Kamis, (21/11) mahasiswa dari berbagai fakultas hadir di plaza UNJ, untuk mencurahkan keresahannya terhadap sistem Pemilihan Raya (PEMIRA) UNJ yang dinilai tidak demokratis dan hanya menghasilkan oligarki kekuasaan di lingkaran pejabat mahasiswa kampus, dalam pengamatan forum tersebut permasalahan mengenai prilaku oligarkis yang hanya mementingkan golongannya duduk di kekuasaan pejabat mahasiswa telah lama terjadi, dan baru pemira kali ini mencuat dikarenakan kemuakkan yang terpendam lama membeludak dan ingin segera menghancurkan ketidakadilan di UNJ, memang saya pun merasa bahwa banyak dari pemira di Universitas sampai tingkat prodi telah diatur sedemikian rupa untuk meloloskan calon ketua yang hanya dari golongan eksklusif. Seperti contoh di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) bagaimana ada orang-orang yang mengatur pemilihan ketua KPU dan calon ketua Badan Eksekutif Mahasiswa sudah ditentukan .melalui notulensi rapat Syuro Wajiha Siyasi, hari/tanggal: Minggu, 23 September 2018, pukul: 13.00-17.30 WIB.

Hal itu terjadi di fakultas lain seperti di Fakultas Bahasa dan Seni yang mengalami diskriminasi dalam upaya pencalonan ketua BEM Fakultas. Miris ketika melihat kelakuan orang-orang di KPU UNJ dan juga Majelis Tinggi Mahasiwa (MTM) yang hanya demi kepentingan golongannya rela menjual demokrasi di UNJ. Lebih miris ketika orang-orang tersebut yang pastinya turun dalam aksi #ReformasiDiKorupsi meneriaki Indonesia dikuasai Oligarki. Padahal praktik busuk itu mereka langgengkan di kampus. Memupuk oligarkinya di kampus.

Kecurangan tersebut bukan hanya di dua fakultas tersebut. Jelas sifatnya sistematis karena kebijakan yang hadir bersifat top-down. Karena sistem tersebut, akhirnya hadir Badan Eksekutif Mahasiswa yang tidak kompeten dan tidak menjadi corong mahasiswa. Dalam narasi calon ketua BEM pun tidak ada yang menyentuh permasalahan utama mahasiswa. Akhirnya terjebak dalam proker-proker acara dan tidak mementingkan suara mahasiswa melainkan kepentingan golongan saja. Padahal, ketika dipilih mahasiswa, BEM harusnya punya tanggung jawab moral terhadap mahasiswa, minimal mendampingi mahasiswa dalam setiap permasalahanya. Bukan bertanggung jawab terhadap golongan apalagi proker belaka. Maka dari itu, marwah BEM sebagai presiden mahasiswa pun harus dirancang ulang supaya sesuai dengan kebutuhan mahasiswa UNJ.

Banyak hal yang menurut saya patut dipermasalahkan dari sistem Pemira di UNJ. Solusinya jelas dan tegas! Mengganti sistem yang ada. Saya menyadari bahwa diskrimasi terjadi bahkan sejak akan mulai pendaftaran calon ketua BEM. Hal yang paling terlihat namun sering kali terlupakan salah satunya syarat yang menyatakan calon ketua BEM harus mengikuti PKMP terlebih dahulu. Bentuk itu, bagi kami adalah salah satu bentuk ketololan abad 21. Bagaimana mungkin seseorang dapat dikatakan mampu memimpin dengan hanya mengikuti ceramah selama 2 hari dan juga di marah marahi bisa di legitimasi menjadi calon ketua yang mempuni, kepemimpinan hanya di ukur dari selembar sertifikat sampah yang tidak ada gunannya.

Sifat pemilihan BEM memang politis. Maka, tidak bisa dijauhkan dari praktik politik. Sementara, praktik politik yang sehat harusnya sejalan dengan konsepsi politik yang cerdas. Mengutip filsuf asal Jerman yang akhirnya lari ke Amerika Serikat karena kekejaman Nazi, Hannah Arendt. Menurutnya politik itu hadir di ruang publik, dan ruang publik tidak boleh di campur adukan oleh urusan Oikos (Rumah tangga) yang bersifat privat, mendominasi, dan despotik. Bagi Arendt politik haruslah otentik dimana politik harus bebas dari penguasaan, dominasi dan kepentingan-kepentingan yang bersifat privat, layaknya kepentingan golongan. Menurut Arendt dalam politik haruslah hadir suatu tindakan, ia membagi tindakan ke dalam tiga yaitu kerja, karya, dan tindakan. Kerja bersifat untuk memenuhi kebutuhan hidup, karya yaitu lepas dari kebutuhan hidup namun masih bersifat privat, dan tindakan yaitu sesuatu hal yang harus hadir diruang publik untuk bersama-sama secara sosial dan membicarakan permasalahan. Semua itu sifatnya harus egaliter juga mengakomodir semua kepentingan.

Dalam bahasanya Arendt, politik haruslah berada dalam kondisi Viva Activa. Dimana semua masyarakat hadir dan diwadahi dalam ruang publik yang bersifat membangun. Sebaiknya dalam politik ruang publik harus meninggalkan Viva Contemplativa dimana yang hadir hanyalah sifat kontemplatif dan perenungan. Karena politik harus dimulai melalui intraksi masyarakat bukan melalui penalaran yang sifatnya kontemplatif.

Iklan

Saya berharap lebih baik pemira kali ini ditiadakan. Sistem yang ada diubah dan dibuat sistem baru yang menunjang hadirnya ruang publik yang sifatnya egaliter di UNJ. Bukan seperti sekarang dimana ruang publik dicampurkan dengan ruang privat.

Penulis: Aditya S.

Editor: M. Muhtar