Indonesia termasuk negara yang mempunyai regulasi mengenai pendidikan sekolah dasar. Diatur dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, membahas dengan rinci mengenai tujuan, fungsi, pelaksanaan, biaya, sampai pengawasan. Sampai diperbarui oleh aturan Permendikbud Nomor 57 tahun 2014.

Hal tersebut, mengatur kewajiban sekolah dasar untuk memiliki kurikulum, dengan pembagian dua bahan kajian. Pertama Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Adapun kajian kedua. menyangkut bidang Seni budaya dan prakarya dan Pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan.

Sehemat penulis implementasi kebijakan tersebut di sekolah dasar. Siswa dijejali dengan berbagai macam pelajaran, wajib mengerti dan memberikan umpan balik. Diukur lewat pencapaian KKM di akhir pembelajaran. Kemudian, dalam mengajar, interaksi guru hanya berjalan satu arah dan difokuskan pada pengenalan ilmu pengetahuan.

Guru-guru seringkali menerapkan sistem teacher center dan punishment and reward. Bahkan, di beberapa kasus hukuman fisik masih terjadi. Lantas, jika didasarkan pada teori pendidikan dan perkembangan anak. Sudah tepatkah sistem pendidikan dasar di Indonesia?

 

Totto Chan dan sekolahnya

Iklan

Buku Totto-chan mengisahkan tentang bagaimana kehidupan di sekolah dasar swasta Tomoe Gakkue. Meski tidak disebutkan dengan jelas, namun sekolah ini bersifat inklusi. Karena di dalamnya terdapat anak dengan kebutuhan khusus. Seperti Yausaki yang menderita Polio, menyebabkan tangan dan kakinya membengkok. Serta Takahashi dengan kelainan pertumbuhan menyebabkan tubuhnya berhenti berkembang.

Kehidupan di Tomoe Gakkuen berbeda dengan sekolah pada umumnya, karena sedari awal berfokus pada pemberian kebebasan pada peserta didik dan nihil pemaksaan dalam pelaksanan pembelajaran. Berbeda dengan sekolah di Jepang pada umumnya yang berdisiplin ketat. Lembaga tersebut lebih condong ke gaya persekolahan eropa, sebab terdapat mata pelajaran musik dan senam ritmik.

Kita tidak akan melihat murid Tomoe Gakkuen, hanya mendengarkan celotehan guru atau diberikan hukuman berupa kekerasan. Seluruh sikap murid dibangun atas kesadaran dan cara mereka menganalisis suatu perilaku lalu memilah apa yang ingin diikuti.

Selaras dengan Penelitian Jean Piaget tentang anak-anak mengenai teori perkembangan kognitif. Dirinya, mengklasifikasikan perkembangan anak ke dalam empat tahap. Tahap pertama dan kedua dari bayi hingga balita. Kemudian, Tahap ketiganya disebut sebagai tahap operasional konkret berlangsung sekitar usia 7-11 tahun. Ciri dari perkembangan ini, anak mampu memahami konsep sebab-akibat serta perkembangan pemikiran yang terorganisir dan rasional.

Piaget menganggap tahap konkret sebagai titik balik utama, karena menandai awal pemikiran logis. Teorinya menunjukkan bahwa kecerdasan berubah seiring dengan pertumbuhan anak. Perkembangan kognitif seorang anak bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan, anak juga harus mengembangkan atau membangun mental.

Setali tiga uang Tomoe Gakkuen selaras teori perkembangan tersebut. Sekolah ini pada jam pelajaran pertama, guru akan memberi daftar pelajaran terlebih dahulu. Barulah peserta didik diperbolehkan memilih pelajaran yang mereka sukai. Itu membuat peserta didik menjadi semangat untuk bersekolah dan menjalani hari.

Hal di atas, juga akan membuat peserta didik fokus untuk melakukan apa yang sedang dikerjakan. Tanpa terdistraksi kegiatan di sekitar mereka, karena sudah terbiasa pada ruang kelas dengan kegiatan yang beragam.

Sekolah ini, bertempat di gerbong kereta yang disulap menjadi ruang kelas. Pembelajaran dilakukan secara menyenangkan. Peserta didik secara bebas dapat berkonsultasi dengan guru kapanpun tentang pelajaran. Untuk kelas satu dan dua, walaupun mata pelajaran wajib belum didapatkan. Mereka diberi ruang untuk mempelajari minat dan bakat. Hal ini, menjadi pengantar peserta didik mengetahui serta mampu memilah bidang yang mereka suka. Guna dipelajari lebih lanjut pada kelas yang lebih tinggi.

Di Akhir pembelajaran, biasanya guru akan bertanya apa yang ingin mereka lakukan untuk menutup hari. Murid di Tomoe Gakkuen biasanya memilih berjalan-jalan ke kuil yang letaknya cukup jauh dari sekolahnya. Selama perjalanan biasanya mereka akan menanyakan apapun di sekelilingnya. Semisal, bertanya apa yang dilakukan lebah di atas bunga. Lewat pertanyaan sang Guru menjelaskan bahwa lebah membantu bunga untuk bereproduksi.

Contoh lainnya, mata pelajaran musik dan senam ritmik yang berlangsung di aula. Peserta didik disediakan kapur untuk dimainkan. Biasanya mereka akan menggambar not balok dari alunan piano kepala sekolah. Tak jarang, mereka juga menggabungkan gambar satu dengan lainnya, sehingga menjadi sebuah lukisan abstrak.

Iklan

Meski Tomoe Gakkuen tidak memiliki peraturan tertulis mengenai larangan mencoret di sembarang tempat. Peserta didik mengetahui hal tersebut bukanlah hal yang patut dilakukan. Sebab mereka mengetahui sulitnya membersihkan coretan yang mereka buat. Lewat kegiatan menyapu dan membersihkan kembali tempat tersebut seperti semula, pasca puas menggambar di lantai dan tembok.

Buku ini cukup menjadi tamparan bagi pendidikan dasar di Indonesia. Bagaimana seharusnya SD menjadi ladang yang memberikan peserta didik kebebasan untuk mengeksplorasi hal-hal yang didapat sesuai dengan tahap perkembangannya. Novel Totto-Chan, jelas menunjukkan tanggung jawab sekolah dasar atas pembentukan karakter harusnya dilakukan dengan cara-cara menyenangkan.

Sayangnya, cerita buku ini berhenti pada tahun kedua, membuat pembaca tidak mengetahui bagaimana sistem pengajaran untuk kelas lebih tinggi. Serta, terjemahannya memuat beberapa makna kalimat menjadi ambigu dan bias. Perbedaan budaya juga mengharuskan pembaca lebih cermat dalam menerima informasi.

Baca Juga

Don’t Look Up: Sebuah Satire Untuk Media Massa Hari Ini

Cinta Zaman Pra-kemerdekaan

Novel non-fiksi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi aslinya, ditujukan kepada sang kepala sekolah Kobayashi, sebagai ucapan terima kasih. Karena menciptakan masa sekolah dasar yang menyenangkan.

Buku ini turut menjadi bahan refleksi untuk kita semua. Apakah sistem pendidikan di Indonesia sudah menciptakan lingkungan yang menyenangkan untuk melaksanakan pembelajaran? Lebih jauh lagi, buku ini mengajak pembaca untuk bernostalgia mengingat bagaimana dahulu menjalani kehidupan yang menyenangkan di sekolah dasar.

Penulis: Zahra Pramuningtyas

Editor: Abdul