Di balik megahnya PIK dan pulau-pulau buatan, terdapat balada bagi masyarakat pesisir Kampung Dadap. Meski digempur pengusiran, perampasan ruang hidup, hingga pencemaran laut, warga memilih bertahan.
Sore itu, di bawah tanggul beton yang membentengi muara Sungai Dadap, belasan orang berkumpul. Di seberangnya, Mega proyek reklamasi milik PT. Agung Sedayu Group yang dikenal sebagai Pantai Indah Kapuk (PIK 2) menjulang megah.
Mereka adalah peserta workshop bertajuk “Menengok Dadap Lebih Dekat” yang diadakan di Kampung Baru Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang pada Sabtu (13/12). Salah satu peserta, mahasiswa Prodi Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta, Mutmah (24) membawa klip plastik berisi air yang didapat dari beberapa lokasi dalam perjalanannya.
“Kami dibagi beberapa kelompok, dan ditugaskan menyusuri kampung nelayan sembari mengambil apapun yang patut disimpan atau dibawa. Ada kelompok air, tanah, nelayan, non-human, anak, dan mitologi. Kebetulan aku masuk kelompok air, jadi kami berkeliling ke beberapa titik yang berhubungan dengan air,” ujarnya.
Dalam perjalanannya, Mutmah sesekali melangkah di atas tumpukan kulit kerang. Ia juga kerap menemui bangunan rumah yang terendam banjir rob, bahkan tak jarang sudah bercampur dengan sampah.
Baca juga: PLTGU Hancurkan Ruang Hidup Nelayan Pesisir Cilamaya Wetan
Menurut keterangan warga, banjir rob tersebut sudah lama menggenang. Terlihat dari warnanya yang kehijauan karena kandungan lumut. Dirinya pun mengambil sedikit airnya untuk dibawa.
Perjalanan Mutmah berlanjut ke sebuah tanggul yang membentang 4,8 Km dari Dadap hingga Kamal Muara, Jakarta Utara. Tanggul tersebut merupakan buah proyek strategis nasional (PSN) atau disebut “Giant Sea Wall” yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Pemukiman Rakyat (PUPR) 2023 lalu.
Proyek tersebut mengakibatkan 300 keluarga tergusur, dalihnya untuk mencegah banjir rob. Namun warga mengaku, setelah ada tanggul banjir sulit untuk surut. Musababnya, genangan air malah tertahan tak mengalir ke laut.
Di salah satu sudut tanggul, terdapat saluran air yang menghubungkan ke laut. Alih-alih mengalir, Mutmah mendapati air di dalamnya justru menggenang. Ia juga mengambilnya sedikit untuk dijadikan sampel.
“Kedua sampel ini patut diabadikan, ia menjadi saksi bagaimana pembangunan yang justru menambah penderitaan warga, tidak works,” katanya.
Baginya, perjalanan ini memberikan banyak pelajaran. Sebagai seorang awam, ia mengaku semakin terpantik untuk mengeksplorasi kehidupan yang kerap tersembunyi di balik roda pembangunan.
Bertahan di Tengah Gempuran Pembangunan
Bertahan di Dadap adalah keputusan bulat bagi Kuswanto (46). Baginya, tanah Dadap yang sudah bertahun-tahun memberinya kehidupan pantas untuk dipertahankan.
Pria kelahiran Cirebon itu masih ingat betul pertama kalinya menginjakkan kaki di Dadap 26 tahun lalu. Wanto, sapaannya, bercerita sudah melaut sejak berumur 14 tahun. Kala itu, ia kerap bekerja menjadi anak buah kapal (ABK).
Bekerja di laut telah membawa dirinya ke berbagai tempat. Di usianya yang ke-17, ia menetap lama di Riau. Empat tahun lamanya di sana, Wanto memutuskan berlayar ke Dadap.
Bukan tanpa alasan, dirinya terdorong oleh cerita-cerita dari nelayan lain. Kala itu, bagi Wanto Dadap terdengar seperti surga. Di sana tak berlaku angin musim, airnya tenang, berikut keberlimpahan hayati.
“Kalau kata teman-teman, yang paling nyaman di Dadap. Di sini kita bisa melaut tiap hari, bisa dapat ikan banyak bahkan ketika masih di muara. Zaman belum banyak pembangunan,” kenangnya.
Tak lama ia menetap, tahun 2003 ia memutuskan berlayar ke tempat lain. Tepatnya ke Muara Angke, Muara Baru, lanjut ke Batam. Ia kembali ke Dadap pada 2013, sejak itu ia tak mau ke mana-mana lagi.
Sekembalinya dari Batam, ia terkejut mendapati gundukan pasir timbul di sebelah timur laut Kampung Dadap. Gundukan itu kini telah menjadi Pulau C dan Pulau D, pulau reklamasi buatan PT Kapuk Naga Indah anak dari PT Agung Sedayu. Kini, kedua pulau sebesar 588 hektar itu menjadi bagian dari PIK 1.
Padahal, menurut Wanto tempat itu tadinya adalah lumbung ikan. Ia biasa mencari bandeng dan rajungan di sana.
“Dulu di sana bisa 2-3 kali bolak-balik cari ikan, kalau jaring penuh, kita angkut sembari menaruh jaring lagi. Sekali angkut bisa 50 kilo,” kelakarnya.
Sejak 2013, Dadap juga diwarnai pembangunan pabrik-pabrik dan pergudangan. Limbah cair dari produksi pabrik yang mengalir ke muara, jadi musuh bagi para nelayan seperti dirinya.
Hingga kini, Wanto dan teman-temannya kerap mendapati air laut yang tercemar limbah membunuh ikan-ikan. Akibatnya, kini ikan semakin sulit didapatkan. Dengan begitu, ia mesti berlayar lebih jauh lagi.
Baca juga: Luntang-lantung Nasib Eks Petani Cilamaya Setelah Alih Fungsi Lahan
Masalahnya, harga yang cenderung naik membuat pelayaran tidak murah. Kini, wanto mesti menyiapkan 5 liter solar atau merogoh kocek sekitar Rp 50 ribu sekali melaut. Biaya yang tak sebanding dengan pendapatannya yang kadang tak sampai Rp 100 ribu.
“Dulu Rp 2 juta bisa dapat dalam sehari, sekarang cuma Rp 40 ribu, Rp 15 ribu. Capek sendiri kalau dengar keluhan istri,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Tak cukup merebut laut, warga Dadap juga pernah terancam digusur tempat tinggalnya. Tepatnya 2016, Wanto menyaksikan 550 aparat gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP mengepung kampungnya.
Sebelumnya, warga mendapat undangan sosialisasi dari Pemkab Tangerang perihal penertiban lokalisasi yang ada di sana. Namun, penertiban tersebut dianggap warga hanya dalih. Pasalnya, apa yang disosialisasikan adalah rencana pembangunan rumah susun dan Islamic Center. Warga juga diminta untuk pindah ke rumah susun yang jaraknya 2 km dari pesisir.
Wanto berujar, waktu itu warga tak terima. Sebab banyak keluarga akan kehilangan ruang hidupnya. Warga juga menilai, upaya penataan kawasan ini terkait erat dengan proyek reklamasi teluk Jakarta dan PIK.
“Kita orang pesisir cari makan di laut, tapi malah mau dijauhkan dari laut, nelayan seperti kami juga tak bisa tinggal di rusun,” katanya.
Bahkan Bupati Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar kala itu mengeluarkan surat peringatan hingga dua kali. Warga tetap menolak dan menggusur sendiri bangunan-bangunan yang terkait dengan tempat lokalisasi.
Walhasil, bentrok antara warga dan ratusan aparat tak terhindarkan pada 10 Mei. Akibatnya, 5 orang terluka terkena peluru tajam.
Sejak kejadian itu, Wanto dan warga lain tak pernah percaya dengan proyek apapun. Baginya, pembangunan hanya untuk kepentingan penguasa dan orang-orang kaya.
“Tidak tahu ya, nelayan kok selalu ditindas gitu, dibikin gak betah, seolah ingin dihabisi,” ujarnya.
Tetap bertahan adalah pilihan mutlak bagi Wanto. Meski banyak stigma buruk menempel pada dirinya, baginya jalan yang dipilih sudah benar.
“Saya sering dicap teroris lah, pembangkang. Tidak apa-apa, saya bangga mempertahankan tanah ini, pohon saja bisa tumbuh di atas beton, kami juga harus bisa,” kelakarnya.
Perlawanan Terus Dilakukan
Malam menjelang, selepas para peserta kembali ke titik awal mereka. Saat itu merupakan hari pertama dari Festival Dadap Vol. 4. Sebuah hajat yang berlangsung selama dua hari itu mengusung tajuk “Balada Pesisir”.
Salah satu inisiator dari Festival Dadap, Deddy Sopian (27) mengungkap bahwa ini merupakan ke-4 kalinya Festival Dadap diadakan sejak 2020. Bahkan, ia cukup bangga karena bisa tetap melaksanakannya di tengah krisis sumber daya.
“Melalui Festival Dadap, teman-teman bisa mengekspresikan seni berbarengan dengan perlawanan, melawan dengan seni,” tegasnya.
Deddy adalah anak seorang nelayan. Meski terbilang muda, lahir di pesisir membuat kehidupannya terikat dengan laut. Bahkan, lulusan sarjana hukum itu bercerita sempat menggantungkan nasibnya kepada laut.
Baca juga: Tali Simpul Kerentanan Pekerja Informal: Sebuah Catatan dari Kapitalisme Pinggiran
Sepanjang 2019, Deddy ikut pamannya menjadi distributor tangkapan nelayan. Terkadang ia ikut menimbang dan mengirim produk ikan hingga rajungan. Namun, lapaknya kini sudah berganti menjadi tanggul.
Sejak saat itu, sumber penghasilannya hilang. Baginya, pembangunan tanggul laut adalah proyek bohong. Tidak hanya Deddy, masyarakat pesisir di Dadap mengalami perampasan ruang hidup. Seperti penggusuran, pengusiran paksa, hingga pencemaran laut selama hampir satu dekade.
Sejak saat itu, Deddy bersama anak-anak muda lainnya memutuskan untuk memperkuat solidaritas antar warga. Akhirnya, lahir ide kolektif untuk menyelenggarakan Festival Dadap sebagai wadah berseni sekaligus manifestasi perlawanan.
“Semoga Festival Dadap ini dapat seterusnya jadi kebanggaan muda-mudi dan warga Dadap, agar tetap sadar dan tidak kehilangan idealisme, sekaligus warning juga untuk para oligarki dan hantu tanah kalau kita masih ada,” pungkasnya.
Penulis/reporter: Ezra Hanif
Editor: Zahra Pramuningtyas