Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) mendatangi kompleks Kemendikbud Ristek untuk melayangkan somasi kepada pemimpin kementerian tersebut, Nadiem Makarim terkait mahalnya biaya pendidikan tinggi pada Senin (3/6). Disertai dengan orasi politik, aksi somasi tersebut berisi tuntutan utama berupa pencabutan Permendikbud Ristek No.2 Tahun 2024 tentang 

Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.

Anggota Apatis, Aldi mengatakan peraturan Permendikbud Ristek No.2 Tahun 2024 menjadi dasar dari kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) di banyak perguruan tinggi negeri (PTN) belakangan ini. Selain itu, menurutnya peraturan tadi mendorong penerapan dari adanya biaya kuliah di luar UKT, yakni iuran pengembangan institusi (IPI) yang mempunyai tarif tinggi.

“Kami melayangkan somasi ini agar Kemendikbud Ristek mencabut Permendikbud No. 2 Tahun 2024 yang menjadi asbabun nuzul (asal muasal) mahalnya biaya pendidikan,” Jelas Aldi pada Senin (3/6).

Lanjut Aldi, mahalnya biaya pendidikan menjadi bukti bahwa pendidikan Indonesia hari ini tidak berpihak kepada rakyat. Baginya, rakyat semakin tercekik karena tingginya persentase kenaikan biaya pendidikan berbanding terbalik dengan persentase kenaikan upah pekerja yang kecil.

Salah satu anggota Apatis lainnya, Beni menjelaskan bahwa pemberian somasi ini merupakan bagian dari beberapa rentetan dari aksi yang selama ini Apatis pernah lakukan untuk mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia. Ia mengatakan aksi somasi ini merupakan ajakan bagi semua masyarakat Indonesia untuk bergerak membicarakan masalah pendidikan bersama Apatis.

Iklan

Beni mengatakan jika dalam waktu 17 hari (17 x 24 jam) tuntutan-tuntutan Apatis tidak dipenuhi, maka mereka akan melakukan langkah-langkah hukum dan konstitusional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ia pun mengatakan Apatis akan mengadakan aksi-aksi lanjutan di beberapa kampus.

Baca juga: Organisasi Masyarakat Tuntut Hentikan Genosida di Palestina

Massa aksi lainnya, Naufal mengatakan alasannya ikut dalam aksi somasi itu karena mengetahui temannya kesulitan membayar biaya kuliah. Ia mengatakan orang tua dari temannya itu mempunyai pendapatan 2 juta per bulan, tetapi ia mendapatkan tarif UKT senilai 5,4 juta.

“Karenanya permasalahan pendidikan yang saya temui tadi, saya harap dari somasi ini untuk lebih direspon oleh Kemendikbud Ristek” ungkap Naufal.

Sementara itu, Staf Humas Kemendikbud Ristek, Sudrajat mengatakan telah menerima isi dari surat somasi tersebut. Tambahnya, surat somasi itu mengatakan akan dikirimkan kepada para petinggi Kemendikbud Ristek untuk dikaji terlebih dahulu.

“Jadi teman-teman bersabar saja, somasi sudah kami terima, nanti kita proses terlebih dahulu apakah urgent atau tidak tuntutannya,” ucap Sudrajat.

Adapun berbagai tuntutan dari aksi somasi itu di antaranya adalah:

  1. Cabut Permendikbud Ristek No. 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi.
  2. Kembalikan rumus Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah (BOPTN dan BPPTNBH), yang wajib mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa, ortu mahasiswa atau pihak lain yg membiayainya.
  3. Tingkatkan sekurang-kurangnya dua kali lipat anggaran BOPTN dan BPPTNBH, lalu alokasikan untuk memberi subsidi tarif UKT mahasiswa, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
  4. Wajibkan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menerapkan UKT golongan 1 (nol rupiah) dan UKT golongan 2 (500.000 s/d 1.000.000 rupiah) pada mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi sekurang-kurangnya 40% dari seluruh populasi mahasiswa di suatu PTN, di luar mandat program KIP-K dan beasiswa.
  5. Kembalikan pungutan tunggal dalam sistem UKT, dengan melarang penerapan IPI di kampus-kampus dan termasuk segala pungutan di luar UKT (seperti pungutan KKN, KKL, praktikum, yudisium, wisuda, dsb).
  6. Terapkan kebijakan tarif UKT regresif (tarif yang mengalami penurunan nominal secara periodik) sekurang-kurangnya 10% setiap tahun untuk diberlakukan ke semua PTN, seiring dengan penambahan BOPTN ke semua PTN.
  7. Terapkan indikator penempatan mahasiswa dalam golongan UKT secara nasional, dengan mempertimbangkan aspek-aspek sekurang-kurangnya kemampuan ekonomi dan jumlah tanggungan keluarga/wali mahasiswa. Indikator tersebut harus diumumkan secara transparan kepada publik.
  8. Batalkan seluruh kerjasama pinjaman dana pendidikan (student loan) antara perusahaan-perusahaan lembaga keuangan (perbankan maupun perusahaan pinjaman online) dengan perguruan tinggi.
  9. Anggarkan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) pada semua Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang bersifat nirlaba, yang fokus dialokasikan untuk penurunan tarif uang kuliah mahasiswa PTS yang kurang mampu secara ekonomi.
  10. Wajibkan perguruan tinggi untuk melibatkan civitas akademika (mahasiswa, dosen, dan pekerja kampus) secara terbuka dalam setiap perencanaan, perumusan, dan pengambilan kebijakan perguruan tinggi yang berdampak pada civitas akademika.

Penulis: Asbabur Riyasy

Editor: Andreas Handy