Pergantian Ketua BEM UNJ berlangsung dengan sistem tertutup. Hal itu melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang bertentangan dengan nilai demokrasi, perlu adanya sistem yang terbuka seluas-luasnya bagi publik.
Diskursus mengenai Pemilihan Raya (Pemira) dan demokrasi kampus ramai di antara banyak mahasiswa pasca masa pendaftaran kandidat ketua BEM dan wakilnya ditutup. Persoalannya berangkat dari Pemira yang kali ini diikuti oleh calon tunggal. Sebab, salah satu paslon sebelumnya terkena pelanggaran karena diketahui menggandakan Kartu Rencana Studi (KRS) sebagai syarat pendaftaran.
Ada yang menghakimi salah satu paslon karena curang, ada tuduhan KPU tidak netral, ada pula pendapat mengenai sistem Pemira yang memang sudah lama bobrok. Saya sepakat dengan yang terakhir. Sebab kalau melihat-lihat lagi ke belakang, kita akan menemukan banyak penyakit yang kerap menjangkiti pesta demokrasi kita.
Di tahun 2018 pernah ada ramai-ramai Boikot Pemira. Musababnya, pada saat itu ketua KPU telah ditentukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam rapat Syuro Wajiha Siyasi. Dalam rapat itu, ketua KPU dipilih untuk memenangkan salah satu kandidat ketua BEM Fakultas.
Selanjutnya Indikasi kecurangan melalui penyalahgunaan hak suara pernah terjadi di 2021. Pemira yang kala itu dilaksanakan luring, menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) berdasarkan kepemilikan akun Siakad UNJ. Namun ada akun Siakad yang belum digunakan untuk memilih oleh pemilik akun, secara misterius telah terdata sebagai pemilih.
Watak buruk Pemira juga tercermin di tahun ini. Kali ini kita diperlihatkan dengan aturan-aturan dalam Pemira yang sebetulnya mengandung ketidakadilan. Syarat 35 KRS dari tiap fakultas di kampus misalnya, sangat tidak masuk akal dan hanya memberatkan bagi orang yang ingin mencalonkan diri.
Sebenarnya masih banyak syarat-syarat tak masuk akal, salah satunya syarat bagi calon kandidat harus mengikuti rangkaian pelatihan kepemimpinan dari tingkat prodi hingga universitas. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa lahir setelah dicekoki muatan materi hanya dalam 3-5 hari?
Dalam sebuah kajian dari Robert J. Allio berjudul Leadership development: teaching versus learning (2016), mengatakan program pelatihan kepemimpinan pada akhirnya tak pernah bisa menghasilkan pemimpin kompeten. Sebab kepemimpinan tidak datang dari proses pembelajaran yang hanya fokus pada kualitas kognitif, melainkan datang dari pengalaman terus-menerus seseorang selama hidupnya.
Tolak ukur berdasarkan pelatihan telah menjebak kita dalam kesalahan berpikir. Sebab, logika semacam ini melegitimasi kompetensi tertentu hanya berdasarkan capaian-capaian yang belum bisa dibuktikan relevansi dan signifikansinya. Menganggap orang yang mengikuti pelatihan sebagai calon pemimpin kompeten, sama saja seperti menganggap siswa peraih peringkat 1 dalam kelas akan jadi orang paling sukses, padahal belum tentu.
Pelatihan nirguna itu juga malah menjadi mesin penghasil elit-elit baru yang eksklusif. Akibatnya, kini BEM dinilai tak lagi merepresentasikan mahasiswa. Kondisi seperti ini berpotensi menciptakan rezim otokratis, di mana kekuasaan hanya terkonsentrasi pada kelompok-kelompok tertentu.
Padahal sejatinya demokrasi tercipta dari ruang publik. Menurut Habermas, ruang publik adalah jaringan komunikasi di mana terdapat pertukaran informasi, wacana, argumen-argumen yang berkumpul dan membentuk opini publik. Komunikasi ini tentu tidak datang dengan sendirinya, ia hadir dari berbagai kepentingan privat para individu.
Jaringan komunikasi itu diperlukan untuk mencapai apa yang Habermas sebut sebagai rational consensus. Kesepakatan yang berfungsi melegitimasi kekuasaan dan kebijakan-kebijakannya. Sehingga, sejauh mana sebuah kebijakan merupakan buah dari kepentingan umum harus bisa diterima dengan rasional oleh publik.
Dengan kata lain, kesepakatan rasional berfungsi menjamin agar ruang publik menjadi basis daripada sistem dan kekuasaan. Namun jika sistemnya saja sudah tertutup, maka bagaimana mungkin kekuasaan dapat merepresentasikan semua kalangan.
Baca juga: Busuk dan Cacatnya Pemira Di Kampus Kita
Demokrasi Membutuhkan Ruang Publik
Konsekuensi dari ketiadaan ruang publik terlihat dari disfungsi BEM per se. Sekarang mahasiswa tidak lagi percaya BEM. Kerja-kerja BEM dinilai seolah hanya jadi perpanjangan tangan dari birokrat kampus, bukannya menjadi perwakilan mahasiswa. Kemana BEM ketika mahasiswa tak bisa bayar UKT? Sibukkah mereka membuat acara-acara tak penting, atau sibuk danusan?
Wajar jika hari ini kalimat seperti “Ada BEM ataupun tidak, sama saja” dan “BEM tak bisa membawa perubahan dalam kehidupan kampus” sudah menjadi opini publik. Jadi, jangan salahkan mahasiswa dengan mencap mereka apatis. Toh, alasan mereka tidak mau berpartisipasi juga masuk akal.
Perlu adanya perubahan sistem secara radikal, demokrasi harus diiringi dengan hadirnya ruang bagi partisipasi publik seluas-luasnya. Caranya adalah hilangkan segala macam aturan dan mekanisme yang menihilkan partisipasi. Setidaknya, syarat pemenuhan KRS harus diturunkan minimumnya. Pelatihan kosong itu pun harus dihapuskan.
Sebagaimana Habermas, ruang publik akan tercipta jika ada kekuatan sosial dan politik melalui perilaku saling mengontrol antara organisasi-organisasi atau individu yang saling bersaing. Jika yang bersaing “itu-itu saja” atau “dia lagi-dia lagi,” maka sama saja bohong.
Sistem tolol ini telah berimplikasi pada praktik demokrasi itu sendiri. Persyaratan-persyaratan repot itu telah membatasi partisipasi publik Sehingga, minimnya partisipasi adalah konsekuensi logis dari sistem yang mengarah kepada kehancuran demokrasi itu sendiri.
Penulis: Ezra Hanif
Editor: Andreas Hakiki