Kandidat terkuat Presiden Indonesia, Prabowo Subianto Terindikasi Otoriter Lewat Sejumlah Tindakannya. Hal Itu Menjadi Ancaman Bagi Demokrasi Indonesia.
Citra gemoy atau menggemaskan yang terbangun pada Prabowo Subianto kini memudar. Sebab baru-baru ini ramai beredar video berisi ucapan Prabowo yang menuai keresahan di kalangan masyarakat sipil. Dalam video itu, di hadapan khalayak ramai, Prabowo mengancam pers. Dirinya memberikan peringatan kepada media untuk berhati-hati karena kelompoknya akan mencatat kelakuan mereka.
Selanjutnya dirinya keluar dari podium dan bergaya seakan menantang media. Setelah kembali ke podium, dirinya kembali berbicara, “Kami bukan kambing yang bisa kau (media) atur-atur. Hati-hati kau ya. Suara rakyat adalah suara Tuhan.”
Walau kejadian tersebut terjadi beberapa tahun yang lalu, pernyataan tersebut merupakan suatu ancaman kepada demokrasi Indonesia. Pasalnya kini Prabowo kembali mencalonkan diri menjadi presiden. Bahkan, hampir semua lembaga survei menyatakan Prabowo merupakan calon presiden dengan elektabilitas tertinggi.
Sebagaimana yang dipandang Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku berjudul “How Democracies Die” demokrasi akan mati jika orang otoriter menjadi penguasa. Sikap mengancam pers seperti yang dilakukan Prabowo merupakan salah satu indikator kunci dari politisi otoriter menurut kedua profesor Harvard tersebut.
Mereka berdua juga berpendapat bahwa kejatuhan demokrasi kerap dilakukan secara perlahan. Lewat jalur demokratis seperti pemilu, para politisi otoriter dapat memegang tampuk kekuasaan. Setelah memegang kekuasaan, barulah pemimpin itu mengubah aturan main hukum sesuai kepentingannya.
Dalam pemilu, para politisi otoriter sering kali memakai isu-isu populis. Prabowo dinilai seperti itu ketika mengomentari makin banyaknya orang Rohingya mengungsi di Indonesia. Menurutnya, tidak adil kalau Indonesia harus menerima semua pengungsi Rohingya karena akan menjadi beban negara.
Politisi otoriter juga kerap menyembunyikan citra otoriter dengan membangun citra baru yang dekat dengan rakyat. Metode itu berhasil dilakukan anak diktator Filipina, Bongbong Marcos. Saat berkampanye, dirinya sering berjoget dan menyebarkannya lewat sosial media guna menyasar kaum muda. Hal itu dianggap menjadi inspirasi Prabowo kerap melakukan joget gemoy sekarang.
Untuk mempertahankan demokrasi, Steven dan Daniel memandang perlu mengakarnya aturan-aturan tak tertulis mengenai etika demokrasi dalam suatu negara. Mereka mencontohkan Amerika Serikat tetap menjadi negara demokrasi karena mengakarnya aturan tak tertulis seperti toleransi dan sikap menahan diri secara kelembagaan di masyarakat.
Adapun nilai-nilai tak tertulis terbangun dari tindakan yang dilakukan elit politik sebelumnya. Oleh karena itu, etika ataupun nilai demokrasi harus dijunjung oleh para pemimpin untuk mempertahankan demokrasi.
Akan tetapi, nampaknya demokrasi di Indonesia berada di pinggir jurang. Sebab penguasa dan calon kuat dari penguasa Indonesia berikutnya sangat diragukan keberpihakannya terhadap nilai-nilai demokrasi.
Sebagai contoh selanjutnya, belum lama ini Prabowo juga mengeluarkan pernyataan yang sangat berkebalikan dengan nilai-nilai demokrasi. Di hadapan para pendukungnya, Prabowo berkata, “Ndasmu etik”.
Pernyataan tersebut muncul beberapa hari pasca Anies Baswedan bertanya kepada Prabowo dalam debat calon presiden. Anies menanyakan tanggapan Prabowo terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang perubahan syarat batas usia calon presiden dan wakil presiden yang dinilai bermasalah secara etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Putusan tersebut memuluskan langkah putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka menjadi pasangan Prabowo dalam pemilihan presiden 2024.
Dilansir dari Tempo, secara etimologi ndasmu menegasikan kata dibelakangnya. Jadi ketika Prabowo mengatakan “ndasmu etik”, maka dapat ditafsirkan maknanya bahwa tak ada etika atau peniadaan mengenai etika. Pernyataan itu tentunya memperlihatkan Prabowo menyepelekan soal etika dalam berpolitik.
Bukan sekadar menyepelekan etika, sikap Prabowo menjadikan Gibran sebagai pasangannya merupakan pewajaran atas pelanggaran etik dalam putusan MK. Jika dirinya saja mewajarkan hal tersebut, tentu bukan tidak mungkin dirinya akan kerap melakukan hal serupa.
Selain itu, penunjukkan Gibran menjadi calon wakil presiden juga merupakan ancaman demokrasi karena sarat akan upaya dinasti politik. Dinasti politik memicu penumpukan kekuasaan kepada segelintir kelompok, hal itu akan berujung pada pemerintahan yang korup dan otoriter.
Baca juga: Sistem Tolol dalam Pemira
Meredupnya Api Demokrasi Indonesia
Gamblangnya tindakan tidak demokratis dari para elit nasional, membuktikan bahwa demokrasi di Indonesia hanya sebatas prosedural. Hadirnya pemilu memang melibatkan masyarakat untuk memilih pemimpin. Namun ide substansial terkait demokrasi seperti kebebasan pers, meritokrasi dan lainnya semakin terpinggirkan.
Meredupnya api demokrasi yang berkobar ketika Reformasi berdampak pada keadaan saat ini. Sebabnya, Reformasi kala itu tak menghadirkan perubahan secara radikal terkait perpolitikan Indonesia.
Pertama dapat dilihat dari tuntutan untuk mengadili Soeharto dan kroninya yang tak terealisasikan, membuat elite status quo masih bercokol dalam pemerintahan. Dampaknya, sifat otoritarianisme orde baru masih jamak ditemui oleh para politisi kini.
Kedua, mandeknya keadilan membuat pelanggar HAM seperti Prabowo malah menghiasi perpolitikan nasional sekarang. Hal itu tentu berkorelasi dengan nilai mengenai HAM yang tidak dijunjung tinggi oleh para elit dan masyarakat akar rumput.
Sehingga, ketika sejumlah pemikir Barat seperti Steven dan Daniel mengagungkan peran sentral partai politik untuk mencegah orang otoriter berkuasa, agaknya tampak tak relevan dengan keadaan Indonesia sekarang. Sebab, partai politik yang membludak pasca reformasi justru banyak menjadi kendaraan bagi orang otoriter.
Kembali ke awal, untuk mempertahankan demokrasi, maka negara tak boleh dipimpin dengan orang yang terindikasi otoriter. Belajar dari kasus Jokowi, politisi yang sebelum berkuasa membawa nilai-nilai demokrasi, justru ketika berkuasa pemerintahannya dinilai otoriter.
Oleh karena itu, nilai-nilai demokrasi harus terus tertanam di kalangan masyarakat, baik melalui pers, akademisi, organisasi gerakan, dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Sebab rakyat punya kuasa untuk melakukan perubahan menuju sistem yang demokratis. Sebagaimana yang dikatakan Haris Azhar selepas dirinya dibebaskan dari tuduhan pencemaran nama baik, “Anda jangan pernah serahkan nasib anda kepada politisi, calon presiden, mereka yang berdasi licin, pembohong“.
Penulis: Andreas
Editor: Ezra