“Misal saya tidak bisa melaut, ya apa pekerjaannya. Jangan sampai saya nganggur gara-gara perusahaan ini.”
Pesisir Cilamaya Wetan memisahkan dua sungai besar, Sungai Cilamaya dan Kalen Bawah. Perairan di sekitar garis pantai sepanjang empat kilometer dijuluki nelayan sebagai lumbung ikan. Banyaknya tangkapan bukan hanya dimanfaatkan oleh nelayan di sana saja, namun ikut mengundang nelayan dari daerah lain, seperti Indramayu untuk menebar jala di pesisir Cilamaya Wetan.
Salah satu Nelayan Desa Muara, Mulyadi sangat mengingat julukan daerah Cilamaya Wetan sebagai gudang ikan. “Di situ (Pesisir Cilamaya Wetan) itu gudangnya ikan, gudangnya udang. Jangankan orang sini (Desa Muara) ya, orang Blanakan, orang Ciasem bilangnya ini gudangnya ikan. Sampai Indramayu juga ngatain di sini gudangnya ikan. Lumbungnya itu di sini,” kenangnya.
Selain memuntahkan ikan di perairan Cilamaya, pertemuan kedua aliran sungai juga membawa sedimen dan menyebabkan pengendapan alami di pantai. Hal ini tercatat dalam skripsi mahasiswa UI, Muhammad Naufal Nandaniko berjudul “Perubahan Garis Pantai Di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat”. Tulisan ilmiah itu menunjukkan total luasan akresi/pendangkalan 1998-2018 di wilayah Muara Baru, Muara, dan Cilamaya Wetan mencapai angka 195,67 Hektar.
Pendangkalan alami di satu sisi menjadi berkah bagi warga Cilamaya Wetan, sebab memunculkan area daratan baru yang disebut tanah timbul. Kemunculannya seringkali dimanfaatkan oleh warga lokal untuk membuka tambak di pesisir. Bahkan luasnya tanah timbul juga memunculkan Desa Muara Baru.
Seiring berjalannya waktu di tahun 2019, Jawa Satu Power (JSP) membangun PLTGU Cilamaya beserta perangkat pendukung terintegrasi di area perairan Cilamaya Wetan. Perangkat pendukung tersebut adalah pipa gas, pipa air pendingin, rumah pompa, jetty (terminal khusus), serta Floating Storage and Regasification Unit (FSRU).
FSRU merupakan kapal yang ditambatkan secara permanen di tengah laut, guna menerima pasokan gas alam cair/Liquefied Natural Gas (LNG). Gas cair ini selanjutnya akan diubah kembali sifatnya lalu kemudian disalurkan melalui pipa gas menuju PLTGU. Sedangkan jetty digunakan sebagai dermaga untuk memasok material konstruksi PLTGU.
Alih fungsi lahan untuk kebutuhan PLTGU pun terjadi sehingga memunculkan ketidakteraturan siklus pendangkalan. Hal ini disebabkan oleh kerja kapal pengeruk di pesisir yang membantu hilir mudik kapal pemasok material dan penanaman pipa.
JSP sendiri telah memperkirakan adanya proses sedimentasi akibat pengerukan lepas pantai, namun ini hanya dianggap angin lalu. Hal ini secara jelas tertulis dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), “Dengan adanya kegiatan pengerukan dan penempatan hasil keruk ini tidak akan merubah pola arus yang ada. Sehingga, perubahan pola sedimentasi bukan merupakan dampak penting hipotetik”. (hlm. 1-190)
Meski dipandang bukan merupakan dampak penting dugaan terjadinya sedimentasi, nyatanya pendangkalan di pesisir Cilamaya meluas dengan cepat. Sebab utama pendangkalan, yaitu aktivitas pengerukan yang dilakukan kapal Elang Biru 503. Kapal berukuran 944 gross register tonnage tersebut menggunakan pompa dan pipa celup, guna mengeruk lumpur di haluan kapal. Pompa dan pipa celup berbobot sekitar delapan setengah ton tersebut membuang lumpur hasil pengerukan, guna mempermudah akses kapal besar memasok material bangunan. Selain itu, pengerukan juga diperlukan untuk menanam pipa di dasar laut.
Pendangkalan berimbas pada profesi nelayan. Sejak terjadi aktivitas pengerukan Mulyadi mengaku pendapatannya menurun. Dahulu ia bisa mengantongi uang sejumlah Rp 200.000 sampai Rp 900.000 dari hasil tangkapan sekali melaut. Namun, kini tangkapannya berkurang imbas meluasnya pendangkalan di area tempatnya biasa menebar jala.
“Kaya udang dan ikan kecil hilang. Ikan besar seperti kakap putih juga hilang, karena ada pendangkalan ini,” keluh Mulyadi ketika ditemui di saung bersama teman-teman nelayannya.
Kapten kapal pendukung Meindo, Mail membenarkan dampak pendangkalan ini. Ia ikut bekerja dalam kegiatan konstruksi di tepi Cilamaya Wetan. Tugas utamanya membantu Elang Biru 503 mengarungi perairan dangkal. Kapal miliknya bekerja menarik Elang Biru 503 agar dapat efektif menyedot dan memuntahkan lumpur ke belakang kapal. Selain itu, Mail juga diberikan kerja tambahan membawa awak kapal serta tim peneliti PLTGU hilir mudik di perairan Cilamaya.
“Semenjak ada dredging-an ini, pergerakannya cepet banget. Sekarang aja bibir pantainya sudah mulai gerak jauh banget, tanaman udah pada muncul. Dulu tanaman di sebelah sini, sekarang mah tanaman sudah muncul semua di area situ. Berarti kan bekas dredging-an itu. Kan (Elang Biru 503) sedot depan buang belakang,” tutur Mail menjelaskan proses pengerukan bibir pantai pada Senin (27/11/23).
Sebelum ada proyek PLTGU, Mail juga berprofesi sebagai nelayan seperti Mulyadi. Pria berbadan tambun tersebut tinggal di Desa Muara baru dekat aliran Sungai Cilamaya. Setelah mendapatkan kabar adanya lowongan pekerjaan di PLTGU, Mail langsung mendaftarkan dirinya. Ia diterima sebagai Kapten kapal pendukung Meindo. Alih profesi ini dipilihnya, sebab jika bersikeras terus menjadi nelayan udang untung yang didapat sudah tak maksimal sejak meluasnya konstruksi ke daerah pesisir.
Bergaris lurus dengan ucapan Mail, nelayan seperti Mulyadi terbukti mendapat kesulitan dalam mencari tangkapan. Seringkali ia hanya berhasil menjala sedikit ikan dan udang, yang hasilnya bahkan tak mampu menutupi biaya membeli pertalite dan perbekalan selama melaut.
Mulyadi biasanya memulai persiapan untuk melaut dengan membeli bensin Pertalite, rokok, dan roti. Kebutuhan ini mengharuskan dirinya mengeluarkan modal awal sebesar Rp 70.000. Sejak masifnya kegiatan konstruksi, Mulyadi menjauhi daerah muara Sungai Cilamaya. Ia memilih jalur pelayaran ke timur perairan Cilamaya Wetan, yaitu daerah Karang.
Rute yang dipilihnya berangkat dari anggapan daerah pesisir Cilamaya Wetan sudah terlalu dangkal dan rawan kapal terkena ranjau dalam bentuk material PLTGU, seperti pelampung besi, pipa, dan kapal kecil milik PLTGU. Belakangan ranjau membuat satu kapal nelayan Desa Cilamaya tenggelam. PT Meindo Elang Indah sebagai penanggung jawab konstruksi lepas pantai memberikan kompensasi sebesar Rp 10 juta kepada pemilik kapal. Selain itu, kehadiran ranjau seringkali membuat jaring nelayan tersangkut dan rusak.
Meskipun sudah berusaha menjauh dari perairan Cilamaya Wetan untuk menghindari pendangkalan dan ranjau, Mulyadi tetap tak mendapat tangkapan maksimal. Sekali waktu dengan rute pelayaran ini ia hanya berhasil menjala seekor kakap putih. Hasil tangkapannya saat dilelang hanya dihargai Rp 30.000 di TPI Muara Cilamaya. Meskipun sudah berusaha menyiasati jalur pelayaran, kenyataannya tetap tak bisa mengembalikan pemasukan Mulyadi secara maksimal seperti sebelum proyek PLTGU dijalankan.
Senasib dengannya, nelayan Desa Cilamaya Girang, Carkum juga mengalami imbas dari proyek PLTGU. Carkum berprofesi sebagai nelayan rajungan. Setiap harinya ia hanya mampu mengantongi sedikit uang dari hasil menjual tangkapannya. Hasil ini juga tak mampu menutupi kebutuhan hidup sehari-harinya dan keluarga. Selain itu, Carkum juga menemukan adanya perubahan warna tubuh rajungan hasil tangkapannya.
“Rajungan atau kepiting itu kakinya seperti orang dari sawah. Kakinya banyak karatnya, bukan karat, itu mah seperti ter, seperti aspal aja gitu,” tutur Carkum di pinggir sungai Cilamaya pada Sabtu (25/11/23).
Baca juga: Luntang-lantung Nasib Eks Petani Cilamaya Setelah Alih Fungsi Lahan
Carkum juga menjelaskan, bahwa nelayan di Desa Cilamaya Girang mengalami penurunan tangkapan secara drastis. Sebelum masa konstruksi PLTGU, Carkum dan kawan-kawannya dapat memperoleh 3-4 kilogram rajungan untuk dijual. Hari ini untuk mendapat tangkapan seberat 1 kilogram saja ia mengaku kesulitan.
Carkum juga mengaku sebelumnya ia bisa memperoleh pemasukan sebesar Rp 200.000 sekali melaut. Namun, jumlah barusan menurun drastis menjadi Rp 30.000 dan kadang-kadang di bawa angka tersebut. Ia mengaku hanya bisa pasrah menghadapi kondisi tersebut
“Nih saya jujur ya, biasanya berangkat nih satu malam pulang pagi, 200 itu nominal yang ngga pernah hilang. Sekarang mah 50 ribu juga ngga dapet, tadi dapet 30 ribu. Mana buat solar mana buat beli rokok,” ratap Carkum.
Tuntutan dan Pemberian Kompensasi yang Tak Pasti
Penurunan pendapatan nelayan imbas proyek PLTGU di pesisir Cilamaya Wetan disikapi dengan tuntutan kepada JSP untuk memberikan kompensasi dan ganti rugi kepada mereka. Mulyadi bersama 26 nelayan berkapal kecil menuntut adanya kompensasi berupa mesin satu unit bagi setiap orang dan jaring sebanyak tujuh buah kepada Meindo.
Tuntutan ini ditanggapi oleh PT Meindo dengan mengabulkan permintaan mesin. Namun, Meindo menolak pengajuan jaring sebagai bentuk kompensasi. Hal ini sengaja dikabulkan pihak perusahaan, sebab dalam jangka waktu delapan bulan kedepan wilayah konstruksi yang mencakup pesisir Cilamaya Wetan akan terganggu oleh lalu lalang kapal.
“Meindo memberikan kompensasi dengan catatan delapan bulan mengganggu. Itu di awal belum ada dampak pendangkalan, tapi terganggu karena ada aktivitas kapal,” kelakar Mulyadi.
Kelompok nelayan lainnya yang tergabung dalam Gabungan Gerakan Nelayan (Gegana) pimpinan Sadeli memilih jalan lain dengan mengajukan petisi pemulihan mata pencaharian nelayan. Petisi ini berisi tuntutan adanya kompensasi berupa uang atau kapal besar agar dapat menempuh jarak pelayaran lebih jauh untuk memperoleh tangkapan.
“Jiwa nelayan pasti kembalinya ke nelayan, kang. Dia itu skill-nya nelayan, jadi mau bagaimanapun tetep jadi nelayan. Ketika mereka diberi modal, dari perahu kecil bisa jadi perahu besar. Jadi usahanya yang tadi di pinggir, agak ke tengah sedikit karena perahunya agak gede ya. Kompensasi itulah yang nanti akan jadi modal,” jelas Sadeli bersemangat.
Namun petisi tersebut justru ditanggapi dengan munculnya Tim Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK). Tim PUPUK sendiri diketahui merupakan satu perusahaan yang terpisah dengan JSP, namun ditugaskan untuk memulihkan perekonomian masyarakat yang terdampak PLTGU. Tim PUPUK fokus mengembangkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) berupa dagangan, bazar, atau olahan ikan hasil tangkapan nelayan.
Banyak dari nelayan justru merasa dirugikan dengan adanya Tim PUPUK, sebab nelayan dipaksa beralih profesi menjadi pedagang. Hal ini ikut dikeluhkan Carkum, baginya lebih baik nelayan diberikan bantuan berupa mesin, jaring ataupun uang tunai. Kehadiran Tim Pupuk juga memperlambat penyaluran kompensasi kepada nelayan Cilamaya Girang.
Ketua Gegana, Sadeli juga beranggapan bahwa nelayan tidak mungkin dapat mengurus UMKM, sebab telah menjadi seorang pelaut sejak lama. Sekalipun dagangan dikerjakan setelah melaut, tidak mungkin dapat berjalan karena nelayan kelelahan sepulang melaut..
“Kalau UMKM kan gini kang, nelayan kan berangkat pagi pulang sore nih. Terus menjalankan UMKM yang sekarang dicanangkan sama JSP rencananya. Nelayan boro-boro buat begituan, melaut saja sudah capek, pulang harus kerja lagi. Jadi program yang dilakukan JSP itu nggak masuk akal. Kita mah tetap pada gugatan ke ADB, supaya bisa memberi kompensasi pada nelayan,” terang Sadeli.
Sejauh ini Asian Development Bank (ADB) sebagai salah satu investor pembangunan JSP sebenarnya telah mencanangkan Livelihood Restoration Plan (LRP). LRP dimaksudkan untuk pemulihan mata pencaharian nelayan. Informasi terkait LRP juga sudah diunggah melalui website ADB, Indonesia: Jawa-1 Liquefied Natural Gas-to-Power Project.
Penelusuran Tim Didaktika dari dokumen dokumen berjudul Jawa-1 Liquefied Natural Gas-to-Power Project: Livelihood Restoration Plan yang diunggah pada Oktober 2019, menunjukkan 275 nelayan termasuk 54 nelayan dengan kategori rentan telah mendapatkan program LRP. Bagi nelayan rentan, LRP memberikan pemulihan mata pencaharian dengan penyediaan alat tangkap yang lebih memadai atau pemberian bibit udang bila mereka ingin mengubah usahanya. Sedangkan nelayan non-rentan mendapatkan kompensasi berupa pembiayaan satu kali istirahat, guna mencari wilayah tangkapan alternatif.
Keseluruhan biaya LRP berkisar Rp 4.450.000.000 dalam jangka waktu tiga tahun setelah dicanangkan. Namun dokumen tersebut hanya bualan semata, sebab tidak satupun dari nelayan Muara, Cilamaya Girang, Rawameneng, atau Blanakan menerima kompensasi tersebut.
“Pemulihan mata pencaharian itu kan sudah ada dokumennya juga kan di ADB, tapi belum diterapkan di nelayan. Itu yang kita tuntut sebenarnya. Bukan dalam bentuk UMKM satu kelompok dikasih kambing satu, dikembangin. Kan nelayan nggak gitu ya, pengennya dikasih kompensasi ngembangin di nelayannya maksudnya,” pungkas Sadeli.
Penulis/reporter: Ragil Firdaus
Editor: Abdul