Belakangan ini, Pemerintah berencana memberikan subsidi gratis ongkir pada Harbolnas 2021 (Hari Belanja Online Nasional). Hal ini diutarakan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto dalam konferensi pers virtual, Rabu (7/04/2021). Dirinya menuturkan, Pemerintah akan memberikan subsidi senilai 500 mlliar Rupiah pada Harbolnas 2021 yang akan berlangsung pada H-10 atau H-5 jelang Idul Fitri 1422 Hijriah.

Pembahasan mengenai subsidi ini dapat menjadi hal yang menarik, karena Pemerintah berharap penggelontoran subsidi ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang akan berdampak pada meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sementara jika digunakan secara sembarangan, subsidi ini dapat menjadi bumerang bagi perekonomian suatu negara.

Subsidi, seperti yang dijelaskan Michael P Todaro (2012), adalah bentuk bantuan keuangan yang dibayarkan kepada suatu bisnis atau sektor ekonomi. Sebagian subsidi diberikan oleh pemerintah kepada produsen atau distributor dalam suatu industri untuk mencegah kejatuhan industri tersebut, mendorong mempekerjakan lebih banyak buruh, meningkatkan ekspor atau mengurangi harga yang harus dibayar pembeli[1]. Lebih lanjut, subsidi juga dapat mendorong mode produksi lebih padat karya[2]. Terutama subsidi gaji, yang digunakan sebagai insentif kepada pengusaha swasta untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja, melalui pemotongan pajak untuk penciptaan lapangan kerja baru.[3]

Subsidi juga dapat menjadi salah satu bentuk proteksionisme atau penghalang perdagangan, karena Pemerintah dapat memberikan bantuan secara langsung atau tidak langsung kepada barang dan jasa domestik untuk bersaing dengan barang impor. Hal ini memang dianggap baik bagi produk-produk lokal[4]. Namun, subsidi secara terus menerus justru akan membuat sektor tersebut ketergantungan terhadap aliran bantuan Pemerintah. Hal ini juga kurang baik bagi pasar karena terjadi “distorsi,” yakni campur tangan pemerintah dalam mengatur harga.

Kesenangan Semata, Nestapa Tiada Tara

Dari pengertian di atas, kita bisa memahami bahwa subsidi ini memiliki banyak keuntungan dalam perekonomian. Namun, subsidi juga bisa menjadi bumerang bagi perekonomian. Dalam hal ini, kita bisa melihat bagaimana Venezuela jatuh dalam krisis ekonomi terbesar dalam sejarah dan hal tersebut disebabkan oleh subsidi.

Iklan

Venezuela kini mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang sejarah. Hal ini bermula dari kebijakan presiden Hugo Chavez (1999-2013) yang memberlakukan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) kepada rakyatnya. Tidak tanggung-tanggung, Chavez menurunkan harga bensin hingga senilai 1 sen US Dollar. Chavez juga membangun klinik-klinik, menggratiskan biaya Kesehatan, memberikan subsidi perumahan, serta subsidi makanan.

Tentu, kita berpikir betapa kayanya Venezuela ketika itu, hingga memanjakan rakyatnya dengan berbagai tunjangan. Namun nyatanya, kebahagiaan itu hanyalah kebahagiaan semu. Semua subsidi itu ditanggung oleh negara. Saat itu, Venezuela menggantungkan diri kepada penjualan minyak bumi. 95% pendapatan Venezuela berasal dari laba ekspor minyak bukan pajak atau retribusi.

Akibatnya bisa ditebak, ketika harga minyak turun, menyebabkan Venezuela mengalami defisit keuangan hingga berhutang. Celakanya lagi, hutang tidak digunakan ke sektor produktif, namun untuk menambal subsidi-subsidi tersebut sehingga Venezuela mengalami defisit anggaran yang besar. Ditambah lagi, pemerintahnya malah mencetak uang secara terus menerus yang menyebabkan hiperinflasi. Tidak lama setelah itu, Venezuela jatuh ke dalam krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah pada 2014. Semua itu berawal dari kebijakan subsidi.

Gratis Ongkir Efektifkah?

Pemerintah mengklaim, subsidi gratis ongkir ini dapat menstimulus perkembangan ekonomi. Namun, agaknya saya sedikit skeptis akan hal tersebut, terutama perihal ketentuan dan manfaat dari gratis ongkir ini. Apakah penerima manfaat ini bisa dipastikan UMKM dan bukan pebisnis besar?

Bagaimana nasib usaha-usaha retail? Rata-rata produk yang dijual online adalah produk non-FMCG (Fast Moving Consumer Goods), yang termasuk barang-barang durasi lama pakai, seperti barang elektronik atau furniture. Sehingga, subsidi gratis ongkir ini tidak berpengaruh kepada barang-barang retail dan pasar.

Subsidi gratis ongkir ini pun dapat dikatakan kontra produktif, sebab Pemerintah beralasan dengan adanya gratis ongkir ini dapat menstimulus daya beli masyarakat. Padahal, tanpa perlu gratis ongkir pun, asalkan uang THR (Tunjangan Hari Raya) cair, maka dengan sendirinya masyarakat akan meningkatkan daya beli. Sudah menjadi tradisi masyarakat berbelanja di kala hari raya.

Alih-alih menggunakannya untuk subsidi gratis ongkir, akan lebih baik jika dana tersebut digunakan untuk mempercepat vaksinasi.

Selain itu, kebijakan ini juga disoroti karena permasalahan upah kurir salah satu e-commerce di Indonesia. Di saat rencana penggelontoran dana 500 miliar untuk gratis ongkir, e-commerce tersebut malah menurunkan gaji kurirnya. Hal ini harusnya bisa menjadi perhatian pemerintah disamping subsidi gratis ongkir, upah yang diberikan kepada kurir lepas ini benar-benar memprihatinkan


[1]Todaro, Michael P.; Smith, Stephen C.(2012). Economic Development (edisi ke-11th). Addison Wesley. hlm. 589.ISBN 978-0-321-48573-1.

Iklan

[2] Ibid, hlm. 343.

[3] Todaro, loc.cit.

[4] Investopedia. (28 Januari 2021). Protektionism. Diakses pada 17 April 2021, dari https://www.investopedia.com/terms/p/protectionism.asp


Daftar Pustaka

Investopedia. (2021, Januari 28). Protectionism. Diambil kembali dari Investopedia: https://www.investopedia.com/terms/p/protectionism.asp

Susanto, M. (2018, Mei 15). Bagaimana Kebijakan Subsidi Bisa Menghancurkan Negara? Diambil kembali dari Zenius.net: https://www.zenius.net/blog/bahaya-subsidi-memicu-krisis-ekonomi

Todaro, M. P., & Smith, S. C. (2012). Economic Development. Boston: Addison Wesley.

Penulis: Sekar Tri Widati

Editor: Hastomo Dwi Putra