Merdeka! Tahun ini kemerdekaan kita sebagai sebuah bangsa menginjak usia 78 tahun. Sekian peringatan dan apel-apel pengibaran bendera menghiasi perayaan kemerdekaan republik ini. Bukan hanya itu, masyarakat juga berbondong-bondong mengecat tembok di lingkungannya dengan semboyan-semboyan kemerdekaan, atau sekadar bendera di depan setiap rumahnya.
Perayaan kemerdekaan tak hanya terjadi secara fisik, di jagat dunia maya pun semarak perayaan kemerdekaan juga tak hentinya dikumandangkan. Sederet akun-akun di media sosial media sosial secara serentak menerbitkan postingan dengan tema kemerdekaan. Tak mau ketinggalan, para politisi juga ikut berkoar untuk meresapi arti kemerdekaan dalam rangka merayakan dirgahayu republik.
Secara resmi, Pemerintah mengusung tema kemerdekaan Indonesia kali ini dengan tajuk “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”. Tema ini mungkin dipilih sebagai bentuk optimisme pemerintah, khususnya dalam bidang pembangunan dan ekonomi Indonesia kedepannya.
Satu kesamaan, baik pemerintah, politisi, dan masyarakat semuanya kembali memekikkan kata merdeka. Entah hanya sebagai pemanis kata guna merayakan ulang tahun republik, kata merdeka begitu magis dan sarat akan makna.
Kata merdeka acap kali digaungkan oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan. Di alam pergerakan nasional, kata merdeka dimaksudkan untuk memantik semangat ataupun kesadaran dalam memperjuangkan pembebasan tanah air dari cengkraman kolonial Belanda. Dari sekian tokoh pergerakan, rumusan Ki Hadjar Dewantara terkait kata merdeka, khususnya di bidang pendidikan cukup menarik diperbincangkan kembali.
Pendidikan menjadi sektor penting untuk menunjang perjuangan ataupun pembangunan bangsa ke depan. Hal ini pula yang diresapi Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya soal pendidikan yang memerdekakan. Bagaimana hal itu kemudian diimplementasikan dirinya dalam bentuk aktivitas pendidikan dan pengajaran di Taman Siswa.
Konsepsi kemerdekaan dalam pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara itu, hari ini diklaim telah terangkum dalam arah kebijakan pendidikan nasional. Program merdeka belajar, yang digaungkan Nadim Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dianggap telah merepresentasikan pemikiran Bapak Pendidikan Nasional tersebut.
Hadirnya merdeka belajar, dan klaimnya yang berangkat dari konsepsi pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara tentu perlu direfleksikan kembali. Bertepatan pula dengan momen perayaan kemerdekaan tahun ini, perbincangan mengenai pendidikan menjadi sangat relevan, sebagai medan perjuangan untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/memperbaiki-pendidikan-dari-luar/
Ki Hadjar Dewantara dan Alam Kemerdekaan Taman Siswa
Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara bukanlah orang asing dalam khazanah pergerakan nasional. Sejak muda dirinya telah menjeburkan diri dalam perjuangan melawan kolonial Belanda. Setidaknya terdapat tiga bidang utama yang digelutinya, yaitu politik, jurnalistik dan pendidikan.
Sebelum menjeburkan diri secara utuh dalam medan pergerakan kala itu, Ki Hadjar terlebih dahulu mengenyam pendidikan di sekolah Dokter Jawa (Stovia). Meskipun tak sempat menamatkan pendidikannya, namun persentuhan dirinya dengan orang-orang di lembaga pendidikan tersebut ikut mendorong dirinya terlibat dalam perjuangan kemerdekaan.
Pertemuannya dengan Cipto Mangunkusumo dan Douwwes Dekker semakin memantapkan sikap Ki Hadjar Dewantara. Pada akhirnya ketiganya bersepakat untuk membentuk sebuah partai yang dinamai Indische Partij (IP). Partai tersebut dikenal radikal dalam melakukan kritik dan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Bukan hanya aktif di medan politik dengan membentuk partai, Ki Hadjar juga masif menyebarkan gagasannya lewat surat kabar. Tercatat dirinya aktif menulis di beberapa harian ataupun majalah, baik berbahasa Belanda, Melayu, atau Jawa, seperti De Beweging dan De Express. Salah satu tulisan paling fenomenal darinya berjudul “Seandainya Saya Seorang Belanda”, berisi kritik terhadap pungutan yang dilakukan pemerintah kolonial untuk membiayai perayaan kemerdekaan Belanda ke-100 di tanah jajahan.
Tulisan Ki Hadjar tadi mengundang respon dari pemerintah kolonial. Hal ini merupakan buntut panjang, di mana sebelumnya ia telah dipantau karena keterlibatannya di IP. Pada akhirnya, Ki Hadjar bersama dua sahabatnya dijatuhi hukuman pembuangan (internering). Awalnya ia dibuang ke daerah Bangka, namun ia bersama yang lain lebih memilih untuk diasingkan ke Belanda.
Pembuangan Ki Hadjar Dewantara ke negeri kincir angin turut mengubah arah pergerakannya ke depan. Jika sebelumnya ia memilih berkecimpung dalam perjuangan lewat politik dan jurnalistik, di sini Ki Hadjar mulai berfokus pada pendidikan sebagai medan juang. Dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan karya Irna H. N. Hadi Soewito, persentuhan Ki Hadjar dengan pendidikan bukanlah disengaja. Awalnya ia bersama sang istri, hanya berpikir profesi pendidik sebagai sampingan untuk mendapatkan pemasukan di negeri pembuangan. Beranjak dari situ, Ki Hadjar mulai mengambil pendidikan sekolah guru Lager Onderwijs, dan lulus dari sana. Sedangkan sang istri, Soetartinah memilih kursus Pendidikan Guru Frobel, yang selanjutnya digunakan untuk mengajar di Frobel School. Selain itu, bidang pendidikan dipilih Ki Hadjar juga atas saran dari istrinya yang merasa sang suami kurang pas jika berkecimpung terus menerus di dunia politik. Sebab, bagi Soetartinah, Ki Hadjar gampang naik darah dan kurang mampu mengontrol emosi.
Sebelum kembali ke Indonesia pada 1919, Ki Hadjar sempat memberikan pidato perpisahan berjudul “Kembali ke medan Perjuangan”, yang ditujukan untuk sejawat dan masyarakat Belanda. Pidato ini juga secara langsung memberi gambaran, bahwa kepulangan dirinya adalah untuk kembali pada perjuangan untuk memerdekakan bangsanya.
Sekembalinya Ki Hadjar ke Indonesia, ia membuktikan pilihannya untuk berjuang lewat jalur pendidikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Kemerdekaan menjadi salah satu tujuan luhur dari pendidikan yang diselenggarakan olehnya. Hal ini juga tak terlepas dari pandangan Ki Hadjar Dewantara terkait pendidikan dan pengajaran sebagai suatu upaya sengaja dan terpadu, guna memerdekan aspek lahiriah dan batiniah manusia.
Kemerdekaan juga masuk dalam lima asas pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara, hal ini terangkum dalam pancadharma pendidikan, yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. Asas kemerdekaan di sini dimaksudkan Ki Hadjar, bahwa pendidikan sejatinya mendidik seorang siswa menjadi manusia merdeka secara batin, pikiran, dan tenaganya.
Ki Hadjar juga merumuskan tiga sifat kemerdekaan yang dimaksudkan dalam tujuan pendidikannya, yaitu berdiri sendiri, tidak tergantung pada orang lain, dan memiliki kuasa mengatur dirinya sendiri. Jika, kemerdekaan ini telah digapai, maka akan muncul satu kesadaran akan kewajiban dan haknya sebagai bagian dari rakyat. Lalu, Ki Hadjar juga menekankan pada aspek kemerdekaan batin, dengan menitikbertkan pendidikan pada kecerdasan budi pekerti.
Perjalanan Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional dalam meresapi makna kemerdekaan, tidak sekadar memajang kata itu sebagai slogan belaka. Ia menjadikan kemerdekaan sebagai tujuan luhur dari pendidikan yang dilangsungkannya lewat Taman Siswa.
Kemerdekaan ala Ki Hadjar dapat menjadi suatu pijakan reflektif dalam perayaan dirgahayu republik hari ini. Sudahkah pendidikan hari ini memerdekakan kita? Sudahkah kita sadar akan hak dan kewajiban kita sebagai rakyat? Sudahkah kita merdeka atas diri sendiri dan tidak merampas kemerdekaan orang lain? Jika belum, mari berpikir sejenak.
Redaksi