“Dulu saya garap ya tinggal garap, ga perlu pakai izin, kalo izin juga mintanya ke siapa? Saya di sini untuk sekadar cari nafkah aja.”
Dengan tubuh gemetar, Markus–bukan nama sebenarnya–menggali kembali memori puluhan tahun lalu tentang kedatangannya ke Kampung Bulak pada 1980. Ia datang bersama ayah angkatnya, setelah menempuh perjalanan panjang dari Bima, Nusa Tenggara Barat.
Pria yang berusia lebih dari tujuh dekade tersebut datang sebagai penggarap lahan. Kala ia menapaki lahan yang terletak di Cisalak, Depok, tanah itu tidak lebih dari hutan yang tak terurus. Beberapa titik di tanah itu terdapat rumah semi permanen milik sesama penggarap. Kampung Bulak sudah berpenghuni jauh sebelum Markus datang.
Ia mengaku tak pernah terkendala dalam masalah perizinan menggarap tanah yang saat itu menjadi hak pakai Radio Republik Indonesia (RRI). “Dulu saya garap ya tinggal garap, ga perlu pakai izin, kalo izin juga mintanya ke siapa? Saya di sini untuk sekadar cari nafkah aja,” ucap Markus saat ditemui di rumahnya Sabtu (27/01).
Markus tidak mengetahui lahan yang ia garap merupakan bagian dari hak pakai RRI yang tertuang dalam sertifikat 00001/1981 Cisalak. Tidak semua hak pakai 187 hektar itu digunakan untuk keperluan RRI, Markus bersaksi RRI hanya memakai sebagian lahan untuk bangunan dan pemancar. RRI menyisakan lahan tidak produktif yang akhirnya digarap Markus.
Selama 40 tahun ia menggarap, kejadian pada 1991 menjadi bekas yang tak bisa ia lupakan. Pada tahun itu RRI mengirimkan surat peringatan pengosongan lahan milik Markus. Tidak hanya melalui surat, menurut kesaksian Markus, Harmoko yang sewaktu itu menjabat Menteri Penerangan melepas 3000 ekor sapi di lahan tersebut.
“Sampe saya gak tidur untuk menjaga lahan, ya supaya sapinya ga makan tanaman,” tambah istri Markus dengan linangan air mata.
Hama berkaki empat itu terus mengganggu warga penggarap sampai tahun 1996. Ia dan penggarap lain sampai kewalahan menjaga lahannya agar tidak dirusak.
Markus dan istrinya bukan penggarap besar, ia hanya menanam tanaman musiman seperti singkong, sayur, dan beberapa buah-buahan. Beberapa ia pakai untuk konsumsi, sisanya dijual ke pasar. Kini di hari tuanya, Markus dan istrinya kembali dibuat gundah gulana dengan adanya wacana UIII akan mengosongkan lahan pemukiman warga, yang sewaktu-waktu bisa menimpa dirinya.
“Ya kita ketar-ketir juga. Dibilang gawat ya engga, dibilang khawatir ya kondisinya begini,” pungkas istri Markus sambil menatap ke arah gedung UIII yang berdiri dekat rumahnya.
Baca juga: Nestapa Orang-orang Kampung Bayam dalam Mengakses Air Bersih
Sengkarut Tanah PSN UIII
Tanah di pinggiran kota Depok ini memiliki cerita panjang. Sejak zaman kolonialisme Belanda, Kampung Bulak termasuk ke dalam lahan perkebunan seluas 218 hektar milik orang Belanda bernama Gerald Tugo Faber dan Samoel De Meyer, yang tercatat dalam Eigendom Verponding No. 488.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, orang Belanda yang sebelumnya menguasai tanah pulang ke negara asalnya. Tanah itu pun dikuasai negara atas nama Departemen Penerangan cq Radio Republik Indonesia yang tercatat di sertifikat 00001/Cisalak 1981 seluas 187 hektar. Diketahui setelah tahun 60-an mulai berdatangan orang-orang yang datang ke tanah itu dengan tujuan menggarap sembari membuat tempat tinggal.
Kejanggalan terasa pada 2002 ketika keluarga Muhammad Samin membawa kasus persengketaan tanah ini ke pengadilan. Keluarga Samin menggugat RRI bahwa mereka mempunyai hak di sebagian tanah yang tertulis pada sertifikat 00001/Cisalak 1981 itu.
RRI sendiri membela bahwa pada 27 Desember 1956, pihaknya membeli tanah kepada seorang Tionghoa bernama Han Tek Nio atas nama NV. Maatschappij Exploitatie van Het Land melalui Eigendom Verponding (EV) No. 23 seluas 300 hektar. Namun sebagaimana tertulis pada putusan Mahkamah Agung No. 588. PK/Pdt/2002 menyatakan bahwa Eigendom milik Han Tek Nio itu palsu. Sebenarnya, EV itu milik Samoel De Meyer dengan luas hanya 42 hektar.
“Departemen Agama, UIII (yang nanti akan mewarisi lahan RRI) ini sudah cacat hukum dari awal,” simpul Lenny, warga Kampung Bulak.
Rancangan besar pengadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dimunculkan pada 2017 lalu. Dari sana, UIII merencanakan untuk “membersihkan” pemukiman warga yang berada di tanah hak pakai Kementerian Agama.
Niat membangun mega proyek UIII itu ditunjukan dengan mengalihkan hak pakai dari RRI ke Kementerian Agama. Tercatat pada sertifikat 00002/Cisalak 2018 terdapat 142 hektar tanah hak pakai RRI telah dialihkan ke Kemenag untuk pembangunan UIII.
Sosialisasi di tahun 2017 mengenai rancangan besar itu diadakan di Hotel Bumi Wiyata, Depok. Beberapa pihak hadir dalam pertemuan, seperti ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada saat itu, Ma’ruf Amin, Kapolres Depok, pihak Kementerian Agama, serta sekitar 40 warga Kampung Bulak.
Usman seorang warga yang waktu itu ikut berunding ingat kesepakatan Kemenag adalah mengambil sekitar 20 hektar untuk sarana UIII. Ia pun berkata, Kemenag menjanjikan proyek ini tidak akan mengganggu pemukiman warga. Warga pun antusias mengetahui akan adanya universitas bertaraf internasional yang hanya akan memakan sedikit lahan.
“Ya kita gembira sekali, apalagi hanya butuh tanah 20 hektar. Kalo 20 hektar kan mereka ga sampai ke sini (Kampung Bulak),” ucap Usman dengan menyunggingkan senyum.
Nyatanya, tahap pertama pembebasan lahan yang selesai pada November 2019, UIII telah membersihkan 30,7 hektar tanah. Pada tahun 2020 dan 2021 ada 30 hektar tanah terbebas di masing tahunnya. Di tahun 2023, pembebasan lahan memasuki tahap terakhir yang akan membebaskan lahan seluas 32,9 hektar.
Akibat hal ini, pemukiman warga menjadi objek penertiban lahan. Romlah menjadi salah satu warga yang pertama kali mengalami penggusuran pada November 2019. Tanpa mediasi dan peringatan, Romlah hanya dapat meratapi ketika pihak UIII yang dibeking aparat menggusur tahahnya.
“Saya stress dapet kabar penggusuran. Bisa dibayangkan lah bagaimana perih saat itu, luar biasa kelelahan,” kata Romlah dengan raut wajah gelisah.
Lahan seluas 7000 m² yang mencakup tempat tinggal, perkebunan, dan tempat usaha kini telah berganti menjadi perumahan dosen. Hingga kini, Romlah dan sebagian warga lainnya belum mendapat uang kompensasi setimpal dengan nilai harta yang tergusur.
“Malah ga bisa dibayarkan (kompensasi). Kalau memang menggugat lewat pengadilan, gimana kami bisa menang menggugat negara. Kami tau ini tanah hak negara, beberapa kali kami juga sudah coba mediasi dengan pihak UIII, tapi hasilnya buntu,” ungkapnya.
Penulis/reporter: Fadil
Editor: Izam