16 Juni sembilan puluh tahun yang lalu merupakan hari lahir Alexis Rudolf Tilaar, guru besar bidang ilmu pendidikan UNJ.

Satu tahun berlalu, Ruang Belajar Alex TIlaar (RBAT) didirikan sebagai wujud kepedulian dalam memelihara koleksi pribadi salah satu pemikir bidang pendidikan di Indonesia. Ia adalah Henry Alexis Rudolf (H.A.R) Tilaar, seorang guru besar dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang dahulu dikenal sebagai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta.

Kemasyuhran Alex TIlaar dalam bidang pendidikan sudah tidak diragukan lagi, sebab puluhan karya-karyanya telah menghiasi diskursus ilmu pendidikan di Indonesia. Rentetan prestasi akademik dan pengalamannya dalam praksis pendidikan membuatnya disegani. Jimmy Ph Paat, mantan dosen UNJ mengatakan, “kurang lebih selama 50 tahun, Alex Tilaar fokus dalam membahas bidang pendidikan.”

Terkenang dalam ingatan Jimmy, pada 1983, Alex Tilaar secara tegas mengatakan bahwa pedagogik di Indonesia sudah mati. Sebuah ungkapan yang ditulis Jimmy untuk kepentingan diskusi bertajuk “Membaca Alex Tilaar edisi ke-2”, Rabu (16/6/2022). Pernyataan Alex Tilaar merupakan gelegar yang keras layaknya guntur dan halilintar.

Meskipun melontarkan pernyataan tersebut, bukan berarti upaya untuk memformulasikan pedagogik di Indonesia berhenti. Justru, lanjut Jimmy, Alex Tilaar meracik teori pedagogik untuk Indonesia. “Awal permulaannya pada 2002, ketika Tilaar menulis buku berjudul Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia,” jelas Jimmy, murid sekaligus rekan diskusi Alex Tilaar. Pemikirannya kemudian disempurnakan pada 2014, dengan diterbitkannya buku Pedagogik Teoritis untuk Indonesia.

Dalam buku tersebut, Jimmy menjelaskan, Alex Tilaar membagi orientasi pedagogik di Indonesia dalam empat periode, yaitu kolonial, zaman Jepang, post-kolonial, dan era kemerdekaan.

Iklan

Secara detail, Jimmy mengutarakan periode post-kolonial (1945-1955) memiliki orientasi terhadap pemikiran Martinus Jan Langeveld, yaitu pedagogik fenomenologis. “Saking populernya, muncul istilah Langeveldisme,” ujar Jimmy. Meskipun Alex Tilaar membatasi post-kolonial sampai 1955, Jimmy masih merasakan pengaruh Langeveldisme melalui mata kuliah pengantar Pedagoik, ketika ia menginjak bangku perkuliahan tahun 1975-1977 di IKIP Jakarta.

Peralihan dari konstruksi pedagogik kontinental menuju Amerikanisme, jelas Jimmy, dimulai setelah kepulangan sarjana-sarjana pendidikan dari Amerika ke tanah air. Sayangnya, justru dominasi behaviourisme yang menekankan pendekatan kuantitatif dengan tes-tes objektif, “Bukan pedagogik yang membebaskan ala John Dewey,” lanjut Jimmy.

Baca Juga: Berlomba Menjadi PTN-BH

Kekayaan pengetahuan yang dimiliki Alex Tilaar tidak hanya terbatas pada pemikir-pemikir barat. Malahan ia sangat banyak mengutip prinsip-prinsip pendidikan dari Ki Hajar Dewantara dan Mohammad Syafe’I, dua pedagogis Indonesia. Prinsip Ki Hajar Dewantara yang begitu kental dalam pemikiran Alex Tilaar yaitu orientasi pada anak dalam proses pendidikan. Mengutip tulisan Alex Tilaar dalam buku Pedagogik Teoritis untuk Indonesia, Jimmy berkata, “Proses pendidikan yang menghamba pada peserta didik.”

Sepanjang hidupnya, dalam catatan Jimmy Paat, Alex Tilaar sudah menelurkan sekitar 30-an karya dalam bentuk buku. Ini menunjukan produktivitasnya sebagai seorang guru besar pedagogik Indonesia. Yang menarik, lanjut Jimmy, Alex TIlaar memulai karya pertama pada 1970 dengan membahas bidang ekonomi penddikan, kemudian menutupnya pada 2018 dengan bidang yang sama, sebelum guru besar UNJ tersebut berpulang ke alam yang kekal.

Sumbangan Henry Alexis Rudolf Tilaar begitu besar dalam urusan pedagogik di Indonesia. Karya-karyanya penting untuk dibaca, serta pemikiran-pemikirannya musti dikaji untuk dikembangkan. “Oleh karena itu, saya sangat merespon ketika pihak RBAT mengundang untuk berdiskusi dan mengangkat tema Upaya dan Buah Pemikiran Alex Tilaar dalam Merekonstruksi Pedagogik di Indonesia,” kesannya.

Penulis: Ahmad Qori

Editor  : Ihsan