Komunikasi Risiko dinilai sebagai hal penting bagi media untuk menyampaikan informasi yang akurat, jelas, serta tidak membuat kepanikan bagi masyarakat.

Sudah hampir dua tahun Indonesia mengalami kasus COVID-19. Dimulai dari bulan maret tahun 2020, hal itu seolah menjadi bagian kehidupan masyarakat. Hingga ancaman pada kesehatan masyarakat dari adanya virus yang menjadi pandemi ini. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), untuk mencegah penyebaran yang semakin luas.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang berperan penting dalam penyampaian informasi kepada masyarakat adalah pemerintah maupun media. Salah satu hal yang sangat disayangkan selama pandemi terjadi adalah adanya krisis Komunikasi Risiko, dalam penyampaian informasi soal kesehatan.

Di dalam International Health Regulation (IHR) 2005 disebutkan, Komunikasi Risiko adalah salah satu kapasitas inti yang perlu dibangun dan dijalankan oleh semua negara anggota World Health Organization (WHO), sebagai bagian dari perjanjian global untuk memperkuat sistem nasional dan global, guna mendeteksi dan menangani ancaman bahaya kesehatan masyarakat.

Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama dengan Australia-Indonesia Health Security Partnership (AIHSP), mengadakan program pelatihan dan fellowship jurnalistik, dimulai sejak bulan Maret 2022. Serta, melakukan peresmian wisuda peserta yang dilaksanakan pada Rabu (13/07/2022).

Sasmito selaku Ketua AJI Indonesia menerangkan, diadakannya program pelatihan dan fellowship jurnalistik ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Karena sejatinya komunikasi merupakan hal yang penting, sehingga masyarakat mampu memahami apa yang disampaikan oleh media.

Iklan

Contohnya seperti adanya PPKM, masyarakat tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud dengan PPKM, bagaimana kebijakan PPKM berjalan dan apa yang perlu mereka lakukan ketika berada dalam kondisi PPKM.

Selain itu, contoh dari krisis kesehatan yang ada, yakni banyaknya jurnalis yang terpapar Covid-19. Padahal secara jelas, tugas dari jurnalis adalah memberikan ruang dan informasi yang tepat kepada masyarakat. Namun, jika kondisi kesehatan jurnalis sendiri mengalami penurunan, hal ini juga mempengaruhi atau hambatan mengenai informasi yang akan disampaikan.

Dewi Safitri selaku mentor dari CNN Indonesia, memberikan kesan dan pesan diadakannya program pelatihan dan fellowship jurnalistik. Ia mengatakan, bahwa sebuah Komunikasi Risiko sangat dibutuhkan.

Hal ini ia rasakan sebagai bentuk insight dari pakar tentang isu-isu krisis risiko. Karena Komunikasi Risiko diharapkan memberikan peningkatan pengetahuan, serta pemahaman individu dan masyarakat tentang risiko ancaman bahaya, agar mereka dapat mengantisipasi dan mengatasi risiko-risiko yang mungkin terjadi.

“Salah satu yang istimewa adalah amunisi lebih yang belum tersentuh mengenai Komunikasi Risiko agar hasil liputan berita memiliki kualitas,” ucap Dewi.

Hal ini juga dikatakan oleh Ahmad Arif dari Harian Kompas yang diberi kesempatan sebagai mentor dalam acara fellowship. Baginya, Komunikasi Risiko adalah hal yang penting. Karena, kunci utama yang paling berpengaruh dalam publik adalah komunikasi.

Sehingga hal ini dapat membentuk perspektif masyarakat dalam menghadapi pandemi. Ia berharap perspektif dalam sebuah komunikasi lebih dapat diterapkan dengan penuh perhatian dan pertimbangan.

“Jangan sampai terulang Komunikasi Risiko yang mengabaikan wabah, tetapi masyarakat harus merespon wabah dengan cara yang benar. Sekarang, informasi memiliki kemudahan untuk diakses. Jangan sampai sampai hoaks yang masyarakat terima,” tutur Ahmad.

AJI tidak hanya melaksanakan program pelatihan melalui materi, tetapi juga dipraktikan oleh para jurnalis yang mengikuti kegiatan ini, dengan mencari temuan yang menarik sesuai tema pelatihan yang dilakukan.

Salah satu temuan liputan menarik dipaparkan oleh Dini Suciatiningrum, peserta pelatihan dan fellowship jurnalistik dari CNN Indonesia. Temuan mengenai penolakan vaksinasi di masyarakat. Sudah 1,5 tahun vaksinasi dilaksanakan, namun menurut data yang diperolehnya masih terdapat 19,5% masyarakat yang enggan divaksin.

Iklan

Sebenarnya, gerakan anti vaksin sudah dimulai sejak abad ke-18. Alasan Dini mengambil temuan tersebut dikarenakan jika masyarakat masih belum mau divaksin, maka hal tersebut mengganggu program pemerintah.

“Alasan masyarakat tidak melakukan vaksinasi beragam. Salah satunya adalah ketakutan meninggal setelah melakukan vaksin. Seperti kasus Trio Fauqi, orang pertama yang meninggal karena vaksin,” ucap Dini.

Dini mengatakan, berdasarkan informasi dari keluarga Trio Fauqi, bahwa mereka merasa sakit hati dengan keberadaan anaknya yang tidak diakui, dikarenakan tidak adanya fakta yang jelas dari pemerintah tentang kasus kematian Trio.

Awalnya, orang tua Trio sangat mendukung program vaksin dari pemerintah. Akan tetapi, sampai sekarang ia dan keluarganya tidak mau melakukan vaksin. Beliau mengatakan bahwa ia sudah kehilangan Trio dan pemerintah hanya menutup mata atas kasus tersebut.

Baca Juga

Transformasi Digital, Hoaks, dan Ujaran Kebencian

Menelusuri Jejak Pemikiran Alex Tilaar

Liputan lain dilakukan oleh Maratun Nashihah sebagai peserta kedua dari Jurnalis Suara Merdeka. Ia mengangkat kasus kematian ibu melahirkan yang sangat tinggi selama Covid-19 terutama di daerah Jawa Tengah, yaitu Semarang.

Maratun mengatakan fasilitas kesehatan di daerah Semarang cukup menunjang adanya Covid-19. Namun, lonjakan yang terjadi terutama di bulan Juli 2021 hampir 50%. Selama satu tahun, terdapat 26 orang yang meninggal, dengan 17 korban yakni para ibu karena terpapar Covid-19.

Dari reportase yang dilakukan Maratun, menurut Dosen Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) bahwa masyarakat merasa khawatir untuk datang ke fasilitas kesehatan, dalam artian mereka yang sakit memilih untuk menunda datang ke fasilitas kesehatan. Sehingga, ketika dilakukan pemeriksaan, kondisi mereka sudah cukup parah.

Juga menurut dosen tersebut banyak ibu hamil yang merasa takut, untuk memeriksakan kandungannya ke rumah sakit saat pandemi berlangsung. Mereka memilih untuk tetap di rumah. Mereka merasa kekurangan informasi untuk menyiapkan apa saja yang perlu dilakukan oleh ibu hamil selama masa Covid-19. Terutama dalam kerentanan tubuh ibu hamil di masa pandemi.

“Banyak ibu hamil merasa informasi yang memadai tidak ada. Ada juga yang mengatakan bahwa terdapat aplikasi konsultasi secara online untuk kesehatan, tetapi tidak semua masyarakat mengetahui hal tersebut,” ucap Naratun.

Liputan terakhir oleh Gitamy Armyatiningrum, peserta dari jurnalis CNN Indonesia TV, adalah Transisi dari masa pandemi ke endemi. Menurutnya, banyak istilah asing yang digunakan pemerintah kepada masyarakat dan membuat masyarakat merasa kurang komunikasi atas pelaksanaan kebijakan yang dilakukan.

Contohnya adalah penerapan PPKM level 2 yang baru saja diresmikan, lalu 2 hari kemudian diturunkan kembali menjadi PPKM level 1. Hal ini membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah berkurang.

Selanjutnya, pemerintah terlalu mengandalkan vaksinasi terutama booster untuk keluar dari pandemi. Gitamy mengatakan, sebenarnya tidak ada kepastian kapan Indonesia akan keluar dari pandemi. Yang perlu dilakukan adalah menjaga protokol kesehatan dan memperbaiki komunikasi risiko antara pemerintah, media, juga masyarakat.

“Tujuan Komunikasi Risiko, saya kira hanya sebatas untuk mengatasi sebuah kepanikan. Tetapi, ternyata lebih dari itu. Yakni untuk membuat strategi pencegahan kematian, serta masyarakat dapat melakukan tindakan yang benar,” tutur Gitamy.

 

Penulis: Laila

Editor: Sonia