“Pendidikan dan pengajaran itu sesungguhnya harus bersifat pemeliharaan tumbuhnya benih-benih kebudayaan,” ujar Ki Hajar Dewantara ketika memberi pidato sambutan di hadapan Dewan Senat Universitas Gadjah Mada pada tahun 1956. Dengan maksud lain, Bapak Pendidikan Indonesia itu menjelaskan hubungan pendidikan dan kebudayaan yang tidak bisa dipisahkan. 

Namun selepas enam dekade pidato itu disampaikan, terdengar kabar buruk perihal perceraian paksa antara pendidikan dan kebudayaan oleh rezim Prabowo-Gibran. Sebab, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) dipecah menjadi tiga, yakni menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; dan Kementerian Kebudayaan. 

Memang, selepas dilantik menjadi Presiden, Prabowo mengumumkan kabinet gemuknya. Gemuk bukan karena citra gemoy sang presiden saat berkampanye. Melainkan, jumlah anggota kabinet yang penuh hingga tumpah ruah. Ada 14 kementerian baru dalam kabinet gemuk ini.

Penciptaan kabinet gemuk itu dapat terjadi karena adanya Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Melalui revisi itu, pemerintah tidak mempunyai lagi batasan maksimal jumlah kementerian. Alhasil, pemerintah jor-joran membuka banyak kementerian baru.

Ramai-ramai kementerian baru pun sarat akan politik balas budi. Sebab, hampir semua partai politik dan banyak organisasi masyarakat kini menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran. Dengan begitu, kue yang ada perlu diperbesar agar semua peserta pesta dapat kenyang. 

Baca juga: Menyelami Gerakan BTI: Ketika Negara Bergantung kepada Petani dalam Memperluas Akses Pendidikan

Iklan

Maka, penambahan kementerian baru hanya menguntungkan segelintir elite dan minim rasionalisasi ataupun urgensi. Namun terkhusus kemunculan kementerian baru imbas perpecahan Kemendikbud Ristek, dampak yang ditimbulkan lebih dari itu. Adanya perceraian tersebut akan mengakibatkan arah pendidikan Indonesia berlayar kepada perbudakan akal budi alih alih kemerdekaan. 

Untuk menjelaskan hal itu, mari kita berjalan mundur ke masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Melalui buku Kebangkitan Gerakan Taman Siswa, Tsuchiya mencirikan pendidikan kolonial dengan prinsip pemerintahan (regeering), disiplin (tucht), dan ketertiban (orde). 

Pendidikan ala kolonial itu selalu ditentang Ki Hadjar Dewantara. Dirinya mengutuk model pendidikan kolonial yang berkebudayaan budak. Sebab, manusia dituntut untuk selalu tunduk patuh, berorientasi materi, sampai tidak memiliki kebebasan. Pribumi dididik hanya untuk diproyeksikan menjadi tenaga kerja yang menguntungkan pemerintah kolonial. 

Bagi Ki Hadjar, kebudayaan budak bikinan Belanda adalah hasil dari perjuangan untuk menjajah dan menindas bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, mesti ada budaya tandingan terhadap kebudayaan ciptaan Belanda. Kebudayaan tandingan ini yang akan membuat manusia berani menciptakan gagasan baru mengenai kehidupan dan berorientasi kepada pengembangan akal budi merdeka. 

Dengan demikian, sudah seharusnya kebudayaan tandingan bersifat kebangsaan dan mewujudkan sifat atau watak kepribadian bangsa. Musababnya, kebudayaan merupakan hasil perlawanan kolektif, bukan hanya perlawanan satu orang saja. 

Dewantara mengajukan tiga asas kebudayaan bangsa Indonesia, yakni tetep, antep, lan mantep; ngandel, kendel, lan bandel; dan neng, ning, nung, lan nang. Ia menjelaskan asas pertama, yakni  tetep, antep, dan ian mantep yang menyatakan keteguhan hati. Hal tersebut berarti terciptanya sebuah kebudayaan ditentukan oleh keteguhan pikiran dan jiwa dari masyarakat.

Asas kedua menjelaskan kebudayaan membuat seseorang berani (kendel) untuk melawan ketertindasan. Terakhir, asas ketiga berisi jika seseorang bersih pikiran dan jiwanya, maka hatinya cerah dan diberi kekuatan. Dengan kesucian (neng), kecerahan (ning), dan kekuatan (nung), kemenangan (nang) akan tercapai.

Masing-masing kaidah itu berirama dan dengan melaksanakannya, orang dapat mencapai harmoni (tata) dan ketenteraman jiwa (tentrem). Asas-asas itu menjadi nafas dan mantra kebudayaan Indonesia.

Benih-benih kebudayaan bangsa dapat disemai melalui pendidikan. Dengan maksud supaya segala unsur kebudayaan tadi dapat tumbuh dengan sebaik-baiknya. Maka, peran pendidikan menjadi krusial terhadap penciptaan kebudayaan bangsa. 

Pendidikan wajib dilaksanakan dengan tujuan melawan kebudayaan-kebudayaan penjajah. Perjuangan melawan penjajahan tidak bisa melalui gerakan politik saja. Perlu pembibitan gaya hidup merdeka dalam jiwa rakyat Indonesia melalui pendidikan.

Iklan

Namun, pendidikan Indonesia kini tak ubahnya sama dengan masa pemerintahan kolonial. Pendidikan membuat manusia tunduk kepada modal, pragmatis, dan tidak merdeka. Sebabnya, pendidikan Indonesia berorientasi kepada pasar bebas semata.

Hal itu dapat dilihat dari menjamurnya neoliberalisme pendidikan di Indonesia. Menurut Coen Husain Pontoh, neoliberalisme adalah upaya stabilisasi ekonomi makro yang melibatkan penghapusan subsidi barang publik, pemangkasan pekerjaan publik, dan pemotongan belanja sosial.

Baca juga: Diterpa Gelombang Masalah, Guru Harus Memperkuat Solidaritas

Jadi, negara secara perlahan melepaskan pengaruhnya dari barang publik seperti pendidikan. Contoh yang terjadi adalah menjalarnya kampus yang berstatus Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH). Dengan status seperti itu, kampus mendapat otonomi lebih, walau subsidi dari negara berkurang. Hal itulah yang menjadi celah bagi besarnya kepentingan pasar merangsek masuk ke dalam kampus. 

Tidak hanya di kampus, kepentingan pasar pun menjamur di pemerintahan. Terlihat dari perkataan mantan Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Aris Junaidi dalam sambutannya di Buku Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). “MBKM merupakan kebijakan yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja,” ucapnya.

Pun, kepentingan pasar dalam dunia pendidikan akan semakin mewabah ketika terjadi perceraian Kemendikbud Ristek. Terpisahnya kebudayaan dan pendidikan mempermulus nilai pasar memasuki lini tersebut. Sebab, terjadi kekosongan nilai kebudayaan yang diidealkan para pendiri bangsa dalam dalam arah pendidikan Indonesia. 

Betapa mungkin, kekosongan ini akan diisi oleh nilai-nilai individualistik dan materialistik. Hal tersebut membuat peserta didik tumbuh hanya dengan kerangka berpikir tenaga kerja yang patuh. Imbasnya, mereka hanya diam saja ketika melihat penindasan terjadi.

Berorganisasilah!

Meskipun, mustahil rasanya mengawinkan kembali pendidikan dan kebudayaan. Namun, kita masih memiliki beberapa jalan untuk mewujudkan kemerdekaan dalam jiwa pendidikan Indonesia.

Sifat-sifat individualistik dalam pendidikan yang menjajah dapat dilawan apabila kita berorganisasi dan meraih kemerdekaan. Namun, perlu disadari terlebih dahulu bentuk organisasi pendidikan ideal ala Dewantara.

Ki Hadjar mengartikan organisasi sebagai sesuatu yang hidup. Maksudnya, sebuah organisasi jangan sampai mematikan pikiran merdeka para anggota dan masyarakat banyak. Lebih dalam, ia menjelaskan kemerdekaan organisasi dilihat melalui pengabdiannya kepada kepentingan rakyat.

Dewantara menegaskan kemerdekaan Timur tidak bisa dipandang seperti kemerdekaan Barat. Baginya, orang Barat mendefinisikan kemerdekaan sebagai kebebasan individu belaka. Sementara itu, insan merdeka pada terminologi Timur wajib bersatu dengan kepentingan umum. Inilah yang Dewantara sebut dengan persatuan tuan dan hamba (Manunggaling Kawula Gusti).

Penyatuan ini dapat diwujudkan dengan dua fungsi dalam hubungan organisasi. Kedua fungsi tersebut, yaitu fungsi kesetiaan dan fungsi membagi tanggung jawab. Fungsi kesetiaan berarti pengabdian kepada kepentingan umum. Sementara itu, fungsi membagi tanggung jawab adalah setiap anggota organisasi bertanggung jawab mengambil keputusan dan melaksanakannya.

Sebagai pelaksanaan dari seluruh pemikirannya, Dewantara bersama anggota Perkumpulan Selasa Kliwon mendirikan organisasi Taman Siswa. Pendirian organisasi ini berjalan senafas dengan konsep kemerdekaan pendidikan guna membangun kebudayaan nasional.

Maka dari itu, Taman Siswa bergerak untuk kemerdekaan bangsa. Organisasi ini mencetak manusia merdeka yang aktif memperjuangkan penghapusan belenggu penindasan di Indonesia.

Jadi, di tengah kusut masai hubungan kebudayaan dan pendidikan, kita harus memperbanyak organisasi seperti Taman Siswa terdahulu. Dengan demikian, akan banyak lahir manusia-manusia merdeka yang sadar akan haknya sebagai warga negara.

Penulis: Annisa Inayatullah
Editor: Andreas Handy