Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) berkolaborasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (BEM Uhamka) dan beberapa organisasi lain menyelenggarakan kegiatan bertajuk “Kita Ada dan Berlipat Ganda” pada, Senin (18/11). Kegiatan ini sebagai upaya melawan lupa atas kasus pelanggaran HAM berat masa lampau.
Rangkaian kegiatan tersebut meliputi mimbar bebas, penampilan seni teatrikal, pemutaran film dokumenter Munir Said Thalib berjudul Bunga Dibakar. Setelah itu, dilanjutkan dengan kegiatan diskusi publik yang membahas seputar pelanggaran HAM dan peran mahasiswa untuk mengawalnya.
Disela-sela diskusi publik, Divisi Hukum KontraS, Vebrina Monicha mengatakan, kegiatan ini digelar sebagai upaya merawat ingatan terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Baginya, kasus pelanggaran HAM berat masa lampau belum menemukan keadilan bagi korban maupun keluarganya.
Vebrina memberi contoh kasus pelanggaran HAM berat 1965, peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari, hingga kasus penculikan aktivis 1998. Dari beberapa contoh kasus tersebut, para pelaku pelanggaran HAM berat belum diadili dan diketahui siapa dalang utamanya.
Lebih lanjut, Vebrina mengkritisi upaya penyelesaian kasus HAM berat dengan jalan non yudisial, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022. Sebabnya, isi dari Keppres itu hanya memberikan bantuan finansial ataupun jabatan kepada keluarga korban tanpa mengadili dalang pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Banyak pelanggaran HAM masa lampau terabaikan dan tak kunjung terselesaikan. Bahkan sampai sekarang dalang utamanya belum pernah diseret ke pengadilan. Perlu upaya serius dan keberanian untuk menguak dalang dari kasus pelanggaran HAM berat,” ucapnya.
Baca juga: Kusut Masai Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan
Syahdan, Vebrina mengungkapkan bahwa impunitas dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masih terlihat jelas hingga kini. Hal tersebut ditinjau saat kontestasi pemilihan presiden tempo lalu, di mana Prabowo Subianto — sebagai pelaku pelanggaran HAM berat 1998 — menjadi presiden terpilih 2024 – 2029.
Selain itu, ia melihat kesukaran lain penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau. Ketika korban penculikan 1998, seperti Mugiyanto Sipin menduduki jabatan strategis di pemerintahan Prabowo.
“Realitas politik hari ini, tidak adanya oposisi di rezim Prabowo semakin menghambat upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Sebab, semuanya mendukung rezim Prabowo dan sedikit aktor-aktor yang menyuarakan,” imbuhnya.
Vebriana menambahkan, kasus pelanggaran HAM kian banyak terjadi belakangan ini. Sebagai contoh, ketika demonstrasi peringatan darurat atau penolakan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah tempo lalu, ratusan massa aksi ditangkap dan mengalami represifitas. Baginya, hal itu bentuk kecil penghilangan paksa dan pelanggaran HAM.
“Hal ini menandakan pemerintahan Indonesia belum belajar dari masa lalu, sehingga hal-hal demikian bisa terjadi lagi,” pungkasnya.
Bertolak dari Vebriana, Divisi Kampanye dan Jaringan KontraS, Aditya Gumay, memperingatkan agar kasus pelanggaran HAM berat tidak terulang kembali. Menurutnya, mahasiswa perlu terlibat aktif menyuarakan agar kasus pelanggaran HAM berat dapat terselesaikan.
Aditya sepakat bahwa pemerintah tidak boleh abai dalam mengusut pelanggaran HAM. Segera usut para pelaku pelanggaran HAM dan mengadilinya. Keadilan untuk korban dan keluarganya tidak boleh dimarginalkan agar keadilan dapat ditegakan.
“Menjerat para pelaku pelanggaran HAM merupakan bentuk penegakan keadilan bagi para korban. Apabila para pelaku tidak diadili, maka pelanggaran HAM akan kembali berulang dan keadilan akan sulit ditegakan,” sebutnya.
Baca juga: Diterpa Gelombang Masalah, Guru Harus Memperkuat Solidaritas
Gayung bersambut, Wakil ketua BEM Uhamka, Fahir mengatakan, film dokumenter tentang Munir dapat menjadi penyegar ingatan mengenai kasus pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, dapat menjadi pembangkit rasa kepedulian mahasiswa ihwal pentingnya HAM.
“Jangan menganggap pelanggaran HAM sebagai hal biasa. Film itu cukup menjelaskan bagaimana kita harus bergerak dan bersikap walaupun kita takut dan tau resikonya,” ungkapnya.
Bagi Fahir, kasus pembunuhan Munir dapat menjadi contoh bagi mahasiswa untuk tetap bergerak dan mengambil sikap dalam kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi. Jangan sampai para pelanggar HAM hidup dengan tenang, atau bahkan malang melintang di pemerintahan kini.
“Mahasiswa wajib mengawal kasus pelanggaran HAM di Indonesia supaya tidak hilang begitu saja. Oleh karena itu, mahasiswa perlu mengasah pikiran kritis dan kepekaannya terhadap kasus pelanggaran HAM berat,” sahutnya.
Reporter/penulis: Sashi dan Nuris
Editor: Lalu Adam