Melihat momok pendidikan tentu membingungkan, menteri-menteri pendidikan berulang kali mengganti kurikulum, tapi tidak banyak yang berubah. Perlu adanya perbaikan dari sisi lain.
Membicarakan pendidikan Indonesia kurang rasanya kalau tidak menggosip soal kelakuan-kelakuan menteri pendidikannya. Lantaran mereka selalu mengganti kebijakan dan kurikulum yang semakin memperkeruh keadaan, membuat permasalahan pendidikan yang sudah ada sejak lama jadi lebih buruk.
Saking seringnya, muncullah pribahasa “Ganti menteri Ganti kebijakan”. Ada fenomena ironis dalam ucapan ini. Seakan pergantian menteri menjadi ajang kebolehan dimana menteri baru dapat memamerkan program unggulannya untuk mempercantik masa jabatannya. Apalagi pendidikan ialah cermin sebuah bangsa, bukan lilin malam yang dapat dibentuk semaunya sendiri.
Ambil saja contoh dari menteri pendidikan hari ini. Nadiem Anwar Makarim membawa kurikulum Merdeka Belajar yang berfokus untuk meningkatkan kompetensi pengajar. Salah satunya dengan Program Organisasi Penggerak (POP).
Dalam program ini beberapa sekolah akan ditunjuk sebagai pusat pengembangan mutu pembelajaran. Sekolah-sekolah dengan infrastruktur dan kualitas pembelajaran yang lebih unggul diharapkan dapat menjadi penggerak bagi sekolah-sekolah lainnya. Namun, karena sasaranya tidak jelas, serta proses rekrutmen yang hanya sekedar mengajukan proposal membuat banyak sekolah enggan mengikuti program ini.
Kembali ke belakang sebelum Kurikulum Merdeka Belajar, terdapat kurikulum 2013. Dilansir dari laman Kemendikbud tujuan kurikulum 2013 adalah mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dari tujuannya, sudah menunjukkan kalau menteri saat itu banyak maunya. Padahal kemauan sebanyak ini akan memberatkan tenaga pendidik beserta murid.
Baca juga: Omong Kosong Jika Bicara Hasil
Dalam kurikulum 2013 di tingkat SD terdapat sembilan mata pelajaran wajib; Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Matematika, Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Prakarya, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Bahasa Daerah. Itu saja baru tingkat SD, belum sampai ke tingkat SMP dan SMA/SMK.
Banyaknya mata pelajaran membuat sekolah dan murid menjadi stres. Pihak sekolah kewalahan untuk mencari dan menggaji guru, sedangkan murid tertatih-tatih memahami semua mata pelajaran yang ada. Belum lagi kualitas tenaga pendidik yang kurang mumpuni, apalagi diantara mereka masih menggunakan metode pembelajaran konvensional karena belum bisa menyesuaikan perubahan kurikulum.
Sebelum kurikulum 2013, ada juga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Kurikulum ini terkonsentrasi pada tiga hal; pembelajaran, penilaian, dan pengelolaan kurikulum antar sekolah. Ia bertujuan untuk memberikan otonomi kepada sekolah supaya bisa melakukan eksperimen pembelajarannya sendiri.
Meskipun begitu, otonomi yang diberikan tidak sepenuhnya bebas karena setiap sekolah tetap bisa menentukan bahan ajar dan cara belajarnya masing-masing. Namun, pengembangannya tetap harus mengikuti Standar Pendidikan Nasional yang telah ditentukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Sayangnya, BSNP selaku lembaga pembuat standarisasi nyatanya tidak memperhatikan proses setiap sekolah untuk mencapai standar yang dibuat. Alhasil banyak sekolah-sekolah melakukan kecurangan seperti membolehkan muridnya saling mencontek saat ujian, memberikan nilai asal-asalan, penjualan ijazah, dan praktik-praktik lain demi mencapai standar.
Memperbaiki dengan menilik masalahnya
Dengan terus mengganti kurikulum nyatanya tidak bisa menjawab masalah pendidikan, apalagi hanya sekadar untuk mengubah mata pelajaran di sekolah. Terlihat sejenak memang solusi ini dapat meningkatkan kegiatan belajar mengajar. Namun, hal ini hanya menjadi solusi jangka pendek saja.
Untuk dapat menciptakan perbaikan menyeluruh, perlu dipahami terlebih dahulu posisi pendidikan. Dalam sebuah bangsa, pendidikan merupakan alat untuk mengatur pembentukan masyarakat agar sesuai dengan tujuan bangsanya. Disisi lain pendidikan juga dimaknai oleh masyarakat sebagai alat untuk membuat kehidupan mereka sedikit lebih baik, terutama dalam aspek ekonomi.
Sayangnya, di Indonesia alat ini bukan untuk kepentingan bangsa atau masyarakatnya, malah hanya untuk segelintir orang saja yang mampu memenangkan perebutan. Bagi siapapun pemenangnya, ia lah yang akan menentukan arah pendidikan.
Dalam perebutan arah pendidikan ini, terdapat tiga aktor yang menjadi dalangnya seperti pihak asing yang memiliki kepentingan, politikus yang ingin mempertahankan kekuasaan, dan pengusaha yang tidak ingin bisnisnya terganggu. Sehingga, pemerintah perlu memperhatikan faktor ini karena selalu saja ketiga aktor tersebut memengaruhi kebijakan kementerian pendidikan.
Aktor-aktor ini berdampak besar dalam dunia pendidikan. Salah satunya seperti Soeharto yang membuat Kebijakan NKK/BKK untuk mendepolitisasi mahasiswa demi kelangsungan pemerintahannya. Lalu, penyusunan KTSP untuk menyesuaikan standar luar negeri yang belum tentu cocok dengan pendidikan Indonesia. Terakhir, alat penunjang KBM layaknya seragam dan buku paket yang tidak pernah absen meski merogoh kocek dana pendidikan.
Ketiga aktor dengan kepentingannya masing-masing, selalu membuat kementerian pendidikan tidak dapat berkutik. Maka, untuk memperbaiki dunia pendidikan, hama-hama tersebut haruslah dibasmi terlebih dahulu.
Penulis: Riyasy
Editor: Devita Sari