Tingkat ekonomi masyarakat pesisir Jakarta, khususnya Muara Angke yang rendah membuat banyak orang tua tak sanggup memenuhi asupan gizi makanan si anak. Dampaknya wilayah tersebut menjadi penyumbang angka stunting kedua tertinggi di wilayah DKI Jakarta.
Juairiah menemani kami menyusuri jalanan sempit di daerah Blok Eceng, Muara Angke, Jakarta Barat. Perempuan yang kini menjabat sebagai Ketua RT 12/RW 22 itu mengaku terdapat beberapa warga memiliki balita dengan gejala stunting di wilayahnya.
Tak berselang lama, ia memberhentikan langkahnya di rumah milik salah satu warga, yaitu Ania. Tanpa basa-basi Juairiah langsung mengetuk pintu rumah tersebut, dan dibalas dengan suara si tuan rumah. Setelah membukakan pintu, Ania langsung mempersilahkan tamunya untuk duduk di dalam rumah. Kondisi hamil tua membuat dirinya tak tahan untuk berbincang dengan posisi berdiri terlalu lama.
Setelah kami semua duduk, Ania membuka cerita terkait kondisi putra keduanya, yaitu Rama yang didiagnosis mengalami gejala stunting saat menginjak usia empat tahun. Dirinya mengaku pertama kali mengetahui penyakit sang anak setelah mengantarkan Rama ke Posyandu RW 22 untuk imunisasi. Bidan posyandu memberikan penjelasan ihwal kondisi Rama disebabkan minimnya konsumsi Air Susu Ibu (ASI) sejak lahir.
“Rama berat badannya susah naik pas di umur tiga bulan. Saya pikir, bayi di usia segitu memang wajar tidur lama dari jam 7 pagi sampai 11 siang, dan baru mau minum ASI saat dia merengek. Tapi kata Bidan, harusnya saya itu membangunkan Rama setiap dua jam sekali untuk memberi ASI”, terang Ania.
Ania melanjutkan, saat pertama kali didiagnosis terkena gejala stunting , Rama hanya memiliki berat badan 11 kilogram. Mengetahui hal itu, ia berinisiatif untuk mengakali pertumbuhan berat si anak. Namun, kondisi perekonomian keluarga menghambat keinginannya memenuhi kebutuhan makanan bergizi bagi si buah hati. Ujungnya, mau tak mau, Ania memutar otak guna memaksimalkan pemasukan sang suami yang hanya berprofesi sebagai pegawai sebuah toko sembako di Pasar Muara Angke.
“Satu-satunya sumber penghasilan berasal dari gaji suami yang per harinya mendapatkan 100 ribu rupiah, itu pun tidak menentu. Mau tidak mau, kami harus mengirit keperluan hidup agar bisa membayar kontrakan 600 ribu rupiah per bulan,” ujarnya.
Devi salah satu tetangga Ania turut mengalami masalah serupa dengannya. Mutia anak kedua Devi turut didiagnosis mengalami gejala stunting. Mulanya ia gelisah melihat pertumbuhan sang anak yang saat itu berumur lima bulan, tetapi berat badannya hanya berada di angka delapan kilogram. Dari situlah Devi memutuskan membawa si buah hati ke puskesmas setempat. Setelahnya barulah diketahui Mutia terkena gejala stunting.
Menurut bidan puskesmas, gejala stunting yang dialami Mutia saat berumur satu tahun timbul dari kurangnya asupan makanan bergizi dan ASI. Saat mengetahui hal tersebut, Devi kelimpungan, bahkan ia berpikiran ini merupakan kesalahan dirinya yang terlalu sibuk bekerja. Alhasil, ia pun tak mampu mengontrol pola dan jenis makanan sang buah hati. Di sisi lain ia juga tidak bisa sepenuhnya berhenti bekerja, dikarenakan itu dilakukannya untuk membantu sang suami memenuhi kebutuhan sehari-sehari.
“Kira-kira saya itu bisa ngupas kerang sampai dua ember cat dengan bayaran 60 ribu rupiah lumayan untuk bantu suami. Per-harinya, waktu yang saya habiskan di tempat pengupasan delapan jam,” ungkap Devi.
Sebelum mengetahui sang anak terkena gejala stunting, Ania cenderung membebaskan Mutia untuk mengkonsumsi makanan ringan seperti chiki, es krim, dan minuman dengan kadar gula tinggi. Setelahnya ia cenderung mengikuti anjuran dari puskesmas terkait pola makan mutia mengikuti aturan 4 sehat 5 sempurna. Langkah barusan diambil Devi sebagai strategi untuk mendongkrak berat badan Mutia menjadi ideal layaknya anak seusianya.
Meskipun terkadang Mutia cenderung rewel dan menolak makanan yang disajikan oleh sang ibu. Namun, Devi tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk memberikan asupan makanan bergizi dan teratur sebanyak tiga kali sehari.
Fenomena anak mengalami gejala stunting bukan hanya terjadi di RT 12, tetapi turut terjadi di RT 10 yang bersebelahan dengannya. Sembari ditemani Ani selaku Kepala Posyandu Kerang Hijau, kami melanjutkan penelusuran ke daerah tersebut. Di sela perjalanan kami, ia menuturkan RT 10 merupakan wilayah terdata paling banyak memiliki bayi dengan gejala stunting.
Kami berhenti pada sebuah rumah berwarna jingga yang sudah memudar. Di depannya terlihat seorang anak baru saja keluar untuk bermain dengan teman-temannya. Ani yang mengenali anak tersebut memintanya memanggil sang ibu di dalam. Sontak Siti Fatimah, ibu dari anak itu keluar, dan langsung menyambut kami di teras miliknya.
Pasca mengetahui ihwal kedatangan kami, Fatimah mulai menceritakan kondisi anak bungsunya, Mayang yang mengalami gejala stunting. Awalnya ia hanya berpikiran, bahwa sang buah hati terkena penyakit lain. Lantas Fatimah pun membawa putrinya ke klinik terdekat untuk dilakukan pengecekan. Hasilnya saat itu Mayang didiagnosis tidak memiliki riwayat penyakit apapun.
Fatimah yang terus-terusan gelisah melihat pertumbuhan sang anak, memutuskan memboyong Mayang ke puskesmas setempat. Kala itu usia Mayang menginjak delapan bulan. Bersamaan dengan itu ia turut diberitahu oleh bidan di sana, bahwa anaknya terkena stunting. Sebabnya hampir serupa dengan Devi, yaitu karena kekurangan pasokan ASI sejak lahir.
“Kalau kata bidan puskesmas, gejala stunting Mayang itu disebabkan oleh kurangnya konsumsi ASI. Rasanya saya mengetahui itu, namun kebingungan mengatasinya. Sebab, saat Mayang dibangunkan untuk dikasih ASI, ia selalu menolak,” tuturnya.
Setelah mengetahui anaknya terkena stunting, Fatimah juga mulai memperhatikan perihal makanan yang dikonsumsi Mayang. Ia mengikuti saran dari puskesmas untuk memberikan makanan bergizi dan vitamin kepada anaknya sebagai upaya mendongkrak pertumbuhan. Maret lalu merupakan kali terakhir ia membawa si buah hati ke puskesmas, dari situ terlihat adanya peningkatan berat badan Mayang dari 8 kilogram menjadi 9 kilogram setelah mengikuti anjuran sebelumnya.
“Saya harap, Mayang terus memiliki nafsu makan seperti ini. Jujur saja saya senang ketika Mayang melahap makanan yang disajikan tiap hari,” ucapnya dengan senyum sumringah.
Baca Juga: Jalan Panjang Penolakan Tambang Tumpang Pitu
Jakarta dalam Bayang-bayang Stunting
Menurut WHO, stunting merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak. Gejalanya, ditandai dengan panjang atau tinggi badan yang berada di bawah standar umur. Biasanya, gejala stunting diakibatkan kekurangan asupan gizi lewat ASI pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yaitu sejak masa di dalam kandungan hingga dua tahun pasca kelahiran. Bisa juga karena adanya penyakit seperti cacingan, Tuberkulosis (TBC), dan lainnya.
Jangka 1000 pertama kehidupan dijuluki sebagai “periode emas”, di mana asupan gizi ataupun kondisi kesehatan anak akan berdampak pada kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak yang bersifat permanen dan berjangka panjang. Jika, anak pada periode emas kekurangan asupan gizi atau terserang penyakit dapat berujung pada rendahnya kemampuan kognitif, prestasi akademik, hingga lemahnya kekebalan tubuh.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kemenkes RI menunjukkan, angka prevelansi di tahun 2022 mencapai 21,6 persen. Angka tersebut lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, yaitu 24,4 persen pada 2021 dan 27,7 persen pada 2019. Hal tersebut sebetulnya menunjukkan tren penurunan angka stunting dalam tiga tahun terakhir. Upaya menekan angka stunting juga merupakan bagian dari strategi nasional. Melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, pemerintah menargetkan penurunan angka stunting mencapai 14 persen pada 2024.
DKI Jakarta dengan statusnya sebagai ibukota negara menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang masih berkutat dengan persoalan stunting. Hal ini dapat dilihat dari data SSGI dalam lima tahun terakhir (2018-2022), prevelansi stunting di Jakarta pada 2018 mencapai 17,6 persen di tahun selanjutnya naik menjadi 19,96 persen, kemudian mengalami penurunan ke angka 16,8 persen pada 2021, dan terakhir di 2022 berada pada angka 14,8 persen.
Data BPS juga menunjukkan di DKI Jakarta terdapat 798.107 balita per tahun 2022. Dari angka itu sekitar 118.119 balita terkena stunting. Meskipun sempat terjadi penurunan balita terserang stunting dari tahun sebelumnya, hal itu dianggap masih menjadi urgensi di DKI Jakarta merupakan wilayah perkotaan dengan sarana prasarana memadai, termasuk kesehatan.
Wilayah Kepulauan Seribu menempati urutan pertama dengan jumlah kasus stunting terbanyak di DKI Jakarta mencapai 20,5 persen. Kemudian diikuti Jakarta Utara sebagai wilayah dengan kasus stunting terbanyak kedua. Secara spesifik Kecamatan Penjaringan menjadi penyumbang kasus stunting terbesar di Jakarta Utara, termasuk kawasan Muara Angke.
Tenaga Ahli Gizi Puskesmas Kelurahan Pluit, Mirawati mengungkapkan faktor mengapa Muara Angke turut menjadi penyumbang angka stunting. Hal ini disebabkan di wilayah tersebut banyak balita kekurangan asupan gizi dan protein, kemudian masalah kesehatan lingkungan juga menjadi faktor penyebab terjadinya stunting.
“Banyak balita di sini yang rentan terhadap penyakit sehingga mereka harus pulang-pergi ke puskesmas karena diare berulang atau bahkan penyakit paru-paru. Pada akhirnya menghambat tumbuh kembang anak,” jelas Mirawati saat diwawancarai Tim Didaktika.
Selain itu, Mirawati ikut memaparkan temuan bakteri e-coli saat mengecek air minum yang dikonsumsi masyarakat Muara Angke. Ini menjadi salah satu penyebab pula mengapa balita akhirnya rentan terjangkit penyakit diare. Temuan barusan juga ikut meyakinkan dirinya, bahwa buruknya kondisi lingkungan di wilayah itu menjadi penyebab banyaknya balita terjangkit penyakit, seperti stunting.
Sejak tahun 2022, Mirawati merintis pembentukan program edukasi untuk masyarakat agar lebih memperhatikan kualitis gizi anak. Ini menjadi upaya dirinya untuk mengentaskan stunting di wilayah pesisir Jakarta tersebut. Di luar program edukasi, Mira mengolah limbah tulang ikan kakap guna menjadi bahan dasar olahan makanan, seperti dimsum dan nuget sebagai pendongkrak asupan protein warga. Nantinya, hasil pengolahan dalam bentuk makanan jadi akan dibagikan kepada balita yang terdaftar di puskesmas atau posyandu setempat setiap satu minggu sekali.
“Kalau dilihat hasilnya sangat berdampak positif. Beberapa balita mengalami peningkatan berat dan tinggi badan,” ungkapnya.
Di sisi lain, Kepala Posyandu Kerang Hijau, Ani ikut menuturkan penyebab terjadinya stunting di wilayah tersebut. Ia menyayangkan pola asuh kebanyakan orang tua di Muara Angke yang buruk. Fenomena barusan terjadi akibat minimnya pengetahuan masyarakat di sana terkait pola asuh yang baik sehingga menimbulkan ketidakpedulian terkait pemenuhan gizi anak mereka.
“Kebanyakan dari warga disini memang secara ekonomi rendah, pemasukan dan pengeluarannya pas-pasan, sehingga mereka (orang tua) hanya memberikan makan seadanya, seperti nasi dengan kuah bakso atau hanya dengan kecap manis,” terangnya.
Lebih lanjut, Ani menerangkan adanya keengganan dari para orang tua untuk mendaftarkan anak mereka ke posyandu ataupun puskesmas terdekat. Menurutnya ini turut menjadi faktor angka penderita stunting lambat mengalami penurunan. Akibat tidak terdaftar, orang tua cenderung malas untuk rutin menghadiri kegiatan di posyandu seperti imunisasi, konsultasi, dan penimbangan.dan penimbangan.
“Pernah kami bekerja sama dengan Baznas membagikan bubur sehat secara gratis tahun lalu, namun tidak laku, mereka (orang tua) kebanyakan beralasan kalau anaknya tidak doyan,” terangnya.
Masalah Stunting, Masalah Yang Genting
Dosen sekaligus Kaprodi Ahli Gizi UPN Veteran Jakarta (UPNVJ), Nur Intania mengatakan jika stunting merupakan persoalan penting yang harus segera diselesaikan. Baginya juga stunting tidak bisa dipandang sebagai persoalan kesehatan anak. Melainkan kondisi kesehatan ibu saat proses kehamilan si buah hati harus juga menjadi perhatian.
“Maka dari itu diperlukan pengelolaan kesehatan yang intens di masa kehamilan sampai dua tahun agar bayi dapat optimal secara perkembangan dan pertumbuhannya,” jelasnya saat kami temui di ruangan dosen, UPNVJ.
Bagi Intania persoalan stunting dapat terjadi salah satunya karena si ibu ketika proses kehamilan abai terkait kesehatan dan pemenuhan gizi dirinya. Alhasil, ibu hamil mengalami kekurangan gizi dan menyebabkan terganggunya perkembangan janin. Bahkan menurutnya, hal ini bisa berpengaruh sampai ke fase pasca melahirkan, yaitu saat proses menyusui. Kekurangan gizi si Ibu cenderung membuat ASI mereka hanya sedikit yang keluar.
Selain itu, Intania ikut menjelaskan dampak dari stunting yang menghambat perkembangan sel di dalam otak anak. Imbasnya ini akan menimbulkan efek jangka panjang terhadap kualitas SDM Indonesia seperti mengalami kemerosotan perkembangan kognitif, rendahnya kemampuan belajar, keterbelakangan mental, serta menjadi gerbang pemicu jenis penyakit lainnya.
“Jika dibandingkan kualitas kinerja individu terkena stunting dengan yang tidak, dalam jangka panjang akan melahirkan sumber daya manusia kurang memiliki etos kerja,” pungkasnya.
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Prima Yustitia menegaskan permasalahan stunting di wilayah Jakarta tidak dapat diabaikan begitu saja. Meskipun angkanya lebih rendah dibanding daerah lain, serta anggapan masyarakat banyak soal warga Jakarta sudah memiliki pola pikir dan hidup ideal. Namun, menurutnya masih terdapat masyarakat pinggiran kota dengan segudang permasalahan sosialnya yang menjadi pemicu terjadinya stunting.
“Meskipun masyarakat Jakarta dianggap sudah memiliki pola pikir dan pola hidup ideal, tetap saja masih ada kaum pinggiran kota yang sarat akan permasalahan-permasalahan sosial,” ujarnya.
Daerah pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu yang menjadi penyumbang angka stunting terbesar di Jakarta dilihat Prima sebagai permasalahan sosial, akibat kemiskinan masyarakat di sana. Ia menjelaskan ciri tertentu dari masyarakat pesisir seperti di wilayah Kepulauan Seribu dan Jakarta Utara adalah tingkat ekonomi. Mereka yang bekerja sebagai nelayan di sana memiliki sumber mata pencaharian dan pendapatan tidak stabil.
Menurut Prima, pada dasarnya persoalan stunting tak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi. Ia meyakini kebutuhan ekonomi harus dipenuhi dahulu sebelum mencapai kondisi kesadaran lainnya, seperti pengetahuan akan kesehatan.
Mengingat masih adanya angka stunting di Jakarta, ia ikut mengkhawatirkan kualitas SDM di masa depan. Tinggi angka stunting tentu berpotensi memproduksi manusia dengan kualitas rendah, sehingga tidak bisa bersaing dalam dunia pendidikan ataupun pekerjaan.
“Ketika angka stunting tinggi maka anak-anak yang seharusnya bisa dioptimalkan sebagai modal sumber daya di level masyarakat malah justru jadi beban negara di masa yang akan datang. Boleh jadi nantinya jumlah pengangguran akan meningkat,” jelasnya.
Menurut Prima, keseriusan pemerintah dalam upaya mengentaskan masalah stunting sangat dibutuhkan. Ia menjelaskan upaya pemerintah tidak bisa ditunjukkan sebatas dengan memperbaiki tata kelola anggaran saja, melainkan harus ikut serta membangun kesadaran masyarakat berkaitan dengan aspek kesehatan.
“Harapan saya negara dapat mengimplementasikan kebijakan dengan baik. Hari ini kan kita mengalami angka kelahiran bayi yang semakin meningkat di level pedesaan maupun perkotaan, kalau ternyata kualitasnya rendah akan membebani negara,” tutupnya.
Penulis/Reporter: Arrneto bayliss dan Ezra Hanif
Editor: Mukhtar Abdullah