Buruknya kualitas udara berdampak pada kesehatan warga Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. Polusi dari kawasan industri ditengarai menjadi penyebabnya.
Deru bising truk dan kontainer hilir-mudik memadati kawasan industri Pulogadung – Cakung. Asap kelabu tebal tampak membumbung tinggi keluar dari cerobong-cerobong pabrik.
Bising kendaraan yang bercampur dengan gumpalan polusi tersebut menjadi makanan sehari-hari bagi warga Kelurahan Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. Sumini, pemilik warung kopi sekaligus toko kelontong yang sudah lebih dari 20 tahun berada di Rawa Terate seringkali mengalami berbagai gangguan kesehatan.
Warung kopinya terletak persis di emperan jalan raya, bukan hanya membuat dirinya menghirup polusi pabrik, tetapi dihadapkan dengan pekatnya debu jalanan. Tak jarang, perempuan berumur 44 tahun itu mengalami batuk-batuk, mata merah, hingga sesak nafas. Kerap kali anaknya yang turut membantu Sumini di warung kopi juga merasakan gejala yang sama.
Sumini menunjuk halaman depan warungnya, “Kalau di sini, setiap jam-jam pergi-pulang kerja, jalanan macet banget. Ditambah lagi pekatnya asap dari pabrik,” ucapnya pada Selasa (31/11).
Seringkali, Sumini melihat asap tebal keluar dari cerobong pabrik di sekitar tempatnya berjualan. Biasanya, asap tersebut sering terlihat pada sore hari. Gumpalan asap hitam tersebut bertahan lama, hingga lembayung senja tenggelam.
“(Hari) ini masih mendingan, gak terlalu banyak asap dan debu. Karena kalo biasanya banyak banget,” sambung Sumini.
Melansir dari Alodokter.com, dampak dari polusi udara sendiri tidak jauh beda dengan apa yang dialami oleh Sumini. Yaitu, sesak nafas, iritasi pada mata, batuk, mual, dan pusing. Pada taraf yang parah, polusi udara dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) hingga kanker.
Meski dihadapkan pada lingkungan yang amat tidak sehat, Sumini tetap memilih bertahan. Kondisi keuangan keluarga, mendesaknya harus tetap bekerja, meski berbagai macam ancaman penyakit membayanginya.
“Mau gimana lagi ya, karena memang nyari duit di sini. Terpaksa bertahan, walaupun banyak debu dan polusi udara di sini,” ujarnya.
Mengutip Kata Data, Jakarta Timur menjadi kawasan dengan indeks kualitas udara terburuk dibandingkan dengan kota-kota di sekitarnya. Per 15 Desember 2023, Jakarta Timur masuk ke dalam kategori kawasan udara tidak sehat dengan skor indeks kualitas udara sebesar 105. Angka tersebut menjadi alarm peringatan agar masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut untuk mengurangi aktivitas di luar rumah.
Sebagai informasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerapkan kategori kualitas udara berdasarkan rentang Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) sebagai berikut; 0-50 baik, 51-100 sedang, 101-200 tidak sehat, 200-300 sangat tidak sehat, dan 300+ berbahaya.
Bertolak dari warung kopi Sumini, Tim Didaktika menuju puskesmas Rawa Terate guna mengajukan permohonan wawancara dan meminta data. Namun sayang, hal tersebut urung dilakukan lantaran regulasi birokrasi yang rumit.
Kami mendapatkan data yang terpampang di papan pengumuman terkait jumlah 10 penyakit terbanyak di puskesmas Rawa Terate. Disebutkan pada tahun 2022, penderita ISPA menjadi kasus terbanyak dengan 1.740 kasus.
Gambar grafik 10 penyakit terbanyak di Puskesmas Rawa Terate.
Senada, data yang dihimpun Kompas.id dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa Jakarta Timur menjadi kota dengan kasus ISPA terbanyak se-Jabodetabek dengan 45.089 kasus per Juli 2023. Bila merujuk data tersebut, berarti Rawa Terate menyumbang.
Gambar data ISPA di Jabodetabek oleh Kompas.id
Terkait tingginya kasus ISPA di kelurahan Rawa Terate, anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) RW.05, Teguh menjelaskan bahwa aktivitas industri bukanlah faktor tunggal penyebab tingginya kasus ISPA di wilayahnya. Sebab menurutnya, limbah asap pabrik yang dihasilkan tidak separah tahun 2019 – 2020.
Teguh menceritakan, sebelum pandemi Covid-19 asap pabrik sangatlah mengganggu kehidupan warga. Dampak dari parahnya asap pabrik saat itu, anaknya sempat tak sadarkan diri lantaran bau menyengat dari pabrik kimia di dekat rumahnya.
Lebih lanjut, Ia mengatakan bahwa beberapa pelaku industri sudah lebih baik dalam mengelola limbah. Dengan menerapkan sistem sedot kebawah, limbah sisa pembakaran tidak lagi dibuang melalui cerobong asap yang dapat mencemari udara.
“Semenjak masuk tahun 2020 kesini saya merasa udah ga ada (polusi). Kalo ada pun itu cuma sedikit, ngga separah waktu dulu. Dulu kan sempat perusahaan digeruduk sama warga. Mungkin dari situ penanganan polusinya diperbaiki,” ujar Teguh.
Selain itu, kata Teguh, beberapa pelaku industri juga rutin memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada warga sekitar berupa sembako tiap hari raya Idul Fitri. Program tersebut bertujuan untuk menjaga hubungan baik di antara pelaku industri dan warga sekitar.
Apa yang disampaikan Teguh berbanding terbalik dengan pengakuan Aisyah (bukan nama sebenarnya), warga RT. 01/05 Kelurahan Rawa Terate. Perempuan berusia 41 tahun itu mengungkapkan, aktivitas industri masih mengeluarkan asap sehingga mengakibatkan kehidupan warga terganggu. Terlebih, pekatnya asap yang dikeluarkan oleh industri terjadi pada malam hari.
“Sekitar pukul 10 malam hingga menjelang subuh, asap mengepul kaya kabut. Kan cerobongnya sono tuh di tengah, itu ngebul tuh. Kan ponakan saya ada anak-anak kecil juga ya,” ucap Aisyah sambil menunjuk area pemukiman warga.
Aisyah mengaku kesal lantaran banyak keluarganya yang terjangkit penyakit asma. Selain kelelahan, kata Aisyah, kondisi udara yang tidak sehat juga menjadi pemicu sering kambuhnya penyakit asma yang dia derita. Aisyah berharap perusahaan bisa memberikan jaminan kesehatan dan kompensasi kepada warga sekitar. Dia mengaku sejak dia tinggal di sana perusahaan tidak pernah memberikan kompensasi kepada warga.
“Kalo tahun kemarin, pabrik belerang sana tuh pernah bocor belerang, kayak dicekik rasanya. Sakit tajem disini kayak ditusuk pisau,” kenang Aisyah sembari menunjuk dadanya.
Baca juga: Dibebaskan dari Segala Tuntutan, Haris-Fatia Serukan Rakyat Terus Melawan
Penyebab Buruknya Polusi Udara di Jakarta
Ditemui Tim Didaktika di kantornya pada, Rabu (13/12), Muhammad Aminullah, Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menjelaskan, pengawasan pemerintah terhadap kegiatan industri atau pabrik masih sangat minim. Menurutnya, jika dirasiokan rata-rata dalam setahun, Jakarta hanya mampu mengawasi 800 industri. Sedangkan jumlah industri di Jakarta lebih banyak daripada itu. Untuk perizinan lingkungan saja pasti ada ribuan tiap tahunnya. Dan itu tidak dibatasi oleh pemerintah.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 DKI Jakarta memiliki 1.628 perusahaan manufaktur skala besar dan menengah yang tersebar di lima wilayah kota.
“Jadi kita punya banyak industri, tapi kemampuan pengawasan tidak bisa mengimbangi. Jadi akhirnya banyak industri yang leluasa untuk tidak mentaati aturan,” jelas lelaki yang akrab dipanggil Anca tersebut.
Lebih lanjut, Anca menjelaskan bahwa Walhi dalam memandang kasus polusi udara di Jakarta dipengaruhi banyak faktor. Sebab, polusi udara bukanlah persoalan yang praktis untuk diselesaikan, melainkan bersifat struktural.
Jika diturunkan per sektornya, permasalahan polusi industri di Jakarta selain karena pengawasan yang minim, juga dipengaruhi pembangunan yang tidak sesuai. Pembangunan di Jakarta tidak didukung dengan daya tampung lingkungan. Seharusnya, menurut Anca, pemerintah perlu menghitung berapa daya dukung dan daya tampung lingkungan. Indikator sudah terlampauinya daya tampung adalah adanya perubahan fisik lingkungan. Seperti polusi udara, sungai yang tercemar, dan lain sebagainya.
“Misal kita hanya bisa meredam emisi sekian, berarti emisi industri itu tidak boleh lebih dari kemampuan Jakarta, seharusnya kan kaya gitu. Jika daya tampung sudah terlampaui harus diperketat perizinannya,” tegas Anca.
Walhi berharap masyarakat ikut membantu dalam mengatasi masalah polusi ini. Dengan cara melaporkan industri yang dinilai menyalahi aturan, menggunakan transportasi pribadi hanya untuk ke tempat yang sulit diakses, dan juga menanam pohon jika memiliki lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH).
“Jadi menurut kami akar permasalahannya bukan ada di masyarakat, tapi bagaimana dari hulunya pemerintah mengatur sistem di Jakarta sendiri,” pungkas Anca.
Penulis: Zidnan Nuuro
Editor: Lalu Adam