Air bersih masih jadi kemewahan bagi warga Muara Angke meski berbagai upaya sudah ditempuh warga untuk dapatkan akses. Di tengah kondisi tersebut ibu hamil hadapi situasi rentan atas kesehatannya. Saat ini warga terpaksa bertahan.
Di tengah kesibukannya memilah plastik bekas berwarna merah dan putih untuk menghias lomba Hari Kemerdekaan, ketua RT 012/ RW 022, Muara Angke, Jakarta Utara, Juairiah bercerita mengenai kondisi air di wilayahnya yang buruk pada (16/8).
Sore itu, saat tim Didaktika mengobrol santai di teras rumahnya, Juairiah mengakui sampai saat ini warga masih sulit dapat akses air bersih.

Juairiah berkisah warga terpaksa membagi tiga jenis air untuk keperluan sehari-hari. Pembagian jenis air ini disebabkan oleh perbedaan kualitas. Tiga jenis air tersebut berasal dari sumur, Perusahaan Air Minum (PAM), dan kemasan isi ulang.
Air sumur paling mudah didapat dan sering digunakan warga. Warga memakainya untuk keperluan mandi, mencuci pakaian, alat makan dan masak. Namun warga harus rutin mengecek karena kondisi air sumur dapat berubah-ubah. Jika air sumur berubah warna jadi lebih kuning, bahkan timbul bau, warga tidak dapat menggunakannya.
Juairiah menjelaskan ada faktor lain yang membuat warga harus berhenti menggunakan air sumur, yaitu aksesnya. Jemari telunjuknya memberi tahu jalur pipa sumur dari musala yang terhubung ke rumahnya terkadang mengalami masalah, mulai dari aliran kecil hingga mati total. Walaupun tidak sering, ia mengaku terganggu karena perbaikannya dapat memakan waktu sekitar satu sampai dua hari.
“Ya walaupun banyak kendala, air sumur dari musala tetap menjadi pilihan pertama karena harganya lebih murah, sebulan hanya Rp150.000. Warga sudah banyak yang pakai, ada sekitar 40 sampai 50 rumah,” tuturnya sambil mengawasi anak sulungnya menghias bendera.
Baca juga: Melawan Stunting, Melawan Kemiskinan
Sementara air PAM dipakai untuk mencuci pakaian dan memasak. Ini lantaran kualitas air PAM bagi Juairiah lebih baik ketimbang air sumur. Sedangkan air kemasan isi ulang, punya kualitas terbaik karena dapat langsung dikonsumsi.
Juairiah mengajak tim Didaktika ke rumahnya untuk merasakan langsung perbedaan antara air sumur dengan air PAM. Ia beranjak ke dapur untuk mengambil dua baskom berwarna pink dan biru. Baskom berwarna pink diisi air PAM dari teras rumahnya. Sedangkan, baskom berwarna biru berisi air sumur dari kamar mandi.
Setelah kedua baskom terisi, Juairiah mempersilakan tim Didaktika untuk membandingkannya. Kami mencelupkan tangan ke dalam dua baskom tersebut untuk merasakan tekstur airnya di kulit. Adapula, kami juga mencium, dan mencicipinya.
Air sumur dalam baskom berwarna biru punya tekstur licin di kulit, berbau tanah, dan rasanya tawar bercampur sedikit masam. Sedangkan, air PAM di baskom berwarna pink punya tekstur kesat di kulit, sedikit berbau tanah, dan rasanya tawar.
Menurut Juairiah air PAM lebih baik karena warnanya jernih, tidak berbau, dan per jeriken lima liter dihargai Rp1500. Sayangnya, warga terkendala oleh jarak saat harus pergi mengisi. Ini lantaran tidak meratanya persebaran toren air PAM di RW 022. Dari RT 01, RT 02 dan RT 011 masing-masing hanya mendapat sebuah toren PAM. Sedangkan, RT 012 mendapat lima toren PAM. Total dari kedua belas RT, hanya delapan toren yang bisa digunakan warga.
“Saya ambil contoh di RT 012. Wilayah kita kan sangat luas, sedangkan toren dari PAM di sini cuman lima. Kalau warga dari RT lain yang rumahnya jauh dari toren, pastinya akan merasa capek karena harus jalan kaki membawa jeriken berat berisi air,” ucapnya sembari tertawa kecil.
Dampaknya terhadap Ibu Hamil
Selain menjadi ketua RT, Juairiah juga seorang kader posyandu Kerang Hijau, Muara Angke. Dari pengalamannya, ia pernah menemui beberapa ibu hamil dan anak-anak yang datang ke posyandu dengan keluhan sakit perut. Tidak hanya itu, ia juga pernah menemukan warga yang mengadu kena diare.
Juairiah menawarkan tim Didaktika untuk menemui temannya yang pernah kena diare saat hamil. Ia segera masuk ke dalam rumah, mengambil ponsel, lalu menelepon temannya, Aryawati.
Sayup-sayup terdengar suara Aryawati melalui speaker ponsel. Juairiah pun mempersilakan kami untuk datang ke rumahnya. Kami langsung beranjak menuju rumah Aryawati yang ternyata hanya berjarak dua gang saja dengan diantar oleh Juairiah bersama anak bontotnya. Namun, kami harus berpisah dengan Juairiah karena ia harus datang ke pengajian di musala.
Setelah sampai di kediamannya, anak bontot Juairiah mengenalkan kami dengan Aryawati yang tengah menggendong anaknya. Malam itu di depan warung rumahnya, Aryawati menceritakan pengalamannya kena diare sebanyak tiga kali. Saat itu, ia tengah mengandung anak bontotnya, Mahdi, kurang lebih satu setengah tahun yang lalu.
Aryawati pada awalnya menduga ia diare karena makanan yang dikonsumsi tidak higienis.
“Saya waktu itu beli makan di warteg karena sedang mengidam. Tiba-tiba dikemudian hari, saya terkena diare hingga tiga kali. Saat itu juga, saya jadi merasa tidak tertarik untuk makan. Alhasil berat badan turun sampai lima kilogram,” ujar Aryawati sembari mendengarkan suara mengaji Juairiah melalui speaker musala.
Saat itu, ia terpaksa harus pulang pergi ke puskesmas untuk mendapatkan obat sesuai dosis untuk ibu hamil. Namun, ia tidak begitu berani minum obat terlalu banyak.
“Kalo ibu hamil kan takaran dosis obatnya harus pas, kalau kebanyakan bisa menimbulkan penyakit baru, sedangkan jika terlalu sedikit juga efeknya tidak muncul. Akhirnya, karena saya tidak ingin mengambil risiko, saya hanya minum air yang banyak saja. Beruntung dapat sembuh,” pungkasnya di akhir wawancara.
Berpindah dari kediaman Aryawati, tim Didaktika menemukan kasus lain di RT 010/RW 022. Siang itu (18/8), kami diantar oleh kader posyandu Kerang Hijau, Yanti, menemui seorang ibu hamil bernama Sapna yang tengah mengobrol di teras rumah bersama ibu-ibu lainnya.
Sapna bertanya kami berasal dari mana dan mempersilakan kami duduk terlebih dahulu. Sembari menawarkan suguhan minum, ia bersyukur hingga kehamilannya saat ini memasuki usia empat bulan, dirinya tidak pernah terserang diare atau penyakit perut lainnya.
Namun, Sapna memiliki keluhan lain. Ia merasa kesulitan mengakses air bersih karena di RT 010 tidak ada toren PAM. Sehari-hari, ia menggunakan air sumur yang dialirkan dari musala untuk keperluan mandi. Untuk mencuci baju, alat masak dan makan, Sapna menggunakan air yang dijual di gerobak. Sedang untuk minum, Sapna membeli air galon 15 liter.
Jika ditotal dalam sebulan, Sapna bisa habis sampai lima ratus ribu rupiah. Belum lagi jika air sumur tidak mengalir, Sapna terpaksa menggantinya dengan jasa orang dorong gerobak yang menjual air PAM. Kalau ditotal seingat Sapna ia bisa merogoh kocek satu juta rupiah per bulan.
“Ya harus mengirit penggunaan air, jangan terlalu boros. Harga air mahal, kita di sini cari duitnya aja susah, bingung kalau tidak punya duit,” kata Sapna bersama ibunya sembari tertawa.
Dari Pengaduan dan Perlawanan
Di tengah obrolan kami dengan Sapna, suaminya, Buapuji pulang dari tempat kerjanya sebagai montir reparasi mobil truk panggilan. Ia langsung menyambung obrolan kami terkait air bersih.
Buapuji mengatakan solusi sementara dari pembelian air bersih yang mahal adalah dibangunnya toren. Sayangnya, hal itu tidak dapat dirasakan seluruh warga di Muara Angke seperti yang dialami warga RT 010 karena PAM tidak jadi membangun toren.
“Padahal teknisi PAM sering banget ke rumah untuk minta bantuan ukur lokasi, karena torennya dibangun samping rumah saya. Cuman ya kirain bakal jadi. Udah dari enam bulan yang lalu warga tidak dikasih kabar,” ketus Buapuji.
Kawannya, Muhidi yang juga Ketua RT 010, ditelepon Buapuji untuk menjelaskan serentet kejadian yang telah terjadi. Tak berselang lama, Muhidi datang dan langsung duduk di kursi kayu dekat Buapuji. Muhidi mengeluarkan ponsel dari tasnya. Tanpa basa-basi, ia langsung menelepon pengurus PAM yang bertanggung jawab atas pembangunan toren di RT 010.
“Saya menelepon orang ini dari tujuh bulan yang lalu, tidak pernah diangkat sampai sekarang,” kesal Muhidi yang berkali-kali mengetuk tanda telepon.
Sore itu, ia menguraikan sekelumit unek-unek yang sudah lama terpendam karena permasalahan air di RT-nya tak kunjung usai. Kisah Muhidi diawali dengan perjalanan sejarah masuknya air PAM di Muara Angke tahun 2022. Itupun harus diperjuangkan oleh seluruh warga RW 022 dengan cara berdemo di Balai Kota, Jakarta Pusat, pada Februari 2022 lalu.
Gubernur saat itu, Anies Baswedan dan Dinas Sumber Daya Air (SDA) menanggapi demo tersebut dengan respons positif. Pada bulan November 2022, PAM masuk dan menyediakan toren. Tetapi, tidak semua RT mendapatkan toren dari PAM.
Sambil menggaruk kepala, Muhidi menjelaskan ketua RT di wilayahnya yang tidak mendapat toren PAM sudah melakukan rapat dan bertemu SDA dan PAM. Namun, bagi Muhidi penjelasan SDA dan PAM tidak memuaskan dan solutif. Seingat Muhidi, SDA dan PAM mengatakan jika pengadaan toren harus terhenti karena menunggu antrean agenda pemerintah terkait pembangunan lain di Muara Angke hingga 2030.
“Rencananya memang Muara Angke mau membangun pipanisasi untuk pengaliran air bersih. Cuman, masa di tahun 2030? Apakah memang tidak ada solusi lain? Warga di sini butuh airnya itu sekarang, bukan menunggu tahun 2030,” tegas Muhidi sambil menunjuk gundukan batu, cikal bakal pembangunan toren PAM yang tidak jadi.
Terpaksa Bertahan dan Menunggu Jawaban
Ketua Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Minawati mengatakan warga Muara Angke hingga kini terpaksa bertahan dalam kondisi minim air bersih. Data JRMK menunjukkan wilayah lain Jakarta Utara mengalami nasib serupa. Seperti di Walang Kecamatan Koja, Gedung Pompa Kecamatan Muara Baru, Gang Marlina Kecamatan Penjaringan, dan Kembang Lestari Kecamatan Tanjung Priok.
Menurut Minawati, sebenarnya SDA dan PAM sudah punya solusi. Solusi tersebut adalah pengadaan 100 kios air bersih yang tersebar di berbagai wilayah di Jakarta Utara pada tahun 2022. Sayangnya, persebaran kios air bersih nyatanya tidak sebanding dengan persebaran penduduk di satu wilayah.
“Masalah air bersih di Jakarta Utara, khususnya wilayah dekat laut jadi persoalan yang tidak pernah selesai. Saya pikir, pipanisasi dari PAM merupakan solusi akhir yang harus dikerjakan,” katanya saat diwawancarai di ruangan Zoom Meeting pada (18/8).
Ketua Koperasi Blok Eceng, Muara Angke, Jakarta Utara, Muslimin menambahkan proyek pengadaan pipa harus terhenti. Pasalnya PAM Jaya mengaku masih menunggu terbitnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta. Namun, Muslimin menegaskan adanya kejanggalan lantaran RDTR telah terbit lewat Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2022.
Muslimin menuturkan, sampai saat ini warga Muara Angke masih melakukan audiensi tiap bulan untuk membahas pengadaan air bersih. Baginya, desakan kebutuhan air bersih diiringi juga kesadaran warga menyoal penurunan permukaan tanah Muara Angke. Namun, hingga kini tidak ada jawaban dari pemerintah dan PAM Jaya untuk pengadaan akses air bersih bagi seluruh warga.
“Pemerintah dan PAM Jaya hanya memberikan kami kotak keluhan, tetapi tindakannya tidak ada. Kita cuman bisa pasrah saja untuk sekarang ini, ya mau bagaimana lagi?” ujar Muslimin di ruangan Zoom Meeting yang sama.
Menjadi Lingkaran Setan Jika Tidak Diselesaikan
Dosen Ahli Gizi Universitas Pembangunan Veteran Jakarta (UPNVJ), Nur Intania Sofianita menekankan pentingnya warga diberi kemudahan untuk mengakses air bersih. Ini lantaran air bersih merupakan komponen paling mendasar manusia untuk hidup.
Menurut Intania, untuk mencapai air bersih, minimal sumur air tanah punya jarak sepuluh meter dari tempat penampungan tinja warga, supaya tidak bercampur. Namun, jika tempat tidak memadai, kondisi air tanah harus rutin dicek karena ada potensi tercemar. Ia menjelaskan terdapat ciri-ciri yang dapat dijadikan indikasi kualitas air tanah yang tercemar. Seperti warnanya tidak jernih, berbau, memiliki tekstur licin, dan masam.
Intania menambahkan jika air tanah sudah punya ciri-ciri tersebut, harus segera dibawa ke laboratorium untuk diuji. Bisa jadi air tanah tersebut mengandung bakteri atau virus E. coli, Salmonela, Rotavirus, Hantavirus, dan lain-lainnya.
“Tidak bisa langsung disimpulkan air yang memiliki ciri-ciri tercemar membawa penyakit E. coli saja. Perlu dilakukan pengujian di laboratorium. Bisa jadi, air tercemar itu memiliki kandungan bakteri atau virus yang jauh lebih berbahaya,” kata Intania saat diwawancarai di ruangannya pada (22/8).
Intania menegaskan air yang tercemar punya gejala umum dapat menimbulkan diare. Bagi ibu hamil, diare menjadi sangat berbahaya. Selain persebarannya yang tidak disadari seperti saat sedang mandi, air tercemar juga dapat menyebabkan aliran metabolisme ibu hamil tidak lancar.
Pada akhirnya, ibu hamil akan mengalami dehidrasi yang mengakibatkan tubuh lemas hingga pertumbuhan janin kurang optimal. Akibat lain adalah kematian ibu dan janin, atau anak lahir dengan penyakit.
“Tubuh itu didominasi oleh cairan. Cairan itulah yang mengangkut vitamin, mineral, protein, karbohidrat, dan lain-lainnya. Bayangkan, jika ibu hamil yang kekurangan cairan atau dehidrasi, tentunya hal itu menjadi gerbang penyakit-penyakit lain masuk,” tutur Intania
Ia juga menerangkan jika di satu wilayah warganya kesulitan mengakses air bersih, tentunya akan menimbulkan masalah yang berbuntut. Intania memberikan gambaran penjual makanan cepat saji yang memakai air tercemar. Jika air tercemar digunakan untuk keperluan mencuci tangan, membersihkan alat-alat masak dan bahan makanan, potensi penyakit yang akan tersebar makin tinggi.
“Saya pikir, masalah air bersih yang ada di satu wilayah seperti lingkaran setan. Jika sudah terdata memiliki kasus, persebarannya akan semakin tidak bisa diprediksi. Pun, jika ingin dihentikan, harus ada kebijakan yang konsisten antara pemerintah dengan kondisi warga,” tutup Intania.
Penulis/ Reporter: Arrneto Bayliss
Editor: Devita Sari
Artikel ini merupakan bagian dari Fellowship bersama Konde.co yang didukung Earth Journalism Network (EJN)