Ibu saya sering bercerita. Biasanya ia bercerita ketika anak gadisnya sendirian di kamar. Ia suka mendongengkan masa lalunya di kampung halaman. Suatu ketika, ia menceritakan sesuatu yang berbeda.. Ia bercerita tentang keluh kesahnya ketika menjadi buruh salah satu perusahaan di Jakarta. Saya ingat raut mukanya yang masam, sembari mengatakan, “perusahaan itu kadang suka sewenang-wenang, kalau kita demo nuntut kenaikan gaji, kita bakalan diinterogasi, dibilang ikut-ikutan lah, sok ngerti lah. Kadang-kadang malah diancam sama perusahaan. Teman mama ada tuh yang dipecat gara-gara dibilang provokator.”
Sebagai anak remaja yang masih duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA), saya hanya mendengarkan. Ibu saya melanjutkan ceritanya, ia mengatakan, “padahal Ibu demo karena meminta gaji sesuai Upah Minimum Regional (UMR) dan minta Tunjangan Hari Raya (THR), sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah. Itu aja susah banget,” katanya. Menurut Ibu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sudah kong kali kong sama perusahaan. “Jadilah buruh yang diperas,” tegas ibu.
Sesekali saya menanyakan alasan mengapa ibu masih mau ikut demo, padahal jika ikut ada kemungkinan diancam bahkan dipecat. Ibu saya menjawab dengan nada tegas, “ya gimana kadang kita nggak terima aja. Udah kerja cape, harusnya ketetapannya segini, tapi perusahaannya bandel, kan sedih juga,” tutur ibu.
Setelah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran selepas rezim Harto tumbang, ibu saya memilih membuka usaha jahit baju di rumah. Mungkin ibu saya muak dengan perusahaan. Sebab ia sudah menjadi buruh sejak usia 15 tahun, sampai memutuskan berhenti di sekitar usia 40 tahun.
Masa-masa karantina yang mengharuskan saya berdiam diri di rumah saja membuat saya mengingat cerita ibu tersebut. Selain itu, saya kembali mengingat cerita-cerita yang serupa dengan apa yang dialami ibu. Saya pun meyakini ibu saya tidak sendirian, banyak buruh-buruh yang kondisinya lebih menderita dari apa yang dialami ibu saya.
Saya pernah membaca sebuah novel karya John Steinbeck yang berjudul Of Mice and Man. Steinbeck menceritakan kisah dua orang buruh perternakan di Amerika, bernama George dan Lannie. Mereka pekerja tak tetap, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kedua pemuda itu hanya memiliki satu impian, mempunyai rumah yang ada kebunnya dan bisa memelihara kelinci. Namun, kehidupan yang begitu jahat kepada kelas pekerja membuat impian sederhana itu tidak pernah tercapai.
Saya kembali teringat kejadian yang pernah terjadi di Indonesia, Marsinah, seorang buruh perempuan yang memperjuangkan kehidupan layak untuk buruh. Ia hanya menuntut kenaikan upah sebesar seribu rupiah. Namun, ia harus berakhir dengan pembunuhan dan pemerkosaan. Saya teringat pula, Sebastian, seorang buruh di PT Tirta Alam Segar, memilih bakar diri saat hari buruh lantaran kecewa dengan nasib teman-temannya sesama buruh yang dinilai kurang baik.[1] Terakhir, saya mengingat kejadian yang masih berlangsung, yakni perjuangan buruh-buruh Aice untuk bisa bekerja dengan layak dan hidup dengan layak.[2]
Kegelisahan buruh hari ini harus ditambah lagi dengan rencana diberlakukannya undang-undang baru yang dapat membatalkan undang-undang sebelumnya, yakni, Omnibus Law. Di dalam Omnibus Law terdapat Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka). Jika RUU tersebut diterapkan kemungkinan besar ketika ada PHK buruh tidak lagi mendapatkan pesangon, belum lagi soal fleksibilitas kerja yang memudahkan perusahaan merekrut dan memberhentikan pekerja. Nasib buruh menjadi kian tidak menentu.
Dikebutnya pengesahan Omnibus Law oleh DPR membuktikan pemerintah memang tidak berpihak pada kelas yang tidak berpunya (kelas pekerja a.k.a buruh). Pemerintah dalam hal ini erat kaitannya dengan negara.
Tugas negara menurut Friedrich Engles dalam buku The Origin Of The Family, Private Property, and The State,
“… untuk melanggengkan, bukan hanya kemunculan pembagian kelas-kelas baru dalam masyarakat, tapi juga hak dari kelas-kelas pemilik ini untuk menindas kelas non-pemilik dan meneggakan kelas pemilik atas kelas non-pemilik…. dan lembaga ini pun tiba. Negara telah ditemukan.”
Jadi, negara merupakan konsekuensi logis dari terbentuknya sistem kepemilikan pribadi, perkembangan kelas-kelas, serta pertentangan tak terdamaikan oleh kelas-kelas tersebut.[3] Pengejawantahan negara ialah melalui lembaga-lembaga politik permanen dalam masyarakat, yang tidak dipilih langsung oleh rakyat. Contohnya seperti, militer, pengadilan, birokrasi sipil, dan pejabat-pejabat tinggi bank sentral. Lembaga-lembaga politik permanen tersebut menyatu dengan sistem kelas yang berkuasa membentuk the state.
Sedangkan pemerintah adalah legislatif dan cabang-cabang eksekutif dari aparatus negara dan para pejabatnya, partai-partai atau individu yang mengontrolnya (Petras dan Morley, 1992 ; Robinson,1993). Mereka dipilih oleh rakyat melalui pemilu, maka sah apabila mereka harusnya bertanggung jawab kepada rakyat.[4]
Maka, DPR sebagai pemerintah harusnya memiliki tanggung jawab dan berpihak kepada rakyat. Sudah pula seharusnya DPR melihat bahwasannya jika Omnibus Law disahkan, buruh semakin menderita.
Sudah jelas, bahwa ketertindasan buruh bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Buruh tertindas sebab ia tidak memiliki alat produksi, maka ia harus menjual tenaganya. Orang-orang yang memiliki alat produksi mempekerjakannya sesuka hati demi menumpuk modal sebesar-besarnya. Pemerintah yang memiliki wewenang dalam mengambil kebijakan dikuasai oleh kelas pemilik alat produksi.
Menteri Perburuhan pertama S.K.Trimurti yang juga merupakan anggota Partai Buruh Indonesia (PBI), pernah menuliskan tentang perjuangan buruh. Dalam bukunya yang berjudul A.B.C Perdjuangan Buruh, diterbitkan pusat pimpinan PBI, Yogyakarta, 1948. Ia mengatakan, mengapa buruh berjuang? Untuk memperbaiki nasib agar dapat hidup layak sebagai manusia. Apa saja? Trimurti menyebut hak demokrasi, meliputi berserikat dan berdagang, menyatakan pikiran, berdemostrasi, dan mogok. Setelah itulah barulah kaum burh memperjuangkan jaminan upah minimum, jam kerja, hak istirahat dan hari libur, keselamatan kerja, jaminan sosial tentang UU perjanjian kerja, serta perwakilan buruh yang mengawasi penerapan semua UU untuk melindungi buruh.
Tapi itu saja belum cukup: baru tujuan jangka pendek (reformis). Selama kapitalisme masih ada buruh akan diperbudak. Kaum buruh harus punya tujuan jangka panjang (prinsipil), yakni hilangnya masyarakat kapitalis dan terbentuknya masyarakat sosialis yang menghendaki penghapusan perbedaan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. [5]
Maka, tidaklah heran kondisi buruh setidaknya tidak pernah berubah semenjak Steinbeck menulis kisah Of Mice and Men tahun 1937, kisah ibu saya dan Marsinah di rezim Harto, serta cerita Sebastian dan buruh Aice di zaman reformasi. Tak ada yang berubah, masih sama, masih dalam ketertindasan. Sebab, masyarakat kapitalis hari ini masih bercokol. Logika pasar dan akumulasi modal terus menurus akan selalu berujung pada penindasan terhadap buruh.
Mengkuti S.K. Trimurti, buruh kini berjuang dalam ranah reformis untuk mendapatkan kelayakan kerja dan hidup layak. Namun, saya masih yakin, yang prinsipil ini tidak akan pernah hilang, selalu bersemayam pada kepalan tangan-tangan buruh di tengah aksi massa dan menyublim dalam teriakan perlawanan buruh.
Selamat Hari Buruh. Buruh Sedunia Bersatulah!
Penulis: Uly Mega S.
Editor : Ahmad Qory dan Vamelia B.C
[1]http://m.beritahukum.com/detail_berita.php?judul=Motif+Buruh+Bakar+Diri+Saat+May+Day+dan+Melompat+di+GBK+Terungkap&subjudul=Demo+Buruh
[2] https://lpmdidaktika.com/2020/03/12/problematika-pekerja-di-perusahaan-es-krim-aice/
[3] Pontoh, C.H., 2015. Di Balik Marx, Sosok dan Pemikiran Fredrick Engles, Serpong : Marjin Kiri. Hal 93-94
[4] Ibid.
[5] Setiyono, Budi, “Dua Buku Buruh Karya Menteri Buruh SK Trimurti”, https://www.google.com/amp/s/historia.id/amp/politik/articles/dua-buku-buruh-karya-menteri-buruh-sk-trimurti-6mmL9