Terhitung sejak alih fungsi lahan menjadi PLTGU pada 2015, sebanyak 90% petani penggarap di Desa Cilamaya masih menganggur.  

Sebuah corong besar mengeluarkan asap putih pekat tampak menjulang tinggi di antara perumahan warga. Lahan seluas 33 hektare tersebut digunakan untuk pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Jawa Satu Power (JSP) yang digadang-gadang mampu memasok listrik untuk Pulau Jawa, Bali, dan Madura. Lahan yang semula dimiliki oleh Pertamina Gas (Pertagas) itu dahulunya merupakan ladang garapan bagi warga Desa Cilamaya, Kabupaten Karawang sebelum rencana pembangunan PLTGU pada 2015 lalu. Sebanyak 34 orang petani penggarap kehilangan mata pencahariannya.

Salah satu eks petani penggarap lahan Pertagas, Udin menjelaskan bahwa setelah kehadiran PLTGU kehidupannya mulai mengalami banyak kesulitan. “Dulu mah sewaktu masih bertani hidup enak, mau beli apa-apa tinggal beli. Tapi sekarang buat makan sehari-hari aja susah banget,” ujar Udin ketika ditemui tim Didaktika di rumahnya, Rabu (22/11).

Udin yang telah memasuki usia 70 tahun bercerita, pada 2015 pihak Pertagas memberikan ultimatum kepada seluruh petani penggarap untuk berhenti menggarap di musim berikutnya. Mereka menyatakan lahan dengan luas total 43 hektare tersebut akan digunakan untuk pembangunan PLTGU sekaligus perumahan karyawan.

“Waktu itu kami dari penggarap udah minta sesuatu, ya minta toleransinya kita orang ga punya. Tapi tanggapannya ya gitu, nanti dirembukin dulu sama pimpinan,” ungkapnya.

Selepas 8 tahun kejadian tersebut, Udin sama sekali tidak memiliki mata pencaharian. Untuk menutupi biaya hidup, lelaki renta tersebut hanya mengandalkan penghasilan dari warung makan kecil milik istrinya.

Iklan

“Penghasilan dari warung mah ga punya patokan karena ga nentu. Kadang modal sekitar 500-800 ribu, tapi dapetnya 50 ribu doang. Apalagi namanya cucu kadang gatau (ambil jajan). Jadi, bisa dibilang jarang balik modalnya,” jelasnya.

Lelaki yang telah menggarap lahan sejak 1970 itu sebelumnya mengelola lahan sebesar 1 hektare. Lewat sistem bagi hasil dengan Pertagas, Udin dalam sekali panen mampu meraup Rp20.000.000.

“Saya dari muda sampe tua cuma fokus bertani doang. Makanya ya saya sih berharap ada kompensasi dari pertagas, istilahnya ya saya ada jasanya selama ini di situ (lahan pertagas). Soalnya udah tua gini, siapa yang mau kasih pekerjaan,” tuturnya.

Tidak jauh berbeda dengan Udin, hal serupa juga dirasakan oleh Danu. Lelaki paruh baya itu semenjak berhenti menggarap mulai sering sakit-sakitan. Awalnya, sakit yang dialaminya hanya pegal-pegal biasa, namun setelah melakukan pemerikaan lebih dalam, ayah dengan tiga anak itu terkena stroke ringan pada bagian wajah yang membuatnya kesulitan untuk dapat berbicara dengan jelas.

Dulu, penghasilan sebagai penggarap lahan Pertagas menjadi penopang utama kebutuhan keluarganya. Dari hasil garapan, dirinya bisa membiayai sekolah ketiga anaknya. Meski saat ini anak pertamanya sudah menikah, dua anak lainnya masih memerlukan biaya.

“Anak kedua saya masih kuliah dan yang terakhir mau masuk SMK. Makanya butuh uang banyak buat bayar, cuma karena udah gada kerjaan jadi bingung bayarnya gimana nanti. Apalagi saya juga sekarang sakit kayak gini,” ucapnya dengan terbata-bata.

Sejak tahun 1975 Danu sudah mulai mengarap lahan Pertagas hasil peninggalan orang tuanya. Pada awalnya, tanah garapannya hanya ¼  hektare saja. Namun seiring waktu berlalu, ada beberapa orang yang berhenti menjadi penggarap dan Danu menggantikannya, sehingga tanah garapannya terus meluas sampai 5 hektare.

“Dari 5 hektare itu bersihnya saya terima sekitar 40 juta, itu udah termasuk potongan biaya kebutuhan pertanian dan bagi hasil sama pertamina,” terang Danu.

Berbeda dengan dulu, kini penghasilan keluarga Danu mengalami penurunan drastis sampai membuatnya kelimpungan dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Sekarang tugas mencari nafkah ditanggung oleh istrinya yang bekerja sebagai buruh cuci dan pengrajin tusuk sate rumahan.

Iklan

Istri Danu, Tarimah mengatakan bahwa penghasilannya sebagai tusuk sate dan buruh cuci tidak menentu. Dalam sebulan, penghasilan dari buruh cuci hanya mencapai Rp800.000 ribu. Sedangkan, penghasilan dari tusuk sate sendiri sangatlah kecil sebab bergantung pada tenaganya. Tarimah mencontohkan, saat ini dirinya sedang sakit dan hanya dapat menghasilkan 300 biji tusuk dalam 2 hari. Jadi, penghasilan yang bisa didapatkannya sekitar Rp30.000 ribu.

“Saya bingung makanya ini gimana kedepannya. Bapak udah sakit, saya juga karena kerja sendirian kadang suka sakit-sakit badan. Tapi anak-anak tetep butuh uang,” kata Tarimah.

Tarimah menuturkan bahwa dirinya tidak masalah jika PLTGU harus didirikan dan menggunakan lahan Pertagas. Akan tetapi, dia berharap pihak Pertagas ataupun JSP setidaknya dapat memberikan kompensasi lepas kepada para penggarap untuk modal usaha selanjutnya atau memberikan pekerjaan untuk anak-anak eks penggarap. Apalagi sama seperti Udin, suaminya juga tidak mengikuti program ternak kambing sehingga dia tidak mendapatkan apa-apa.

“Waktu rapat di mushola saya sempat bilang, tolong lah itu anak-anak mantan penggarap yang terdampak dikasih pekerjaan gitu,” ujarnya.

Baca juga: Babak Belur Petambak Kecil di Pesisir Karawang

Gagalnya Program Ternak dan Penantian Program Pengganti

Ketua Kelompok Tani Pertagas, Carka, menuturkan sebetulnya di tahun 2012 pihak Pertagas sudah menginformasikan akan ada pembangunan PLTGU. Saat itu para penggarap masih diperbolehkan untuk menggarap lahan dan hanya disuruh mempersiapkan diri saja agar tidak kaget jika pembangunan sudah mulai dilakukan.

Carka masih ingat betul kesedihan yang dirasakan para penggarap ketika pihak Pertagas menegaskan tidak boleh ada tuntutan karena mereka hanya seorang penggarap dan tanah tersebut bukan hak miliknya. Di tengah kebingungan nanti akan bekerja apa setelah berhenti menggarap, para penggarap tetap mencoba meminta ganti rugi agar setidaknya kehidupan mereka bisa tercukupi.

“Jadi tidak ada tuntutan dari penggarap. Tapi petani tetap nuntut diberi kesejahteraan, entah dalam bentuk apa nanti intinya ganti rugi dari pertanian itu,” ucap Carka.

Pasca pelarangan garap resmi dilakukan dan para penggarap berhenti bertani, Carka melihat penghasilan para anggotanya mulai mengalami penurunan. “90% eks petani penggarap sampai saat ini menganggur. Mangkanya saya nunggu banget tindakan mereka buat kita bagaimana,” tegas Carka.

Menanggapi tuntutan dari para eks penggarap, pada tahun 2016 Pertagas akhirnya mengadakan Program Peternakan sebagai bentuk ganti rugi dari garapan lahan. Jadi, ada peralihan mata pencaharian dari pertanian ke peternakan bagi eks penggarap. Menurut Carka hal ini karena pihak Pertagas sendiri tidak menginginkan adanya kompensasi berupa uang, melainkan program berkelanjutan dalam jangka panjang.

Kendati begitu, berdasarkan data rekapan Carka, dari total 34 petani penggarap hanya 50% saja petani penggarap yang mengikuti Program Peternakan dan sisanya digantikan oleh orang lain. Seingatnya, kebanyakan dari mereka memilih tidak ikut program karena tidak bisa menjadi peternak dan lokasi peternakan yang berada jauh dari kediamannya.

Dalam mengadakan Program Peternakan ini, Pertagas menggandeng Dompet Dhuafa sebagai penanggung jawab program. Awalnya, program tersebut dijalankan dengan kontrak selama 2 tahun, mulai dari tahun 2016 sampai tahun 2018. Namun, tidak seperti ekspektasi program tersebut malah mengalami kegagalan dan hanya bisa bertahan sampai tahun 2017 saja.

Menurut Carka, program ini gagal karena ternak yang diberikan sedari awal tidak sehat dan bukan bibit unggul. Akibatnya, Program Ternak tidak menghasilkan keuntungan apapun dan membuat pembagian hasil yang diharapkan akan terjadi di awal tidak tercapai. Apalagi, 80% dari total 600-an kambing akhirnya mati karena sakit.

“Sebetulnya sempat diberi obat juga dan memanggil dokter hewan, tapi ya tetep mati kambingnya,” terang Carka.

Selama setahun program tersebut berjalan, selama itu pula banyak bermunculan masalah dan juga protes dari para penggarap. Pasca hewan ternak banyak yang mati karena sakit, rata-rata dari mereka meminta untuk dapat membawa ternaknya ke rumah masing-masing agar bisa diternak secara mandiri. Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang dan program tersebut dinilai sudah tidak bisa lagi dipertahankan dalam jangka waktu lama, para penggarap diperbolehkan untuk membawa ternaknya yang masih hidup.

“Nah waktu program ini mulai tidak jelas karena banyak masalah, kontrak akhirnya dibatalkan dan selesai begitu aja di tahun 2017. Cuma yauda gapapa karena domba juga udah diserahkan ke masing-masing anggota saat itu,” terang Carka.

Setelah Program Peternakan berakhir di tahun 2017, sejak saat itu Pertagas tidak lagi memberikan program atau kompensasi lain sebab tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup eks penggarap sudah menjadi urusan JSP. Carka mengatakan ia sempat menghubungi pihak JSP dan meminta eks petani penggarap tetap mendapatkan perhatian setelah program dari Pertagas sebelumnya mengalami kegagalan.

JSP akhirnya membentuk Tim Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) untuk mengurusi Corporate Social Responsibility (CSR) bagi pihak-pihak terdampak. Akan tetapi, sedari awal terbentuk sampai bulan November Tahun 2023. Tim Pupuk belum membentuk program apapun untuk para eks penggarap karena masih dalam tahap sosialisasi. Jadi, Carka dan anggota lainnya hanya bisa menunggu program lanjutan dari Tim Pupuk untuk mereka.

Tanpa ada kepastian, Carka memilih tetap setia menanti penggantian program yang sedang dilakukan Tim PUPUK. “Meski proses terbentuknya program sangat lama, tapi selagi mereka (JSP) masih merespon kami, saya tidak masalah. Kalau apabila nanti kami tidak lagi diperhatikan, ya saya akan tetap terus menuntut mereka sampai kami sejahtera kembali,” katanya.

Apalagi, meskipun Carka saat ini tetap bisa bekerja sebagai guru karena pekerjaan sebagai penggarap hanya sampingan saja, dia turut merasa sedih tatkala melihat anggota-anggota kelompoknya sampai kini masih mengalami kesulitan ekonomi pasca berhenti menggarap.

“Intinya kita mah maunya sejahtera lagi kayak dulu. Meski hasil sawah naik turun, ya kita menikmati dan tidak kesulitan seperti sekarang,” tegas Carka.

 

Penulis/ Reporter : Devita Sari

Editor : Izam Komaruzaman