Internet yang dibentuk pertama kali pada 1960-an, semula berfungsi sebagai sarana komunikasi dengan segmen yang terbatas, hingga kemudian berkembang luas dan melahirkan berbagai macam bentuk platform. Salah satunya platform media sosial yang digunakan sebagai tempat bagi para penggunanya untuk saling berinteraksi dan berjejaring antara satu dengan yang lainnya.
Jumlah penggunanya sendiri (media sosial) terus meningkat seiring waktu. Menurut data yang dihimpun oleh Hootsuite, di Indonesia pada 2020, tercatat 160 juta pengguna yang berinteraksi di media sosial dengan rata-rata waktu akses 3 jam 26 menit dalam sehari.
Media sosial seolah telah menjadi dunia baru, yang perlahan mulai menggeser interaksi yang dilakukan di dunia nyata. Cukup lengkap memang, di dalamnya tersajikan ruang bagi setiap penggunanya untuk menyiarkan segala bentuk aktivitas maupun perasaannya, hampir mirip dengan dunia nyata. Hal ini semakin disokong dengan beragam fitur yang terdapat di dalamnya, yang membuat penggunanya dapat membagikan setiap aktivitasnya secara real-time 24 jam sehari. Coba saja tengok Instagram dengan instastory, atau Twitter dengan fleet, dan lain sebagainya.
Jenis konten yang disiarkan pun beragam, mulai dari hobi, edukasi sampai hal-hal yang bersifat privasi juga kerap diekspos dengan sengaja oleh para penggunanya. Tak heran, media sosial kerap dijadikan tempat mencurahkan isi hati (curhat) dengan target lingkaran sosial tertentu atau bahkan khalayak secara umum. Mengenai persoalan tersebut, menarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai fenomena curhat atau keterbukaan diri individu yang dilakukan di media sosial dalam perspektif ilmu psikologi, mulai dari alasan hingga dampak yang terjadi bagi pelakunya.
Gita Irianda Rizkyani Medellu, Dosen Psikologi Universitas Negeri Jakarta yang juga merupakan seorang Psikolog Sosial, menjelaskan bahwa ketika individu “curhat” di media sosial, sejatinya dirinya telah membuka informasi, baik berupa emosi, maupun pemikirannya kepada orang lain.
Dalam ilmu psikologi, peristiwa ini dikenal dengan istilah self-disclosure. Self-disclosure adalah sebuah tindakan yang membuka informasi pribadi kepada orang lain (Derlega, Meets, Petronio, dan Margulis, 1993 dalam Zarina & Robby, 2018). Menurut Peace & Sharp (1973), self-disclosure terjadi ketika individu secara sukarela membuka informasi mengenai dirinya yang tidak akan diperoleh orang lain dari sumber selain dari pengungkapnya tersebut. (dalam Zarina & Robby, 2018)
Gita menjelaskan, bahwa individu yang melakukan self-disclosure sejatinya membutuhkan respon dari orang lain, baik berupa feedback secara langsung, maupun beragam respon lainnya yang dianggapnya sebagai reward untuk dirinya.
Latar belakangnya sendiri dapat beragam, namun apabila diatribusikan dengan sudut pandang faktor internal individu tersebut, orang yang melakukan curhat atau pengungkapan informasi diri seringkali dilatarbelakangi oleh perasaannya, salah satunya ialah perasaan sedih.
Sejalan dengan hal tersebut, menurut Gita, perlu diwaspadai bahwa curhat di media sosial justru seringkali malah menimbulkan resiko munculnya permasalahan baru bagi para pelakunya.
“Yang menjadi persoalan adalah ketika seseorang curhat di media sosial, ia tidak dapat mengontrol respon apa yang akan diterimanya,” terangnya.
Sejumlah resiko memang kerap ditemukan dalam melakukan pembukaan informasi diri yang dilakukan di media sosial. Dalam jurnal yang ditulis oleh Retno Setyaningsih dengan judul Memahami Hubungan Kebutuhan Untuk Populer dan Keterbukaan Diri (Self-Disclosure) Pada Pengguna Facebook: Sebuah Tinjauan Literatur, di samping support yang didapatkan dari teman-teman dalam jaringan pengguna Facebook (media sosial), resiko seperti ajakan hubungan seksual, eksploitasi seksual, penyalahgunaan data pribadi, dan kemungkinan terjadinya problem kesehatan mental juga menghantui individu tersebut.
Flashback ke belakang, hal semacam itu sebenarnya juga sempat terjadi dan ramai pada 2018, khususnya di platform media sosial Twitter. Saat itu sempat ramai diperbincangkan bahwa salah satu influencer yang dikenal dengan Skinnyfabs terjerat kasus pelecehan seksual terhadap pemilik akun @edelweisxx. Singkat cerita, pemilik akun tersebut menceritakan segala keluh kesahnya terhadap hal yang menimpanya, lengkap dengan kronologisnya.
Saat kasus ini mulai mencuat ke publik, disamping dukungan yang didapatkan oleh korban, tak sedikit pula yang justru menghujat pemilik akun @edelweissxx tersebut.
“yang kulihat cewe ini tada otak” – Wanda Cindy
“cerita wikwik kok diumbar. Bangga lagi. Bangga bgt malah keliatannya. Gile sih gada otak bgt. Aku bergidik” – elgasep blablah
Apapun itu, curhat di media sosial merupakan pilihan yang mungkin dapat membuat individu dapat dapat merasa lebih baik. Namun bagaimanapun juga, sejumlah problem lainnya justru kerap muncul, baik perihal keamanan privasi, maupun dampak yang ditimbulkan terhadap psikologis individu tersebut.
Maka di samping melakukan curhat di media sosial, Gita menjelaskan terdapat sejumlah hal yang dapat dilakukan dalam mengatasi persoalannya, seperti dengan melakukan refleksi diri dengan cara berkomunikasi dengan diri sendiri (self-talk) atau mencari support dari lingkungan terdekat.
Namun apabila dirasa sudah cukup menganggu atau bahkan sampai mengalami gangguan fungsi seperti gangguan kognitif (proses berpikir), afektif (emosi, perasaan, dll), dan atau psikomotorik (aktivitas gerak fisik) disarankan untuk mencari bantuan profesional.
“Disarankan untuk meminta bantuan ke profesional (psikiater/psikolog), apabila persoalannya tersebut sampai menyebabkan gangguan fungsi (kognitif, afeksi atau motorik) yang dialami oleh individu tersebut. Datanglah dengan pendampingan, atau bisa juga secara mandiri dengan kesadaran sendiri” jelas Gita.
Reporter: Fadhlan Aziz
Editor: Hastomo Dwi P