Dalam sepakbola, salah satu hal yang terlihat sepanjang pertandingan adalah aksi dari suporter klub. Mereka mendukung klub kesayangannya tanpa lelah selama 90 menit pertandingan berlangsung. Bahkan, suporter dijuluki “pemain ke-12” karena mereka ikut andil dalam menentukan jalannya pertandingan, walaupun hanya dengan nyanyian dan tabuhan genderang penuh semangat.Gambaran emosi mereka juga menentukan saat klub mengalami kemenangan atau kekalahan.
Hanif menjadi salah satu dari sekian banyak pecinta sepakbola. Laki-laki yang berkuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini menjadi suporter dari PSS Sleman, sebuah klub yang berbasis di Yogyakarta. Ia mengaku bahwa awal kecintaan terhadap klub ini dari ajakan temannya untuk menonton pertandingan pada 2013. “Saya dulunya tidak tahu sama sekali sepakbola di Sleman, padahal saya orang Sleman,” tambahnya. Hanif tidak mengikuti komunitas di kampusnya, ia lebih memilih untuk independen.
PSS Sleman mempunyai suporter bernama Brigata Curva Sud (BCS). Penamaan ini memang didasarkan dari riuhnya tribun selatan setiap PSS Sleman bertanding. Hanif pun pada awalnya merasakan riuhnya suasana di stadion. “Saya ikut menyanyi bersama teman dan disitulah awal kecintaan terhadap klub ini,” ujarnya.
Sama halnya dengan Hanif, Doni juga menjadi suporter dari PSS Sleman. Doni menjadi inisiator dari lahirnya Komunitas Titik Tengah, sebuah komunitas BCS yang terletak di Jl. Magelang KM. 10 – 12. Komunitas ini berdiri pada 2016 dan terdiri dari 50 anggota. “Kegiatan rutinnya membahas internal komunitas dan kondisi klub,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa pendanaan komunitas didasarkan dari iuran setiap pertemuan dan penambahan sebesar Rp2.000, dari hasil penjualan tiket.
Atribut klub juga menjadi kelengkapan sekaligus kebanggaan dari seorang suporter. Hanif juga memiliki atribut sebagai bukti kecintaan terhadap sebuah klub. “Hanya punya kostum dan syal aja, tapi nggak sampai mengoleksi barang-barangnya,” ucap Hanif.
Uzek juga mencintai sebuah klub di Yogyakarta seperti Hanif dan Doni. Bedanya, ia mencintai PSIM Yogyakarta. Uzek juga menceritakan awal kecintaan terhadap klub ini. “Awalnya diajak bapak nonton pertandingan PSIM,” ujar Uzek yang merupakan seorang mahasiswa UNY ini.
PSIM Yogyakarta mempunyai suporter bernama Brajamusti, yang diambil dari seorang tokoh dalam lakon pewayangan Jawa. Penamaan ini dimaksudkan agar setiap suporter memiliki keberanian layaknya Brajamusti dalam mendukung PSIM.
Rivalitas antar klub juga menjadi bumbu menarik dalam persepakbolaan Indonesia. Tidak hanya pemain yang sedang bertanding, suporter juga merasakan atmosfer rivalitas tersebut. Namun, rivalitas yang terjadi banyak yang diselipi unsur negatif. Bentrokan fisik antar suporter sering terjadi, bahkan ada korban yang meninggal akibat hal tersebut.
Suporter PSIM dan PSS juga merasakan atmosfer rivalitas tersebut secara negatif dalam pengalamannya. Uzek menuturkan hal tersebut. Menurutnya, saling ejek antar suporter menjadi pemicu dari lahirnya bentrokan, termasuk di kampusnya.
“Kalau di kampus, provokasi mereka (BCS UNY –red) seperti ngegeberin motor dan ngeledekin kita di tongkrongan,” ujarnya. Ia juga menuturkan sebenarnya banyak bentrokan antara BCS dan Brajamusti yang terjadi di perbatasan antara Yogyakarta dan Sleman, tetapi jarang diliput oleh media lokal maupun nasional.
Doni juga meyakinkan hal tersebut. Menurutnya, bentrokan antar suporter sering terjadi baik di dalam maupun di luar stadion, termasuk yang dialami oleh BCS. “Kalau hubungan dengan suporter di Jogja dan Magelang setahu saya belum ada perdamaian, tetapi dengan suporter di Solo sudah damai,” tuturnya.
Syukron, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SuKa) menambahkan rivalitas antara PSS dengan Persis Solo pernah terjadi pada 2013. “Saat itu ada pertandingan di Divisi Utama, banyak orang yang luka-luka.” Tercatat dari lansiran berita solopos.com, delapan suporter mengalami luka-luka. Syukron bukanlah suporter klub Jogja atau Solo, melainkan suporter Persinga, sebuah klub asal Ngawi, Jawa Timur.
Hanif menutup dengan pandangannya tentang rivalitas suporter. “Sepakbola tanpa rivalitas bagaikan sayur tanpa garam,” katanya. Ia juga memandang antar suporter harusnya saling melakukan konflik dengan hal positif, seperti perang nyanyian maupun koreografi, bukan dengan bentrokan secara fisik.
Penulis : Muhammad Rizky Suryana
Editor : Annisa Nur Istiqomah