Sudah memasuki tahun kedua, Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) kembali diterapkan pada mahasiswa jalur mandiri Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Kini, masih dengan nama yang sama, SPU tampil dengan gaya baru tapi cenderung sama. Jika sebelumnya mahasiswa jalur mandiri yang ingin ‘menyumbang’ tidak dipatok biaya, atau boleh 0 rupiah sampai tidak terhingga. Sekarang, mahasiswa baru diberi pilihan lain. Mereka boleh memilih ‘Iya’ atau ‘Tidak’. Jika memilih kolom ‘Iya’ -mau menyumbang, diberikan angka minimal mulai dari 750.000 rupiah sampai seperti sebelumnya, ‘tidak terhingga’. Tentunya diberikan pula kolom pilihan ‘Tidak’-artinya tidak perlu menyumbang.
Dengan begitu, sebetulnya tidak ada perubahan substansial dari SPU hari ini maupun tahun lalu. Maka, analisis kami pun masih sama. Menyoal komersialisasi dan liberalisasi pendidikan. Dimana pendidikan yang seharusnya membangun atau memperkuat solidaritas sosial, untuk membangun kesejahteraan, kemandirian, dan kemerdekaan masyarakat secara utuh dan menyeluruh, tidak terlaksana.
Hal itu diakibatkan pendidikan menjadi lahan ekonomis (pengakomodasian modal dan mencari keuntungan), atau yang akrab dengan istilah “logika pasar”.
Pendidikan yang disimbolisasikan sebagai laboratorium mungil kehidupan bermasyarakat, yang dicita-citakan mampu menciptakan kehidupan bermasyarakat saling membantu sesama tanpa pamrih, melahirkan kehidupan dalam keadaan yang guyub dan kekeluargaan. Berubah (dengan logika pasar) menjadi laboratorium jual beli. “Ada uang, ada barang,” begitu kuranag lebih, kata tukang pendidikan yang sedang menawarkan jualannya.
Analisis itu berasal dari sumber–yang cukup sering dicatut dalam membicarakan liberalisasi pendidikan–salah satunya –yang cukup populer–buku Melawan Liberalisasi Pendidikan tulisan Dharmaningtyas, Fahmi Panimbang, dan Edi Subkhan. Dalam buku tersebut dijelaskan pendidikan yang komersil ini lahir dari keikutsertaan Indonesia dengan WTO dan GATS sejak tahun 1994 silam. Dari kesepakatan itu, lahir aturan-aturan baru yang mendukung agenda Neoliberalisme.
Tujuan dari sistem neolibaeralisme ini sederhananya, mengurangi kekuatan negara, dan mengalihkanya pada kekuatan pasar. Hal-hal yang sifatnya untuk kepentingan publik, perlu dikomersilkan. Negara tidak boleh menguasai atau mengatur untuk dibagikan secara merata karena tidak menguntungkan. “Biarkan pasar yang mengatur, dan silakan dibeli,” begitu motonya, kata tukang tanah, merangkap menjual air, merangkap menjual jasa kesehatan dan rangkap-rangkap lainya dengan senyum puas.
Pendidikan pun terkena imbasnya. Yang seharusnya diatur negara secara merata, tapi perlu dijual. Baca saja buktinya dalam undang-undang No. 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi (UUPT). Dengan logika neolib (singkatan populer untuk neoliberal) ini, pendidikan jadi produk jasa. Dengan begitu, masyarakat diposisikan sebagai konsumen yang membayar dan lembaga pendidikan sebagai pasar yang menjual jasa kecerdasan (memberikan kecerdasan pada si bodoh). Sekalipun itu berbenturan dengan penafsiran Undang-Undang Dasar pasal 31 dan turunanya yang mengatakan pencerdasan, adalah tanggung jawab negara dengan lembaga pendidikan adalah salah satu sarana yang harus bertanggung jawab.
Begitulah analisis yang akan terus digaungkan selama SPU masih ada. Hubungannya, antara SPU dengan UUPT–dan aturan-aturan lain yang lahir dari kesepakatan dengan GATS dan WTO– jelas sebab UU tersebut, kampus jadi punya pembenaran untuk menerapkan SPU – dan pungutan lainnya ini yang membolehkan perguruan tinggi mengambil uang dari masyarakat.
Sekadar ingin menuliskan kontemplasi saya terkait SPU yang juga menjamur dimana-mana. Seperti di UNY, Undip, ITS, Unbraw dan lainya. Persoalan SPU selalu mengingatkan saya dengan pernyataan Plt Rektor UNJ, Intan Ahmad, yang berhasil diabadikan teman-teman didaktika dalam bentuk tulisan (baca: https://lpmdidaktika.com/2018/05/30/sumbangan-pengembangan-universitas-penyimpangan-asas-tunggal-ukt-mahasiswa/). Katanya, “banyak masyarakat yang ingin membantu UNJ”. Buktinya banyak yang mau mengisi SPU.
Padahal, perlu diketahui pula, ada dari mereka yang tidak mau menyumbang, tapi terpaksa harus menyumbang lantaran dipaksa saat masa sanggah UKT. Dan itu bukan esensi sumbangan! (baca: https://lpmdidaktika.com/2019/06/19/spu-hadir-karena-unj-gagal-mengembangkan-aset/)
Selain itu, dengan menggunakan logika yang sudah tertanam tentang pendidikan. Apa yang disebut diatas sebagai logika orang yang membeli kecerdasan. Mungkin lebih kotor dari itu; membeli ijazah. Dengan begitu, orang akan mudah beranggapan bahwa semakin tinggi ia menyumbang, ia akan semakin mudah akses untuk masuk kuliah. Meski UNJ tidak menjamin apapun, namun SPU bertanggung jawab membangkitkan logika demikian. Begitulah narasi yang terus berulang untuk menolak SPU. Namun, hingga hari ini SPU masih tetap berlangsung, bahkan sudah mencapai tahun kedua.
Padahal, tahun 2016 ketika UNJ berencana menerapkan ‘Uang Pangkal’ dengan ketetapan 15 juta rupiah untuk setiap mahasiswa baru jalur mandiri. Barisan mahasiswa berbondong-bondong datang dan memadati gedung rektorat, menuntut uang pangkal dicabut. Setelah itu, uang pangkal berhasil dihapuskan.
Kenapa Tidak Terjadi Pada SPU?
Saya pikir, tidak ada perbedaan pola yang terjadi dalam mahasiswa UNJ hari ini. Ini justru kecerdikan para pemangku kebijakan yang mengalami upgrade untuk membuat pungutan terhadap masyarakat, tapi tidak terlalu dianggap bermasalah. Sekaligus belajar dari blunder uang pangkal. Dengan membalutnya sedemikian rupa, sehalus mungkin, perlahan tapi pasti.
Karakteristik SPU ini lebih cair, dan kompromis. Meskipun masih bisa dilihat dengan analisis yang sama seperti uang pangkal. Karena dengan SPU pun, ada mahasiswa yang mau ‘menyumbang’ diatas 15 juta rupiah–lebhi tinggi dari harga yang ditetapkan saat uang pangkal.
Dalam ‘Homo Deus’, oleh Yuval Noah Harrari. Ia menuliskan “aturan puncak-ujung”, dimana orang cenderung mengingat pengalaman menurut momen puncak dan momen ujungnya, dan menilai keseluruhan menurut rata-ratanya.
Pandanganya itu lahir dari eksperimen yang dilakukan oleh Daniel Kahnemein. Eksperimen itu, meminta para relawan memasukkan tangannya kedalam air yang suhunya 140 C selama satu menit. Kemudian, tahap selanjutnya meminta relawan memasukkan tangannya kedalam air bersuhu 150 C selama 30 detik. Ketika si relawan diminta memilih kembali untuk memasukkan satu tangan pada salah satu tahap diatas. Banyak yang memilih memasukkan tanganya pada tahap yang pertama, karena selama durasi itu dirasa sedikit berkurang rasa tidak nyamanya. Eksperimen yang sederhana.
Atau dalam eksperimen yang lain, dilakukan oleh Daniel Kahnemein dan rekannya Donald Redermeier, dengan meneliti pasien yang menjalani pemeriksaan usus besar (kolonoskopi). Penelitian itu, meminta pasien merata-rata mana yang lebih baik menggunakan skala 0-10. Salah satu kolonoskopi berlangsung selama 8 menit, dengan momen paling sakit berada di skala 8 dan di akhir kolonoskopi berskala 7. Kemudian si pasiean menyimpulkan rasa sakit berada pada level 7,5. Sedangkan, pada kolonoslopi berdurasi dua 20 menit dengan momen paling sakit skala 8 dan di akhir berskala 1. Kemudian si pasien mengatakan secara keseluruhan rasa sakitnya berada pada level 4,5. Ketika diminta memilih mana yang lebih tidak menyakitkan, kebanyakan pasien memilih yang berdurasi 20 menit.
Eksperimen kedua semakin menegaskan, bahwa manusia cenderung lebih merasakan atau mengingat bahkan bereaksi dengan pengalaman pada bagian puncak dan ujung-ujungnya. Atau di akhir-akhirnya.
Kebetulan cukup relevan dengan yang terjadi antara Uang Pangkal dan SPU. Ketika uang pangkal ditetapkan dengan angka yang langsung besar, maka reaksi umum manusia merujuk “aturan puncak- ujung”, mudah melihat dan merasakan itu sebagai satu permasalahan.
Jika dijabarkan, katakanlah momen puncak yang direspon oleh mahasiswa adalah angka 15 juta, sebagai ketetapan dalam uang pangkal. Sedangkan momen ujungnya adalah angka 15 juta yang sama karena diselaraskan. Sementara, dalam SPU, momen puncaknya adalah mahasiswa yang membayar sebanyak angka yang sama dengan uang dengan yang ditetapkan pada uang pangkal–atau bahkan lebih. Sedang, momen ujungnya katakanlah mahasiswa yang membayar SPU diantara 15 juta kebawah sampai 750.000 –atau bahkan 0 rupiah.
Uang pangkal, dengan kalkulasi puncak-ujung yang stagnan sekaligus sama tinggi, begitu kasat mata untuk dianggap sebagai permasalahan. Dan akhirnya secara umum, mahasiswa sepakati itu sebagai sesuatu yang tidak bisa dibenarkan bahkan menggugatnya digedung rektorat. Sementara SPU, dengan kalkulasi puncak-ujung yang relatif bias, dengan kelenturan, dan ditambah pernyataan “banyak yang mau membantu UNJ,” semua itu bersekongkol menjadi tedeng aling-aling yang menutupi bahwa SPU adalah sama dengan uang pangkal. Sama-sama permasalahan. Dan kita harus bersuara untuk menolaknya selayaknya yang terjadi dengan uang pangkal.
Epilog
Trik puncak-ujung itu, ternyata banyak diketahui oleh dokter dan para biolog, hampir menjadi rahasia umum dikalangan mereka. Dan kebetulan lagi, Intan Ahmad adalah dosen biologi!
Penulis : Muhamad Muhtar
Editor : Uly Mega Septiani