10 tahun. Kalau bisa 5 tahun sekali biaya kuliah diturunkan,” terang Bangkit.
Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan melihat pembiayaan terhadap PTN dari tahun ke tahun stagnan. Alhasil PTN harus mencari penghasilan sendiri untuk biaya operasionalnya. ”Cara paling mudah ya menaikkan uang kuliah dan sumbangan, karena menggali sumber pendanaan lain pasti tidak mudah,” katanya.
Data diambil dari berbagai sumber yang diolah oleh LPM Didaktika.
Baginya, pembatalan kenaikan UKT hanya bersifat sementara. Lebih jauh, pemerintah harus terlibat besar dalam pendanaan perguruan tinggi. Edi turut menyinggung soal sistem UKT yang seharusnya sudah dievaluasi. Bukan hanya perihal rentang dan penggolongan, lebih jauh juga soal keadilan penggolongan dan transparansi dalam penggunaannya.
“Perlu dievaluasi apakah dana yang terhimpun dari UKT digunakan sepenuhnya untuk mahasiswa atau justru untuk yang lain, apakah betul-betul kebutuhan primer dan sekunder mahasiswa dalam perkuliahan didukung oleh UKT yang mereka bayarkan,” ucapnya.
Baca juga: PLTGU Hancurkan Ruang Hidup Nelayan Pesisir Cilamaya Wetan
Edi juga mengingatkan peran pemerintah sebagai regulator perlu mematok besaran maksimal proporsi pendanaan dari mahasiswa agar PTN dapat dijangkau semua kalangan. “Idealnya pemerintah harus meningkatkan porsi pembiayaan di kampus negeri, baik PTN Satker, PTN BLU, maupun PTN-BH, karena PTN adalah amanat konstitusi dan harus dipandang sebagai investasi jangka panjang negara,” ungkapnya.
Pengamat Pendidikan, Eko Prasetyo juga menilai pembatalan kenaikan tidak ada artinya bila pola perumusan kebijakan masih tidak melibatkan partisipasi publik. Hal ini tercermin dari kenaikan yang mencapai 300 hingga 500 persen. Berbanding terbalik dengan pendapatan masyarakat maupun pertumbuhan ekonomi.
Eko juga turut menyinggung porsi anggaran pendidikan untuk PTN yang sangat sedikit. Justru anggaran pendidikan sejauh ini banyak terserap untuk kementerian dan lembaga lain. Hal ini menunjukkan komitmen semu negara untuk meningkatkan akses ke perguruan tinggi. Maka, bagi Eko penting untuk mendorong komitmen negara untuk terus berpihak kepada hidup hajat orang banyak yang ingin mengakses pendidikan.
“Komitmen negara itu harus didorong dan itu tidak ada lain, kecuali mahasiswa bergerak untuk menekan negara secara intens agar dia berpihak, ketimbang menyediakan susu sama makan siang gratis, mungkin gratiskan kuliah,” pungkas Eko.
Reporter/Penulis: Izam Komaruzaman
Editor: Mukhtar Abdullah