Kehadiran dunia digital membawa banyak persoalan. Diantaranya ujaran kebencian hingga berita hoaks. Lalu, bagaimana cara untuk cakap dalam bersosial media?

Saat ini literasi digital disebut sebagai suatu pemahaman dari berbagai macam media untuk mendapatkan informasi. Hal tersebut dikarenakan media digital mulai menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia. Penggunaan dari media digital memerlukan pembinaan yang cerdas, tepat dan bijak, agar tidak melanggar ketentuan hukum atas kenyamanan pihak lain.

Dalam era transformasi digital ini, penggunaan media sosial dinilai sebagai sebuah kemajuan dari teknologi dan industri. Dengan harapan dapat berkembang untuk kebutuhan masyarakat Indonesia. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa adanya media digital membawa perubahan. Juga membawa dampak-dampak buruk bagi kehidupan masyarakat sendiri.

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), di Indonesia  terdapat 73,7% populasi penduduk yang sudah menggunakan media internet dalam kesehariannya. Tetapi, masih banyak masyarakat yang tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan yang cukup untuk menggunakan media digital.

Masyarakat Indonesia dikenal dengan warga negara yang ramah, sopan santun serta menjaga lisan agar tidak menimbulkan suatu perdebatan. Tetapi, realitas kehidupan di dunia digital berbanding terbalik dengan keadaan di dunia nyata. Untuk memenuhi standarisasi kode etik dalam berperilaku, perlu ditekankan adanya kesadaran sebagai bentuk tujuan penggunaan media digital. 

Untuk itu Kominfo, mengadakan rangkaian webinar literasi digital, salah satunya pada Kamis (07/07/2022), dengan judul webinar Melawan Ujaran Kebencian di Media Sosial. Dengan tujuan membangun kesadaran masyarakat untuk cakap bermedia digital dan menciptakan ruang aman, produktif serta bermanfaat bagi setiap individu.

Iklan

Aribowo Sasmito, Fast-Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Mengatakan bahwa perlu menekan kesadaran masyarakat untuk berintegrasi ketika menggunakan media sosial. Hingga, bertanggung jawab atas apa yang dilakukan dan siap untuk menanggung resiko jika melanggar hak orang lain.

Ia melanjutkan, karena media sosial menjadi sebuah momentum interaksi dengan berbagai macam perbedaan kultural. Untuk itu, perlu adanya standarisasi dalam beretika yang menyangkut hubungan kolaborasi serta kerja sama antar manusia maupun lembaga. Aribowo melanjutkan bahwa Indonesia pernah dikecam menjadi netizen atau penduduk internet paling berbahaya di dunia. Dengan ujaran kebencian yang disebarkan melalui platform-platform sosial media. 

Baca Juga

Kebebasan Pers dalam Jerat UU ITE

Menelusuri Jejak Pemikiran Alex Tilaar

Contohnya, saat kasus piala Asean Football Federation (AFF) 2020, yang diselenggarakan pada tahun 2021 di Vietnam. Dengan mengajak satu sama lain dan saling memprovokasi agar ujaran kebencian mengenai kecurangan yang dilakukan oleh wasit memicu rasisme di media sosial, hingga menghilangkan akun instagram wasit di final piala AFF 2020.

Selain itu, Aribowo mengatakan masyarakat masih dengan mudah menerima berita-berita yang tidak bertanggung jawab atas kebenarannya. Seperti kasus Berita hoax yang pernah viral pada tahun 2018. Hoax yang disampaikan dalam berita adalah penganiayaan Ratna Sarumpaet. Berita ini menampilkan bukti sebuah foto yang memperlihatkan wajah Ratna Sarumpaet seperti memar dan bengkak.

Padahal ia mengatakan bahwa tidak ada kebenaran dalam berita tersebut. Sebagian orang yang tidak berpikir logis dan kritis bisa saja termakan oleh berita hoaks. Namun, jika seseorang memiliki pemikiran logis dan kritis maka ia akan mencari sumber lain terkait berita tersebut agar tidak terpengaruh dengan suatu berita yang tidak bertanggung jawab.

“Ujaran kebencian dalam media sosial terbagi menjadi enam hal. Diantaranya adalah penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan serta memprovokasi atau menghasut dan menyebarkan berita bohong atau yang disebut dengan hoaks,” ujarnya.

Selain Aribowo, Denisa Nur Salsabila, Head of RnD Urban Sakola, mengaku setuju perihal etika dalam dunia digital. Selain etika, menurut Denisa ada beberapa hal lain yang perlu diperhatikan oleh masyarakat sebelum memulai pengaplikasian dunia digital. Individu yang cakap bermedia digital dinilai harus mampu mengetahui, memahami dan menggunakan perangkat keras dan lunak melalui lanskap digital. Seperti mesin pencarian informasi, aplikasi percakapan dan juga dompet digital.

Iklan

Hal ini menurutnya untuk menghindari kekeliruan masyarakat dalam menggunakan sosial media. Jika masyarakat lebih memahami dan mampu beradaptasi dengan baik atas aplikasi yang digunakan, maka diharapkan ujaran kebencian tidak lagi berlaku dalam penggunaan sosial media.

“Mulai lakukan langkah-langkah pencegahan ujaran kebencian, dengan terapkan batasan kepada dirimu sendiri dalam bermedia sosial, lalu diteruskan dengan mengontrol diri secara baik dan mulailah untuk mengganti platform yang membawa dampak negatif dengan platform yang membawa dampak positif,” ujar Denisa.

Seperti yang Dirgantara Wicaksono, CEO Guru Youtuber katakan, ketika bermedia sosial, setiap individu harus mampu dalam menerapkan nilai-nilai budaya bangsa. Juga memanfaatkan teknologi sebaik mungkin dan menghindari adanya permusuhan dengan mempelajari hak-hak bermedia digital.

Ia melanjutkan, dengan begitu, masyarakat diharapkan untuk terus meningkatkan toleransi dari setiap perbedaan yang tercipta. Karena, jika hal tersebut dapat dilakukan, maka batas-batas privasi setiap manusia akan terjaga dengan baik dan tidak ada lagi kebebasan ekspresi yang mengganggu kenyamanan orang lain ataupun suatu lembaga.

 

Penulis; Laila

Editor: Ihsan