Dunia kampus kembali gempar seiringan dengan terkuaknya kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok program magang di Jerman bernama “Ferienjob”. Tercatat 1.047 mahasiswa dari 33 universitas menjadi korban dari kegiatan yang berlangsung dari Oktober-Desember 2023 itu. 

Salah satu korban yang diwawancarai Kompas, mengaku dirinya dipekerjakan di Jerman untuk menyortir paket dan buah-buahan serta menjadi kuli bangunan (mengupas cat, memperbaiki dinding dan lantai apartemen). Pekerjaan ini sangat kontras, jika dibandingkan dengan latar si mahasiswa di jurusan Ilmu Pemerintah, Universitas Jambi.

Pengakuan lain dari mahasiswa yang banyak bertebaran di media sosial maupun surat kabar kebanyakan mengalami kerugian, sebab sejak awal tidak ada kejelasan terkait pekerjaan yang akan dikerjakan di Jerman. Belum lagi, terdapat pula pengakuan mahasiswa harus merogoh kocek sebesar Rp 10 juta guna mengurus pendaftaran program bodong itu. 

Sejauh ini telah ditetapkan lima tersangka yang masing-masing berasal dari pihak perusahaan, serta pejabat universitas sebagai penyalur mahasiswa ke Jerman. Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menjadi salah satu kampus negeri yang pejabatnya terjerat dalam kasus tersebut.

Pihak UNJ yang diwakili oleh Staf Pengembang Wakil Rektor IV dalam wawancaranya kepada Tempo.co, mengaku kampusnya tertarik dengan program Ferienjob sebab bisa membantu UNJ di dalam memenuhi target Indikator Kinerja Utama (IKU) buatan Kemendikbudristek. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Rektor UNJ dalam acara penandatangan nota kesepahaman dengan PT SHB yang meyakini kerja sama program itu bisa mendongkrak posisi kampusnya di Liga IKU.

Dalam kasus ini, dalih kampus dalam mengejar target IKU patut digarisbawahi. Bak sebuah perlombaan, IKU memang mendesain universitas untuk berkompetisi mendapatkan insentif dari Kemendikburistek guna menambah pemasukan institusinya. Jumlah insentifnya memang tak main-main, yaitu sebesar Rp 500 miliar. Jumlah tersebut dibagikan sesuai dengan kemampuan PTN memenuhi standarisasi milik kementerian tadi.

Iklan

Seperti yang bisa dilihat, pada praktiknya hal ini justru memunculkan penyakit di kampus-kampus Indonesia. Segala cara ditempuh, meskipun harus mengorbankan mahasiswa ataupun marwah akademik kampusnya. Ferienjob hanyalah satu dari rentetan kasus-kasus sebelumnya, seperti maraknya praktik perjokian yang melibatkan mahasiswa, dosen bahkan guru besar.

Target Tertinggi “Standar Emas”

Jika dianalogikan dalam bentuk kompetisi, IKU merupakan sebuah perlombaan dengan delapan cabang lomba yang diatur oleh Kemendikbudristek untuk diikuti oleh PTN. Nantinya, setiap universitas akan berpacu dalam mengumpulkan poin guna merebut puncak klasamen di dalam Liga IKU. 

IKU dicetuskan Kemendikbudristek sebagai jalan keluar universitas-universitas Indonesia untuk meningkatkan kualitas pengajaran, penelitian dan pengabdian, serta yang terpenting agar bisa mengejar ketertinggalan di dunia internasional. Maka, IKU menitikberatkan indikatornya ke tiga aspek utama, yaitu kualitas lulusan, kualitas dosen dan pengajar dan kualitas kurikulum.

Ketiga aspek utama di atas diturunkan dalam delapan poin indikator yang menjadi ukuran kinerja setiap PTN di Indonesia. Delapan poin itu adalah lulusan mendapat pekerjaan layak, mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus, dosen berkegiatan di luar kampus, praktisi mengajar di dalam kampus, hasil kerja dosen digunakan oleh masyarakat atau mendapat rekognisi internasional, program studi bekerja sama dengan mitra internasional, kelas yang kolaboratif dan partisipatif, dan program studi berstandar internasional.

Secara sekilas hal ini seakan manjur untuk menstimulus PTN dalam mengembangkan keunggulan institusinya. Namun, masalahnya Kemendikbudristek seakan tutup mata akan adanya ketimpangan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia baik dalam hal pengajaran, penelitian, sumber daya manusia, dll. 

Seperti yang sudah bisa ditebak, ketimpangan itu membuat kampus menghalalkan segala cara dalam memenangkan kompetisi tersebut. Rayuan insentif untuk membantu pembiayaan operasional kampus tentu diincar setiap PTN. Padahal sejatinya, bantuan ini menjadi hak universitas untuk mengembangkan institusinya.

Sebelum kasus Ferienjob, sebetulnya sudah ada sebuah tamparan keras terhadap universitas negeri di Indonesia terkait maraknya praktik perjokian jurnal ilmiah. Jika ditelusuri, keduanya ternyata berangkat dari titik pangkal sama, yaitu IKU. Jurnal ilmiah milik dosen menjadi salah satu keluaran yang diukur kalau dipublikasikan di jurnal-jurnal terindeks, seperti Scopus ataupun memperoleh minimal 10 sitasi.

Investigasi Kompas menunjukkan, bahwa praktik perjokian tumbuh subur di dunia akademisi tanah air. Hasil penelusuran media ini juga menemukan di lapangan kisaran tarif untuk setiap karya akademik berbeda-beda, khususnya pembuatan naskah guna diterbitkan di jurnal ilmiah dimulai dari angka Rp 10 juta.

Praktik-praktik kotor barusan menunjukkan suatu gambaran semu terkait “standar emas” yang ingin dicapai oleh kementrian. Selama ini standarisasi yang telah dicapai tak ubahnya sebuah perayaan semu dengan berbagai pengorbanan dari mahasiswa, etika akademik dan moral intelektual.

Iklan

Baca juga: Mahasiswa Fakultas Ekonomi Mendesak Buku Pedoman PKL Segera Terbit

MBKM sebuah Omong Kosong?

IKU merupakan bagian tak terpisahkan dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). MBKM dinyatakan Nadiem Makarim sebagai pemberian otonomi dan pembebasan bagi setiap akademisi di kampus dari jeratan birokrasi guna memilih bidang sesuai kesukaannya. Tujuan ini bisa dibilang sebuah omong kosong belaka, jika dilihat dari penerapannya di lapangan. 

MBKM tak ubahnya sebuah instrumen pemaksaan secara halus, sebab kampus tak punya pilihan lain jika tak menerapkannya. Belum lagi MBKM membawa satu kultur korporasi yang kental, di mana semua hal di universitas harus diukur secara kuantitatif. Tak satupun semangat dari program ini untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara kritis dan mendalam.

Baik MBKM maupun IKU keduanya memiliki prinsip untuk merelevansikan kampus dengan dunia industri dan kerja. Lewat sini teranglah pengembangan ilmu pengetahuan tak memiliki ruang lagi di universitas-universitas kita.

Kasus Ferienjob yang awalnya dikaitkan dengan program magang MBKM–meskipun akhirnya disangkal oleh Dirjen Dikti, karena tak memperhatikan hak-hak mahasiswa–sudah menunjukkan secara sekilas bagaimana implementasinya di lapangan. Sehemat penulis, banyak sekali keluhan-keluhan mengikuti MBKM di media sosial, seperti soal beban magang yang tak sesuai, lambatnya pencairan insentif, serta keterpaksaan akibat diwajibkan oleh dosen pengampu mata kuliah untuk ikut program itu.

Sejauh ini, memang sudah banyak kritik dilayangkan terhadap program MBKM. Namun, tak ada tanggapan atau respon untuk perbaikan. Hal ini juga menunjukkan watak dari Kemendikbudristek yang anti-kritik. Dalam kasus ferienjob semua pihak, baik kampus maupun kementerian semuanya berusaha cuci tangan dan menganggap ini merupakan kesalahan penipuan yang menimpa universitas.

Padahal 1.047 mahasiswa yang menjadi korban karena diarahkan oleh universitas. Di sini universitas mengejar apa yang menjadi target dari kementrian, sebab mengincar insentif untuk membiayai operasional institusinya. Jikalau MBKM ataupun IKU tidak menitikberatkan capaiannya pada aktivitas mahasiswa di luar kampus, seperti magang, apakah ribuan mahasiswa itu akan menjadi korban? 

 

Penulis: Mukhtar Abdullah

Editor: Andreas Handy