Oleh: Raihan Ghillman*
Dalam kaitannya terhadap isu yang saat ini sedang gencarnya diberitakan oleh beberapa pers mahasiswa UNJ, permasalahan SPU memiliki tendensi akan timbulnya penyimpangan yang secara struktural mendapat legitimasi dari pihak birokrat, yang mana hal tersebut merupakan pelanggaran dalam dunia pendidikan itu sendiri. Permasalahan SPU menjadi perbincangan hangat di kalangan mahasiswa maupun dosen sekalipun, yang sekiranya mereka peduli akan permasalahan di kampus. Pasalnya regulasi ini jelas membebankan mahasiswa terutama mahasiswa baru yang akan melanjutkan studinya di perguruan tinggi (UNJ). Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kemudian komitmen yang kerap di gaungkan oleh pihak kampus mengenai fungsinya sebagai lembaga pendidikan dalam mencerahkan kehidupan masyarakat kemudian terdegredasi oleh kebijakan yang akan di terapkan -lihat Tri Dharma perguruan tinggi.
Tidak hanya menyoal permasalahan tentang SPU, penulis beranggapan bahwa berbagai permasalahan yang terjadi di kampus acapkali bersinggungan dengan prinsip dasar dalam dunia pendidikan –universitas utamanya, bahwa pendidikan di perguruan tinggi memegang teguh asas kebebasan berpikir, berekspresi, kritik dan sebagainya yang bersifat edukasional, seringkali mendapat represi dari pihak birokrat. Permasalahan kategorisasi baik buruk inilah yang secara subjektif dimaknai birokrat sebagai ‘ancaman’ dan di jadikan dalih untuk membungkam mereka yang menunjukan sikap kritis terhadap apa yang dianggapnya menyimpang. Menjadi hal yang wajar dalam ranah universitas bilamana proses kritik itu terjadi, namun faktanya respon yang diberikan birokrat seringkali memberikan kita gambaran betapa bobroknya mindset yang terpasang di kepala para petinggi kampus. Seperti kasus yang terjadi sebelumnya, tentang skorsing hingga DO terhadap mahasiswa yang melancarkan kritiknya terhadap kebijakan kampus, sampai pemolisian yang dilakukan pihak kampus terhadap dosen Sosiologi FIS UNJ Ubedilah Badrun, yang sebelumnya mengkritisi situasi kampus dalam tataran birokrat yang diisukan terjadi penyelewengan kekuasaan dengan indikasi adanya tindak KKN yang dilakukan oleh rektor kala itu.
Tak hanya itu, persoalan mengenai liberalisasi yang di gencarkan pihak kampus berdampak bagi para pedagang yang berjualan di sekitar kampus. Seperti pada kasus penggusuran lapak pedagang di parkir spiral UNJ. Meski kenyataanya penggusuran itu dilakukan atas dasar adanya renovasi bangunan, yang setelah pekerjaan itu rampung pedagang di persilahkan berdagang kembali, sampai saat ini belum ada kejelasan dari pihak kampus kepada para pedagang untuk bisa menggelar lapak dagangnya kembali. Secara jelas penulis belum dapat memastikan ada tidaknya unsur komersialisasi yang dilakukan pihak kampus dengan dilakukannya renovasi tersebut, karena sampai saat ini bangunan tersebut masih di kelola pihak kampus, hanya saja imbas dari pembangunan itu berdampak bagi para pedagang yang tergusur lapak dagangnya.
Namun secara jeli apabila kita mencoba membuat artikulasi komprehensif pada kasus tersebut terhadap apa yang di gagas oleh Levebre tentang ‘kontestasi perebutan dan reproduksi ruang’ kita bisa melihat bahwa walaupun sampai saat ini belum ada pihak swasta atau lembaga manapun yang mengelola bangunan itu –dalam konteks pencarian profit, kita boleh beranggapan bahwa hal itu masih dalam tataran normatif, namun bila kita sejenak melepas kacamata ilusif yang kerap membelenggu pandang kita, didapati bahwa penggusuran itu memiliki motif yang seiring dengan ekspansi kapital, bahwa digusurnya pedagang yang melapak disana bukan semata-mata karena adanya proses renovasi, melainkan kehadiran mereka cenderung merusak estetika kapitalisme yang implikasinya bagi pihak kampus berdampak pada nilai jual ruang tersebut, sehingga akhirnya pilihan untuk menggusur lapak mereka menjadi prioritas yang harus di eksekusi. Meski pada akhirnya ruang tersebut masih lowong dalam artian tidak ada dari pihak manapun yang memanfaatkannya, kecuali pihak kampus. Sejalan dengan analisia Levebre bahwa ekspansi modal telah dilakukan dengan indikasi bahwa reproduksi ruang tersebut berhasil mengubah ruang yang sebelumnya diisi para pedagang –yang menganggu estetika ruang dalam kepentingan kapital- kemudian telah steril dan mendapatkan kembali nilai jualnya melalui serangkaian penggusuran tersebut. Paparan mengenai analisa pemikiran Levebre akan reproduksi ruang, penulis batasi sampai pada kasus penggusuran tersebut, akan penulis lanjutkan setelahnya dalam spektrum yang lebih luas, yang mencakup lingkungan kampus dan dinamika yang terjadi di dalamnya.
Kemudian rangkaian opresi yang dilakukan pihak kampus tidak hanya sampai disitu, beberapa kerap ditemui adanya pembubaran secara paksa yang dilakukan pihak kampus terhadap beberapa lingkar diskusi yang sedang melakukan kegiatannya, seperti yang terjadi pada saat isu skandal rektor sedang hangat-hangatnya dibicarakan. Diantaranya ada yang mempersoalkan legalitas perkumpulan itu karena dianggapnya sebagai pengganggu keamanan dan ketertiban di lingkungan kampus. Pembubaran paksa terhadap lingkar diskusi di dalam kampus yang dalam bentuk apapun menjadi riskan, mengingat prinsip perguruan tinggi yang memegang teguh asas kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat mengalami penyusutan secara drastis oleh karena tindakan semena-mena dari pihak kampus lewat aparat-aparatnya. Pemberangusan ruang-ruang produktif di lingkungan kampus, sampai pada level tertentu akan mencapai titik dimana iklim demokrasi yang tercipta lewat ruang produktif tersebut di kerdilkan menjadi situasi dimana segala sesuatu di sesuaikan dengan kebutuhan pasar yang dikehendaki birokrat lewat skema pendisiplinan secara struktural dan sistematis. Dari situ kita bisa berasumsi bahwa universitas telah gagal dalam fungsinya sebagai pioneer demokrasi sekaligus pencerah bagi masyarakat, ditambah dengan adanya persoalan SPU ini membuat mahasiswa kembali dibebankan soal urusan pendanaan ini. Universitas yang sejatinya membebaskan serta membuka akses seluas-luasnya untuk mahasiswa agar bisa mengikuti perkuliahan tanpa di pusingkan biaya apapun hanya tinggal isapan jempol belaka.
Kontestasi Perebutan Ruang : Reproduksi Ruang dan Pengetahuan dalam Upaya Hegemoni Kelas Berkuasa
Dalam kasus ini ruang dimaknai sebagai suatu dimensi dimana terdapat sekumpulan kelompok yang saling berinteraksi dalam tajuk wacana sosial yang akhirnya membentuk jalinan relasi yang saling berkelindan membentuk struktur organik yang terpola secara hierarkis, jalinan relasi yang terstratifikasi tersebut secara esensial terbentuk akibat adanya kontradiksi antara kelompok-kelompok dominan –yang menguasai berbagai sumberdaya, dalam hal ini modal- dengan yang di dominasi. Objektivikasi ruang sebagai objek kontestasi erat kaitannya dengan apa yang diungkapkan Levebre “Space is real in the same sense that commodities are real since (social) space is a (social) product” (Levebre 2000:26). Dalam hal ini ruang dan komoditas sama-sama memiliki nilai, ruang memiliki muatan nilai yang dengannya proses komodifikasi ruang dapat dimungkinkan.
Proses produksi spasial dalam terminologi Levebre berkaitan erat dengan lokus mode produksi dan posisi dialek pada hubungan produksi yang saling timbal balik dengan apa yang disebut Levebre sebagai ruang (spasial dan sosial) hidup, ruang yang di persepsikan, dan ruang yang di konsepsikan. Bagi Levebre proses produksi ruang ini beriringan dengan konteks kapitalisme modern yang mana ruang sebagai komoditas di aplikasikan sebagai ranah dalam upayanya menghegemoni organisme inferior lewat pemanfaatan ruang tersebut sebagai medium hegemonik dan disokong dengan reproduksi pengetahuan yang bersifat mutakhir sebagai sekrup legitim atas apa yang di upayakannya. Terkait dalam trialektika spasialnya, Levebre juga menjelaskan bahwa proses produksi dan reproduksi ruang dipengaruhi oleh berabagai kekuatan yang saling memperebutkan ruang ‘hampa’ tersebut. kondisi perebutan ruang tersebut tidak hanya di maknai sebagai iklim kompetitif, melainkan proses tarik-menarik antar berbagai kekuatan yang saling memiliki kepentingan atas ruang tersebut.
Struktur kontestasi spasial yang terbentuk sebagai konsekuensi dari adanya kontradiksi tersebut mendikotomikan antara birokrat dengan pihak-pihak lainnya dan mahasiswa dengan elemen-elemen yang terkait dengannya selaku poros oposisi. Asumsi dasarnya adalah kedua belah pihak sama-sama memiliki kepentingan atas ruang tersebut, yang satu berorientasi pada: bisnis, tambahan modal, dan kebijakan sepihak, sedangkan yang kedua: memiliki orientasi terhadap apa yang menjadi kebutuhan utama bagi mereka semisal pendidikan, ruang berekspresi, dsb. Kita bisa memposisikan lokus mode produsi ini sebagai kemampuan modal dan sumber daya yang dimiliki oleh mahasiswa dan hal lain yang berkaitan dengannya. Oleh karena keduanya memiliki perbedaan yang signifikan di segala lini, tak ayal jika pertentangan antar oposisi biner tersebut dapat dikategorikan dalam sebuah lanskap kontestasi yang mana ruang menjadi objek komoditas yang saling di perebutkan. Dengan kata lain, kontradiksi atas perebutan ruang tersebut memunculkan perlawanan atas upaya-upaya untuk menghegemonisasi cara (praktik) penggunaan, kepemilikan, dan rasa yang dimiliki atas suatu ruang yang dihuni oleh kumpulan organisme yang saling bertegangan satu sama lain.
Dalam kasus SPU dan persoalan lain yang penulis paparkan sebelumnya, melalui rincian singkat analisis teoretik tadi, menjelaskan pada kita semua tentang siapa pihak yang saling berkompetisi, dan apa kepentingan yang mereka perjuangkan, serta bagaimana kita memposisikan diri sebagai subjek merdeka yang sama-sama memperjuangkan apa yang selayaknya kita dapatkan dan kita rasakan terkait kondisi ideal di lingkungan kampus terlepas dari berbagai kepentingan maupun perdebatan yang mengiringi proses dinamikanya dalam menentukan situasi ideal bersama. Tujuan kolektif menjadi sasaran utama kita sebagai poros oposisi dalam meng-counter upaya hegemoni kelas berkuasa. Tidak ada kata lain selain melawan upaya hegemoni tersebut, ciptakan iklim demokratis di lingkungan kampus, hidupkan ruang-ruang produktif dimanapun itu berada, rebut apa yang seharusnya menjadi milik kita bersama, lawan segala bentuk opresi kelas berkuasa, karena diam bukanlah suatu kebijaksanaan dan melawan adalah suatu keniscayaan. Scholars of All Faculty Unite!
***
Mahasiswa Prodi Sosiologi UNJ. Aktif dalam lingkar diskusi Diskusi Kamis Sore (DKS). Juga aktif dalam organisasi Kelompok Peneliti Muda (KPM) dan Pusat Studi Mahasiswa (Pusdima)*
Sumber Referensi :
- Lefebvre, Henri. 2000. The Production of Space. Georgetown University Press: NY.
- Ritzer, George & Douglas J. Goodman, 2009. Teori Sosiologi; dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta; Kreasi Wacana.
- Pamungkas, Arie S (2016, 11 Januari). Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut Henri Levebre. Dikutip 23 Juni 2019 dari Indoprogress: https://indoprogress.com
- Yaputra, Hendrik & Mega, Uly (2017, 9 Juni). Larangan Pertemuan FMI UNJ di Fakultas Bahasa dan Seni. Diakses 23 Juni 2019 dari Didaktikaunj: https://lpmdidaktika.com
- Muhamad, Muhtar (2019, 20 Juni). SPU: Uang Pangkal Malu-Malu. Diakses 23 Juni 2019 dari Didaktikaunj: https://lpmdidaktika.com
- Abdullah, Ilham (2018, 4 Juni). Kantin Spiral Tak Ada, Pedagang Kecewa. Diakses 23 Juni 2019 dari Didaktikaunj: https://lpmdidaktika.com