Pemira UNJ yang berlangsung tiap tahunnya, memperlihatkan adanya tren penurunan suara dan fenomena kotak kosong. Meski begitu, kebanyakan mahasiswa masih anggap agenda tersebut penting dilaksanakan.
Masa Pemilihan Raya (Pemira) UNJ yang dilaksanakan pada 25-27 Januari lalu, berhasil mengumpulkan surat suara sebanyak 9.053 buah. Angka barusan menunjukkan adanya penurunan jumlah pemilih dari tahun sebelumnya. Di mana pada 2022 jumlah suara terkumpul sebanyak 12.157 buah. Jika diamati suara pemilih mengalami persentase penurunan sebesar 26 persen.
Selain fenomena di atas, Pemira tahun ini juga tetap menunjukkan adanya tren calon tunggal atau kotak kosong di beberapa fakultas. Tahun lalu terdapat empat fakultas yang melaksanakan Pemira dengan satu calon, yaitu Fakultas Teknik (FT), Fakultas Pendidikan Psikologi (FPPSI), Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), dan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Jumlah barusan turun menjadi dua fakultas saja, yaitu FBS dan FPPSI.
Meskipun di atas kertas terdapat penurunan jumlah calon tunggal di tingkat fakultas. Kenaikan justru terjadi di level pemilihan prodi. Pemira kali ini menunjukkan adanya 16 prodi yang melangsungkan pemira melawan kotak kosong. Penyumbang terbesarnya berasal dari prodi di Fakultas Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Hanya prodi di bawah naungan Fakultas Ekonomi yang bebas dari fenomena tersebut.
Hasil survei Didaktika pada 26-27 Januari 2023 menunjukkan mayoritas responden masih peduli dengan adanya Pemira, meskipun adanya fenomena kotak kosong dan masalah partisipasi mahasiswa. Dari 277 mahasiswa, 83 persen responden menyatakan masih peduli dengan adanya Pemira. Sedangkan, 17 persen sisanya menyatakan tidak peduli.
Emelia Manurung mahasiswi Prodi Pendidikan Teknik Bangunan, menyatakan pendapatnya terkait pilihannya yang masih peduli dengan adanya Pemira di kampus. Ia mengatakan, alasan utamanya dikarenakan Pemira merupakan implementasi nilai-nilai demokrasi di lingkungan mahasiswa.
Lain hal dengan Emelia, Ajeng Salisa mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, lebih memilih tak acuh dengan adanya Pemira. Dirinya berpendapat, acara pesta demokrasi tahunan di UNJ tersebut tidak memiliki pengaruh signifikan untuk perkuliahnnya. Salah satu kasus yang dijabarkannya, bagaimana kebijakan kampus yang memberatkan mahasiswa tidak berubah meskipun pemira dilaksanakan tiap tahunnya.
Kepedulian terhadap hadirnya Pemira di kampus dapat diukur dari sejauh mana responden mengetahui informasi terkait hal tersebut. Sebanyak 58,1 persen responden menunjukkan keraguan ketika menjawab hal tadi, dilihat dari pilihan mereka untuk mencontreng opsi “cukup tahu”. Lalu 21,3 persen responden malah tidak tahu sama sekali. Hanya 20,6 persen yang betul-betul yakin mengetahui informasi Pemira.
Salah satu responden, Kharis Fadilah mahasiswa Prodi Elektronika, ketika diwawancarai mengatakan bahwa penyebaran informasi terkait Pemira masih sangat minim. Beberapa hal yang baginya kurang disosialisasikan adalah pencalonan kandidat, tanggal pelaksanaan, dan siapa saja yang boleh ikut berpartisipasi.
Selain tingkat pengetahuan responden soal informasi Pemira. Ukuran lain yang digunakan adalah intensitas mereka berpartisipasi menyumbangkan suaranya. Hasil survei menunjukkan 47,7 persen responden selalu ikut memilih dalam Pemira. Sementara 36,5 persen menjawab terkadang memilih, dan sisanya 15,9 persen mengaku tidak pernah memilih sama sekali.
Jika dilihat dari respon di atas, angka selalu memilih dapat dikritisi. Sebabnya, kalau digabungkan jumlah mereka yang terkadang memilih dan tidak pernah sama sekali menunjukkan persentase lebih besar, yaitu 52,4 persen. Keraguan dan keengganan memilih sebenarnya berhubungan dengan dampak yang dirasakan mahasiswa pasca Pemira.
Jawaban responden terkait dampak pasca pemira, memperlihatkan angka yang hampir seimbang. Sebagian besar responden menjawab merasakan perubahan kehidupan kampus dengan persentase 53,4 persen. Sedang sisanya, sebanyak 46,6 persen menyatakan tidak merasakan apapun meskipun Pemira sudah selesai dilangsungkan.
Alfalah Abdul Aziz mahasiswa Prodi PGSD, salah satu responden yang diwawancarai, memberikan alasannya menjawab tidak merasakan perubahan kehidupan kampus. Menurut dia, calon terpilih dalam Pemira hanya melaksanakan program kerja seperti tahun-tahun sebelumnya. Sehingga dampaknya tidak ia rasakan, atau malah baginya hanya dirasakan beberapa golongan mahasiswa saja.
Terakhir, meskipun dapat dilihat di awal bagaimana fenomena kotak kosong dan rentan kecurangan suara dalam pelaksanaan Pemira, mayoritas responden (80,5 persen) menjawab hal tadi tetap penting dilaksanakan. Sedangkan 19,5 persen responden lainnya merasa Pemira tidak penting sama sekali diadakan.
Melihat bagaimana mayoritas responden yang masih menunjukkan kepedulian dan argumen soal pentingnya Pemira, agaknya perlu dianalisis lebih lanjut. Tentu dengan beberapa perbandingan yang justru berbalik soal pengetahuan mereka soal informasi Pemira dan keikutsertaannya dalam menyumbangkan suara.
Kesimpulannya, sangat penting sekali merumuskan cara untuk akhirnya mendongkrak partisipasi mahasiswa dalam mengikuti Pemira. Hal barusan berhubungan dengan isu demokratisasi kampus, dan alternatif pemilihan dengan mekanisme partai yang dibentuk di kampus. Supaya tercipta iklim kehidupan kampus yang lebih aktif, serta dampak dari adanya Pemira tidak dirasakan segelintir golongan saja.
Reporter/Penulis: Abdul, Devita, dan Syifa
Editor: Izam