Hari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024 tinggal dihitung jari. Bak barang yang sangat berharga, suara rakyat kini begitu diinginkan oleh banyak pihak. Demi mendapat barang yang berharga itu, segala cara dilakukan para pencari kekuasaan.
Lihat saja, hampir di setiap sudut jalan kini tumpah ruah bertebaran baliho berisi muka dan janji manis para calon pemimpin. Dengan itu, rakyat diharapkan dapat terhipnotis untuk memilih salah satu calon pemimpin.
Tidak cukup, para calon pemimpin amat sering datang ke kediaman rakyat. Mereka bercuap-cuap akan menyelesaikan masalah rakyat jika terpilih menjadi pemimpin.
Namun cekokan simbol, kedekatan emosional, dan janji manis seolah tidak menjamin perolehan suara rakyat. Calon pemimpin harus memberi upeti kepada rakyat.
Bukan tidak mungkin serangan fajar akan banyak terjadi di Pilkada ini. Dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 saja, praktik culas semacam itu masih banyak terjadi. Berdasarkan survei dari Indikator Politik Indonesia, terdapat 18,4 persen responden mengaku menerima serangan fajar untuk memilih salah satu calon presiden.
Baca juga: Merawat Ingatan Mahasiswa atas Kasus Pelanggaran HAM yang Belum Mendapat Keadilan
Melihat itu semua, rakyat seolah sangat berpengaruh dalam sistem politik hari ini. Rakyat seperti raja yang merupakan wakil Tuhan di dunia. Sang raja harus dirayu dan diberi upeti oleh para kontestan Pilkada, agar dapat memenangkan pertandingan. Jargon masyhur demokrasi, yakni Vox populi, Vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) seakan benar tampaknya.
Akan tetapi, melihat konteks Indonesia hari ini, rakyat tidak seperti raja yang mempunyai kekuasaan besar. Kekuasaan rakyat semu, mereka seolah-olah mempunyai andil besar dalam menentukan arah negara, padahal dalam realitasnya tidak. Rakyat hanya dimanipulasi oleh segelintir orang yang mempunyai banyak sumber daya ekonomi dan politik, atau biasa disebut sebagai elite.
Dalam demokrasi hari ini, rakyat hanya dibutuhkan setiap lima tahun sekali untuk legitimasi kekuasaan para elite. Proses pemberian legitimasi itu pun penuh intrik dan tipu daya yang hanya menguntungkan elite. Untuk mencermati hal barusan, mari kita menyelam ke masa awal proses Pilkada 2024.
Intrik dan Tipu Daya Elite
Mula-mula, Prabowo Subianto yang disokong oleh aliansi gemuk bernama Koalisi Indonesia Maju (KIM) berhasil memenangkan Pilpres 2024. Setelah itu, kekuatan politik Prabowo bertambah gemuk karena banyak partai lain masuk ke koalisinya. Dengan begitu, hampir semua partai politik kini membebek kepada pemerintah pusat, KIM pun berganti nama menjadi KIM Plus.
Upaya konsolidasi para elite itu erat kaitannya dengan Pilkada yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Dengan terpusatnya partai politik, jagoan dari KIM Plus bisa dengan mudah menjadi pemimpin. Sebab, perlu 20 persen jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25 persen suara sah agar bisa mengikuti kontestasi Pilkada. Akibatnya, partai politik di luar KIM Plus sangat sulit untuk mengusung calonnya sendiri.
Permasalahan tersebut menyebabkan potensi calon tunggal menjamur di berbagai daerah, termasuk di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Kritik terhadap potensi calon tunggal lalu menyeruak. Di tengah derasnya kritik dari masyarakat, tiba-tiba muncul nama Dharma Pongrekun dan Kun Wardana yang maju sebagai pasangan calon kepala daerah independen di Pilkada DKI Jakarta.
Di telinga banyak warga Jakarta, nama Dharma dan Kun nyaris tidak pernah terdengar. Akan tetapi, secara mengejutkan mereka berhasil memperoleh lebih dari 7,5 persen dukungan dari warga Jakarta. Belakangan terkuak banyak warga Jakarta meyakini kartu tanda penduduk (KTP) mereka telah dicatut untuk mendukung Dharma-Kun. Oleh karenanya, banyak pihak yang berasumsi Dharma-Kun sebagai calon boneka.
Orkestrasi ugal-ugalan elit tadi mendapat badai setelah munculnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60 tahun 2024. Lewat putusan itu, ambang batas syarat pencalonan kepala daerah turun menjadi 6,5 sampai 10 persen sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap. Maka, peluang calon pemimpin alternatif semakin besar.
Tidak menyerah, para elit kembali berkonspirasi. Mereka menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang bertentangan dengan putusan MK. Bahkan, pembahasan RUU itu hanya dilakukan kurang dari tujuh jam. Tindakan itu kemudian menuai kecaman dari rakyat. Hal ini ditunjukkan dengan masifikasi tagar “Peringatan Darurat” di media sosial dan dibarengi aksi-aksi demonstrasi, sehingga menyebabkan RUU Pilkada dibatalkan.
Meski begitu, Pilkada 2024 tidak bisa dianggap demokratis dan merepresentasikan suara rakyat. Sebab, calon tunggal malah tambah menjamur dalam Pilkada ini. Total ada 37 daerah terdapat calon tunggal, menjadikan Pilkada 2024 sebagai Pilkada dengan jumlah kotak kosong terbesar sepanjang sejarah.
Hal itu dipengaruhi konsolidasi para elite yang masih kuat di berbagai daerah. Karena itu, rakyat tidak punya tiket untuk mengusung calon alternatif. Apalagi, modal untuk menjadi kepala daerah cukup besar, bisa mencapai ratusan miliar rupiah.
Imbasnya, gerakan memilih kotak kosong bermunculan di banyak daerah. Di Brebes misalnya, penggagas gerakan kotak kosong menilai, Pilkada tidak demokratis, karena tidak ada calon alternatif.
Penentangan terhadap Pilkada pun tidak hanya terjadi di daerah yang terdapat kotak kosong. Di Jakarta muncul gerakan memilih setiap calon kepala daerah yang diinisiasi oleh Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK). Sebab, mereka menganggap, para calon pemimpin Jakarta tidak mewakili aspirasi masyarakat.
Rakyat Lawan Pembajakan Demokrasi
Banalitas politik barusan memperlihatkan demokrasi Indonesia hari ini hanya mainan para elite semata. Setiap lakon sudah dirancang elite, sementara rakyat dipaksa menjadi penonton yang tertib. Rakyat hanya menjadi objek dari intrik dan tipu daya elite.
Baca juga: Kusut Masai Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan
Dengan begitu, rakyat sangat tertindas dalam demokrasi hari ini. Mereka tidak mempunyai pengaruh untuk menentukan jalannya suatu negara. Alhasil, kebijakan yang kemudian terjadi kerap kali menyengsarakan rakyat.
Sekalinya rakyat secara spontan bergerak untuk melawan pembajakan demokrasi seperti aksi Peringatan Darurat, mereka hanya mendapatkan sedikit pemanis dari elite untuk menstabilkan keadaan sosial. Perubahan secara radikal untuk demokrasi yang mementingkan rakyat tidak terjadi. Dampaknya, kotak kosong masih menjamur, rakyat masih sulit mengusung calon pemimpin, dan demokrasi masih dibegal elite.
Jadi, demokrasi hari ini hanya omon-omon atau cuap-cuap semata. Cuman karena adanya Pemilu, gembar-gembor Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga menggema. Padahal, kontestasi lima tahunan itu penuh masalah dan sekadar formalitas belaka.
Dengan semakin kuatnya konsolidasi elit, rakyat perlu bersatu untuk membuat gerakan politik yang terorganisir. Hal itu dapat memperkuat daya tawar dalam mengubah kebijakan, terutama tentang syarat menjadi calon pemimpin yang sulit dipenuhi rakyat.
Rakyat harus rebut demokrasi yang kini dibegal elite. Dengan begitu, demokrasi yang terjadi tidak cuman omon-omon semata.
Penulis: Andreas Handy
Editor: Naufal Nawwaf