Hari ini, tepatnya tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan tersebut bertepatan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantara, seorang yang diakui sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Tulisan ini tidak hendak membahas sejarah Hardiknas, apalagi memperdebatkannya. Saya hanya akan menampilkan kembali sosok dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara.

Suwardi Suryaningrat atau yang biasa dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Ia sosok pemikir pendidikan, yang slogannya masih dipakai hingga kini: “Tut Wuri Handayani” tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita yang pernah menginjakkan kaki di sekolah formal. “Tut Wuri Handayani” terpampang mulai di baju seragam, sampai buku tabungan ketika saya masih mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar. Ki Hadjar Dewantara, sosok yang baru-baru ini saya dalami melalui kegiatan di salah satu kelompok diskusi Rawamangun.

Suwardi Suryaningrat lahir pada 2 Mei 1889, anak kedua dari pangeran Suryaningrat. Perubahan namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, disebut oleh Bartolomeus Samho dalam buku Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara – Tantangan dan Relevansi, sebagai upayanya mendekatkan diri kepada rakyat.

Sebelum dikenal aktif di bidang pendidikan, Ki Hadjar Dewantara juga aktif di dunia politik dan jurnalisme. Bersama Tjipto Mangunkusumo, ia tergabung dalam komite Bumiputera yang dibentuk pada awal Juli 1913 di Bandung[1]. Sebab aktivitas itulah, sosok Ki Hadjar menjadi incaran pemerintah kolonial Belanda. Tulisannya yang fenomenal pada saat itu berjudul “Seandainya Saya Seorang Belanda.”

Tulisan itu pula yang mengantarkan Ki Hadjar Dewantara ke pengasingan di negeri Belanda. Namun justru disanalah, Ki Hadjar Dewantara banyak belajar soal pendidikan. Tercatat, pada 1915 ia bergabung dengan dewan sekolah Montessori pertama di Belanda.[2] Ia juga berhasil memeroleh Europeesche Akte (akte guru) pada tahun yang sama.

Membentuk Taman Siswa

Iklan

Sepulangnya dari Belanda, Ki Hadjar Dewantara sempat mengajar di sekolah Adhi Dharma selama setahun, sebelum mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Sebetulnya, pendirian Taman Siswa sudah dipersiapkan oleh perkumpulan Selasa Kliwon sejak 1921. Melalui empat kali pertemuan, akhirnya perkumpulan Selasa Kliwon memutuskan “membangun solusi pendidikan untuk anak-anak muda Indonesia.” Peran tersebut akhirnya diambil oleh Ki Hadjar Dewantara dengan mendirikan Taman Siswa, sebagai pendidikan untuk rakyat.

Hal itu tertulis dalam tujuh butir tujuan Ki Hadjar mendirikan taman siswa, tepatnya butir ketujuh :

Pendidikan harus untuk semua orang, bukan hanya untuk segelintir orang saja. Jika yang mendapat pendidikan hanya kelas atas, bangsa tidak akan tumbuh kuat. Pendidikan harus dimulai dari bawah, penyebarannya di kalangan itu adalah yang paling diperlukan, supaya menjadi lebih tertib dan kuat.[3]

Ki Hadjar Dewantara juga banyak menelurkan kritik atas penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Menurutnya, pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia, serta mendesain rakyat Indonesia untuk tunduk pada pemerintah kolonial. Hal tersebut dilandaskan melalui analisisnya atas model pendidikan kolonial yang bersifat perintah, hukuman, dan ketertiban. Karakter pendidikan semacam ini, dalam prakteknya merupakan suatu perkosaan atas kehidupan batin anak-anak[4].

Spirit kemerdekaan lah yang menjadi dasar berdirinya perguruan Taman Siswa. Sekaligus, Taman Siswa juga menampilkan suatu antitesis dari model pendidikan Belanda. Semangat kemerdekaan tersebut, yang juga mengantarkan perguruan Taman Siswa menjadi salah satu sekolah yang diawasi oleh pemerintah kolonial. Ketegangan antara Taman Siswa dengan pemerintah Belanda di Indonesia memuncak, ketika Taman Siswa menolak Ordonansi Sekolah Liar 1932. Penolakan tersebut didasari atas keyakinan bahwa Ordonansi Sekolah Liar yang diterbitkan oleh Belanda dapat menggangu kemerdekaan Taman Siswa sebagai institusi pendidikan.

Dalam menafsirkan “kemerdekaan,” Ki Hadjar Dewantara menyebut tiga sifat dasar kemerdekaan. Yakni, tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib.[5]

Selain itu, peristiwa yang terjadi di periode 1932 tersebut, menampilkan suatu dinamika yang menarik, bicara pertautan antara pergerakan politik – pergerakan rakyat – dan pendidikan dalam mempertahankan prinsip kemerdekaan. Ki Hadjar Dewantara mengibaratkannya ke dalam metafora antara “Pagar dan Ladang”. Pergerakan politik sebagai “pagar” dalam melindungi ladangnya agar tidak dirusak oleh pihak lain,  sementara “ladang” ditujukan untuk institusi pendidikan yang senantiasa menanam dan merawat bibit-bibit penerus bangsa.

Lantas, bagaimana kita merefleksikan perjalanan dan pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam konteks pendidikan saat ini?

Baru-baru ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, menggunakan kata “merdeka” dalam paket kebijakan “merdeka belajar.” Namun, ibarat melukis di bibir pantai, kata “merdeka” hanya menjadi hiasan yang mudah hilang karena diterjang ombak. Artinya, ia kosong tanpa substansi, dengan kata lain hanya menjadi slogan.

Pada bagian ini saya akan memfokuskannya pada bagian “Kampus Merdeka”. Dalam paket kebijakan tersebut, terdapat empat butir kebijakan yang akan dilaksanakan. Pertama, pembukaan program studi baru. Kedua, sistem akreditasi perguruan tinggi. Ketiga, perguruan tinggi berbadan hukum. Terakhir, hak belajar tiga semester di luar program studi.

Iklan

Keinginan untuk menjadikan perguruan tinggi yang otonom dalam pembukaan program studi dan pendanaan tertuang jelas dalam paket kebijakan ini. Hal ini sebetulnya hasil dari proses panjang sejak General Agreement Trade in Services atau GATS menginstruksikan negara anggotanya—termasuk Indonesia—untuk mengubah konsep pendidikan. Dari tanggung jawab pemerintah diubah menjadi tanggung jawab kampus. [6] Tentu, hal ini pula yang menandai era liberalisme pendidikan, yakni ketika pendidikan sudah menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Sebab, kampus harus mencari biaya tambahan dalam penyelenggaraannya.

Alasan itu pula yang sebetulnya melatarbelakangi tingginya biaya kuliah yang terjadi saat ini. Entah apa asumsi Kemendikbud dalam mengeluarkan kebijakan ini, padahal data menunjukan bahwa kampus-kampus yang sudah berstatus Perguruan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum – perguruan tinggi yang memiliki otonomi dalam hal pendanaan dan kurikulum – tidak mampu memaksimalkan hasil dari perusahaannya.

baca juga : https://lpmdidaktika.com/2019/02/15/peluncuran-majalah-didaktika-statuta-unj-menuju-ptnbh/

Tingginya biaya kuliah, yang mengakibatkan sulitnya akses ke perguruan tinggi sudah menunjukan bahwa, penyelenggaraan pendidikan sudah mengkhianati buah pikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan untuk semua. Padahal itu merupakan hal yang paling fundamental dalam berjalannya kehidupan berbangsa.

Peristiwa penolakan Taman Siswa terhadap Ordonansi Sekolah Liar 1932, tentu bisa dijadikan refleksi untuk menjawab bagaimana kita harus memulai pergerakan dalam memperbaiki pendidikan di Indonesia. Persatuan antara pergerakan rakyat dengan institusi pendidikan harus kembali dibangun, selayaknya “pagar dan ladang” atau “ksatria dan pandita”. Dengan kata lain, persoalan pendidikan bukan hanya menjadi milik peserta didik, namun rakyat keseluruhan.

Penulis: Ahmad Qori

Editor: Uly Mega S.


[1] Kenji Tsuchiya, Demokrasi dan Kepemimpinan : Kebangkitan Gerakan Taman Siswa, (Jakarta : Balai Pustaka & Kepustakaan Populer Gramedia) hlm. 40.

[2] Ibid, hlm. 54.

[3] Ibid, hlm. 98.

[4] Bartolomeus Samho, Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara – Tantangan dan Relevansi, (Yogyakarta : Kanisius, 2015), hlm. 77.

[5] Ki Hajar Dewantara, Bagian Pertama : Pendidikan, (Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), hlm. 400.

[6] https://lpmdidaktika.com/2019/02/15/peluncuran-majalah-didaktika-statuta-unj-menuju-ptnbh/