Di tengah maraknya konflik keagamaan, Pangestu tampil sebagai wadah bersama di mana anggotanya dapat bersatu guyub rukun. Hal barusan diwujudkan lewat kegiatan olahrasa yang bertujuan menyempurnakan pemahaman ketuhanan dan perbedaan antar manusia.
Seakan tidak pernah surut, konflik keagamaan terus terjadi di Indonesia. Kebanyakan konflik meruncing memicu kekerasan atas nama agama, seperti yang terjadi di Ambon antara penganut Islam dan Kristen. Tidak hanya itu, adanya konflik keagamaan lainnya membuat keberagaman di Indonesia menjadi tidak lagi harmonis.
Di tengah banyaknya konflik keagamaan, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu) hadir sebagai organisasi spiritual yang mewadahi semua kalangan dari berbagai latar belakang agama. Pangestu terbuka untuk orang-orang yang ingin memahami ajarannya ataupun sekadar ingin tahu saja.
Ketua Badan Pengukuh Naskah dan Kesekretariatan Pangestu (BPNK), Titis (67) menegaskan bahwa Pangestu bukan suatu agama ataupun aliran kebatinan. Ia menjelaskan Pangestu merupakan organisasi yang memiliki ajaran kehidupan kembali bertunggal dengan Tuhan Yang Maha Esa, serta mempercayai adanya Sang Guru Sejati (percikan Tuhan) dalam setiap diri manusia.
“Jadi apapun agamanya, kalo dia mendalami pemahaman tentang ini (Pangestu) ketuhanannya akan lebih tinggi. Kenapa? Karena sebenarnya ajaran ini proses untuk pengolahan jiwa atau istilahnya cipta (angan-angan) dan hati,” terang Titis.
Dalam prakteknya sendiri, anggota Pangestu beribadah kepada Tuhan sesuai dengan agama masing-masing. Mereka beribadah sesuai dengan kepercayaannya sebagai wujud bakti kepada Tuhannya seperti halnya yang diajarkan Pangestu. Lebih lanjut, ajaran Pangestu bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang ketuhanan dalam agama yang dimiliki setiap individu, serta kerukunan hidup sesama manusia tanpa memandang perbedaan apapun.
Ajaran Sang Guru Sejati sendiri berupa pengolahan jiwa dengan berfokus pada hati dan cipta. Prosesnya berupa analisis anatomi jiwa manusia agar menjadi lebih baik. Salah satu perwujudannya, lewat kegiatan olahrasa, di mana seluruh anggota akan mendengarkan ceramah dari utusan pengurus cabang yang sudah memahami ajaran Pangestu.
“Penceramah akan membacakan reference-reference utama, lalu mengungkapkan perjalanan hidupnya dalam implementasi ajaran olahrasa,” ujar Titis ketika ditemui Tim Didaktika, Jumat (7/4).
Baca juga: Menilik Perpaduan Islam dengan Budaya Tionghoa di Masjid Lautze
Titis mengungkapkan melalui olahrasa membuatnya lebih paham tentang perbedaan pandangan spiritualitas seseorang. Hal ini disebabkan, ketika setiap orang mempercayai suatu ajaran tertentu, mereka memiliki perkembangan jiwa dan daya tangkapnya masing-masing. Namun, ia mengamini perihal adanya satu tujuan yang baik dari ajaran Tuhan, hanya saja setiap orang terkadang berbeda pemahaman.
“Saya meyakini semua yang berasal dari Allah memiliki tujuan yang sama. Perbedaannya saat itu hanya pada warana (perantara) termasuk perbedaan bahasa dan kebudayaan,” ungkap Titis sambil tersenyum.
Sejalan dengan Titis, anggota Pemuda Pangestu, Nindyo menerangkan bahwa olahrasa membuat seseorang lebih bijak dalam menanggapi permasalahan di lingkungan masyarakat. Menariknya, ia membagikan pengalamannya ketika pemilu, di mana masyarakat terpolarisasi dan saling serang melalui sosial media untuk mempertahankan suaranya masing-masing.
“Saya bisa melihat harusnya tidak sampai kejadian kaya gitu. Kita masih satu, Indonesia. Tidak boleh gampang tersulut emosi,” terangnya.
Nindyo mengaku saat itu tidak terjebak dalam polarisasi yang terjadi di masyarakat. Menurutnya hal barusan bisa diatasinya lantaran telah terlatih mengolah rasa. Reaksinya dalam melihat sesuatu pun tidak begitu saja langsung diperlihatkan, ia terbiasa mengolah angan-angannya dan refleksi terhadap diri sendiri.
Ia juga turut membagikan pengalamannya di tempat kerja. Nindyo yang berprofesi sebagai regional creative head di suatu perusahaan studio film dengan cakupan berbagai negara dengan kultur berbeda, tentu memerlukan pemahaman soal keberagaman. Meski awalnya sulit, tetapi melalui pemahamannya mengolah rasa, menjadikan hubungan pekerjaan dan pertemanan tidak terganggu.
“Kita mengolah rasa dengan berpikir kenapa si b punya pendapat seperti ini. Bisa dibilang menjadi lebih wise menanggapi stimulasi yang ada di lingkungan masyarakat kita,” ungkap Nindyo.
Penulis/ Reporter: Fatin Riza Azizah dan Aprilia Pramudhita
Editor: Ragil Firdaus dan Siti Nuraini