Pemilihan Raya (Pemira) UNJ mengalami penurunan jumlah pemilih. Mahasiswa akui tidak merasakan perubahan meski berganti pemimpin.
Pemira UNJ telah dilaksanakan pada Rabu (25/1), acara yang dilangsungkan selama tiga hari tersebut menorehkan total 9.053 suara. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan jumlah pemilih pada Pemira dalam dua tahun terakhir.
Misal, pada 2021 terdapat sebanyak 12.108 suara yang terkumpul. Tidak berbeda jauh dengan suara yang terkumpul pada 2022 sebanyak 12.157 suara masuk.
Ketua KPU UNJ, Muhammad Faishal akui adanya keogahan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam Pemira. Ia beralasan fenomena ini disebabkan oleh pengetatan sistem yang dilakukan KPU terhadap penggunaan laman Si Kora tahun ini, di mana mahasiswa harus mengubah kata sandi akun Siakad agar dapat mengakses laman Si Kora. Biasanya, akun Siakad diberikan kepada setiap mahasiswa UNJ menggunakan NIM sebagai kunci aksesnya.
Baca Juga: Ganti Sistem Pemira dan Hidupkan Ruang Publik di UNJ
“Ada pembaharuan sistem keamanan dalam Si Kora yang membuat mahasiswa yang belum mengganti kata sandi siakad, tidak dapat memilih. KPU pun sudah memberikan informasi (penggantian sandi) jauh sebelum pelaksanaan Pemira,” katanya saat diwawancara tim Didaktika via Whatsapp, Senin (30/1).
Ia juga menyayangkan ketiadaan partisipasi mahasiswa dalam kepanitiaan. Hal itu berujung pada pemunduran jadwal pelaksanaan Pemira. Akibatnya, pelaksanaan Pemira itu sendiri berjalan kurang maksimal.
“Beberapa kali kami telah membuka rekrutmen kepanitiaan Pemira tetapi tidak kunjung ada yang daftar, sehingga kami terpaksa memperpanjang masa pendaftaran,” tegasnya.
Sementara itu, beberapa mahasiswa memiliki alasan tersendiri terkait keputusannya untuk tidak memilih. Lebih dari alasan-alasan teknis, pandangan bahwa BEM sendiri tidak lagi relevan menjadi salah satu musababnya.
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, Nugroho Taufiq menjadi salah satu mahasiswa yang tidak menggunakan hak pilihnya. Ia mengaku tidak memilih calon manapun di tingkat Universitas hingga Prodi. Hal tersebut juga ia lakukan di Pemira sebelumnya.
“Tidak (memilih) sama sekali, hanya di tingkat Prodi dan itupun pilih kotak kosong,” ujar pria yang akrab disapa Oho tersebut.
Alasan Oho enggan memilih dikarenakan ketidakpercayaannya terhadap kerja BEM, Oho memandang hingga hari ini BEM tak bisa membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan kampus itu sendiri. Sehingga ia menilai bahwa visi dan misi apapun yang ditawarkan calon manapun hanya menjadi omong kosong belaka.
Musababnya, lanjut mahasiswa semester 4 tersebut, selama ini kerja-kerja BEM terkesan hanya menjadi perpanjangan tangan dari pihak rektorat kampus. Entitas BEM yang masih sarat akan intervensi kuasa kampus membuat absennya gagasan kritis yang dapat ditawarkan oleh BEM. Hal ini terlihat dari sejauh mana BEM bisa menyokong persoalan biaya kuliah.
“Ketidaksetaraan posisi mahasiswa dan kampus di ruang lingkup dapur kebijakan menjadikan BEM nihil gagasan, hari ini saja kerja BEM hanya mengingatkan mahasiswa bayar UKT,” ocapnya.
Senada dengan Oho, Abdillah, mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin juga merasa tak perlu untuk menggunakan hak suaranya. Ia tidak memilih salah satu calon ketua BEM di tingkat universitas lantaran tak pernah merasakan perubahan apapun selama ia berdinamika di kampus.
Ia menilai kerja-kerja BEM selama ini masih kurang dalam merangkul mahasiswa di kampus secara merata. Kepekaan terhadap problem yang dialami mahasiswa juga diharapkan Abdillah ada di dalam diri BEM. Termasuk koordinasi terkait persoalan UKT yang belum lama ini menghampiri Prodinya.
“Lagi pula tidak akan ada yang berubah juga dengan adanya pergantian (kepemimpinan),”pungkasnya.
Penulis: Ezra Hanif
Editor: Izam