Judul Buku : Pemberontakan Petani Banten 1888

Penulis : Sartono Kartodirdjo

Penerbit : Komunitas Bambu

Cetakan : 2015

Jumlah Halaman : xxvii + 424 Halaman

ISBN : 978-602-9402-40-7

Iklan

Kiwari warga Kampung Bayam masih berjuang mempertahankan ruang hidup mereka. Pasalnya warga Kampung Bayam berkemungkinan besar akan terusir dari tempat tinggal mereka seharusnya, yakni Kampung Susun Bayam (KSB).

Sebelumnya warga Kampung Bayam menempati paksa KSB. Sebabnya, warga Kampung Bayam sudah dijanjikan akan tinggal di sana oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai ganti rugi penggusuran mereka. Kampung Bayam yang sebagian besar penduduknya dahulu petani, digusur demi pembangunan Jakarta International Stadium (JIS).

Akan tetapi, janji yang diterima warga Kampung Bayam sebelumnya tak terealisasikan. Pemerintah menyatakan KSB tidak ditujukan untuk tempat tinggal warga Kampung Bayam. 

Dengan dalih itu, warga Kampung Bayam dianggap menempati secara ilegal KSB. Dampaknya, warga tidak mendapatkan berbagai fasilitas di sana seperti listrik dan air. Tak hanya itu, warga Kampung Bayam kerap mengalami tindakan represif yang dilakukan oleh aparat. Namun, walau badai silih berganti menerpa mereka, warga Kampung Bayam masih terus melawan.

Kejadian di Kampung Bayam merupakan satu dari setumpuk kasus konflik agraria di Indonesia hari ini. Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2023 setidaknya ada 241 kasus konflik agraria di Indonesia. Temuan kasus itu sebagian besar menurut KPA merupakan konflik agraria struktural, yakni konflik lahan yang disebabkan kebijakan pejabat publik, serta mengakibatkan terancamnya dan/atau tersingkirnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria. 

Situasi yang dialami warga Kampung Bayam sudah dialami pula oleh petani Banten ratusan tahun silam. Fenomena itu terekam oleh Sartono Kartodirdjo lewat bukunya Pemberontakan Petani Banten 1888. Dalam buku ini, Sartono menyingkap akumulasi penindasan petani Banten kala itu yang membuat mereka memberontak.

Sebelum dimulainya pemerintahan kolonial di Banten, petani menempati tanah garapan milik para bangsawan. Sebagai timbal balik, petani membayar upeti kepada pemilik tanah. 

Namun, setelah Belanda menggulingkan Kesultanan Banten pada tahun 1808, petani jadi mempunyai beban ganda. Mereka tak hanya membayar pajak kepada para bangsawan tetapi kepada pemerintah kolonial juga. 

Kesengsaraan petani semakin bertambah ketika diberlakukannya kebijakan Cultuurstelsel atau tanam paksa. Lewat kebijakan itu pemerintahan kolonial memaksa petani untuk menanam tanaman ekspor seperti teh dan kopi. Akan tetapi, karena tanaman yang ditanam tak sesuai dengan keadaan alam Banten, maka petani seringkali mengalami gagal panen.

Kebijakan tanam paksa semakin memberatkan petani karena harga yang ditetapkan kepada petani untuk tanaman ekspor pun sangat murah. Padahal, produksi tanaman lokal seperti padi jauh lebih menguntungkan petani. 

Iklan

Beberapa tahun sebelum munculnya Pemberontakan Petani Banten 1888, malapetaka demi malapetaka menimpa petani Banten. Mereka dilanda bencana kelaparan karena adanya musim kemarau berkepanjangan. 

Selain itu, wabah penyakit sampar juga menjamur. Untuk menghentikan penyakit itu, pemerintah kolonial memerintahkan membunuh semua ternak di sana. Adanya kebijakan itu membuat rakyat semakin geram karena hewan ternak yang membantu mereka menggarap sawah telah mati.

Kesengsaraan belum berhenti menimpa petani Banten. Pada 1883, puluhan ribu manusia mati karena meletusnya Gunung Krakatau. Seperti tak punya rasa empati, pemerintah kolonial malah meluncurkan kebijakan perpajakan baru yang menambah kesengsaraan petani.

Melihat penderitaan yang ada, ulama mengobarkan jihad melawan pemerintah kolonial. Ulama menyebarkan pesan bahwa suasana kesuraman yang dirasakan rakyat merupakan tanda akhir dunia atau kedatangan Imam Mahdi. Mereka menganggap melawan pemerintah kolonial sama dengan berjuang bersama Imam Mahdi melawan kejahatan.

Adapun Banten kala itu merupakan wilayah religius, masyarakat taat pada ajaran yang dikemukakan para pemuka agama. Namun, pemerintah kolonial membatasi agama Islam dengan melarang khutbah Jumat, dikumandangkannya adzan, dan pemberangusan buku-buku perjuangan Islam. Hal itu yang turut melandasi ulama menginisiasi pemberontakan.

Buku ini berpengaruh pada perkembangan penulisan sejarah Indonesia karena Sartono membawa gaya penulisan sinkronik. Ia menguliti sebab Pemberontakan Petani Banten 1888 lewat perspektif ekonomi, sosiologi, dan berbagai disiplin ilmu lain.

Tak hanya itu, Sartono menjelaskan peristiwa itu dengan fokus sudut pandang petani Banten kala itu. Penulisan sejarah itu cukup berbeda seperti penulisan sejarah kebanyakan yang berfokus pada elit. Akan tetapi, terdapat suatu kekurangan dalam buku ini karena kurangnya penjelasan mengenai kondisi Banten pasca pemberontakan petani.

Baca juga: Bangkitkan Memori Sejarah Lewat Bedah Buku “Kronik Penculikan Aktivis dan Kekerasan Negara 1998”

Gerakan Rakyat Hari Ini 

Semenjak Pemberontakan Petani Banten, pemantik pergerakan didominasi oleh mahasiswa bukan oleh kalangan ulama. Sebabnya setelah ada perluasan pendidikan gaya barat melalui kebijakan politik etis, muncul kemudian kalangan mahasiswa sebagai kaum intelektual yang punya akses lebih terhadap pengetahuan dibanding dengan rakyat kebanyakan.

Seringkali mahasiswa turun ke masyarakat bawah untuk memahami permasalahan rakyat dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai contoh, di dekade terakhir pemerintahan Soeharto yang penuh akan permasalahan agraria, mahasiswa bersama rakyat bergerak melawan penghisapan yang dilakukan oleh negara. Hal itu serupa ketika ulama dan rakyat melancarkan pemberontakan di Banten 1988.

Namun, jika dilihat hari ini, mahasiswa cenderung pasif terhadap banyaknya permasalahan sosial yang ada. Jika mereka melawan, itu pun cenderung eksklusif dan tidak melibatkan rakyat. Persoalan bertambah pelik ketika banyak dari mahasiswa melawan hanya dengan beropini di media sosial saja, tanpa melakukan pengorganisiran antara sesama mahasiswa ataupun kepada rakyat kebanyakan.

Dampaknya, konflik agraria yang sedemikian banyak sekarang kemudian terabaikan dan tidak mendapat respon signifikan dari masyarakat. Hal itu tentu menimbulkan banyak rakyat terpisah dari ruang hidup mereka semula.

Bercermin dari kesadaran dalam bergerak yang kurang, penting untuk membuka kesadaran kaum intelektual akan konflik agraria. Sebab sengketa tanah yang hanya berpihak pada elit penguasa, menghancurkan banyak masa depan masyarakat yang kehilangan tanahnya.

 

Penulis: Hanum Alkhansaa Rahmadhani

Editor: Andreas Handy