Budaya Tionghoa melekat pada gaya arsitektur Masjid Lautze, demi menjaga kearifan lokal serta menghilangkan sekat di antara orang Tionghoa dan agama Islam.

Rumah ibadah umat Islam yang bernuansa Timur Tengah, beratapkan kubah dan dihiasi kaligrafi-kaligrafi Arab mungkin sudah biasa dilihat di sudut-sudut kota Jakarta. Akan tetapi, berbeda halnya dengan salah satu masjid yang berada di kawasan Sawah Baru, Jakarta Pusat. 

Arsitektur Masjid Lautze mengadopsi dari budaya Tionghoa. Terlihat dari lampion yang tergantung di atas dinding dan gaya kaligrafi memiliki unsur perpaduan Arab dan Tionghoa. Lukisan kaligrafi juga dilengkapi dengan terjemahan dari tiga bahasa yaitu Arab, Mandarin, dan Indonesia. 

Ali Karim Oei, biasa disapa dengan sebutan Koh Ali merupakan pendiri dari Masjid Lautze bersama sahabat-sahabatnya yang tergabung dalam berbagai organisasi keagamaan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), dan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). 

Saat diwawancarai Tim Didaktika (7/4), Ali menuturkan alasan di balik desain arsitektur Masjid Lautze laiknya sebuah kelenteng. Gaya arsitektur masjid ini terinspirasi sewaktu Ali kunjungan bersama Quraish Shihab ke salah satu masjid yang terletak di Beijing, China. Ia melihat masjid di sana berarsitektur persis seperti rumah ibadah umat Buddha atau Konghucu.

Kemudian Ali menjelaskan filosofi atau makna dari arsitektur Masjid Lautze adalah ‘nyentrik’. Karena baginya, sesuatu yang dibuat nyentrik akan menarik banyak mata untuk melihatnya. Walaupun terlihat aneh, namun tetap mempunyai prinsip.

Iklan

Baca juga: Sinyal Keberagaman dari Petak Sembilan

Ali memilih kuning sebagai salah satu warna yang mendominasi di Masjid Lautze. Bukan tanpa sebab, ia sebagai orang Hokkian bermarga Oei/Huang. Dalam bahasa Mandarin, Huang memiliki arti ‘kuning’. Oleh sebab itu, Koh Ali memakai banyak warna kuning untuk memperindah rupa dari Masjid Lautze. 

Begitu pula pengambilan nama masjid ini pun tak luput mengambil unsur bahasa Mandarin, yakni “Lautze” yang artinya adalah “guru” atau “seorang pujangga”. Penamaan Lautze juga terinspirasi dari nama jalan tempat masjid ini berada. Pengambilan nama dengan unsur Mandarin bertujuan untuk mengundang orang Tionghoa agar datang ke masjid dan mempelajari Islam. 

Gaya arsitektur sampai pemberian nama yang memiliki perpaduan Islam dengan Tionghoa agar tidak menghilangkan kearifan lokal di Indonesia. Lebih dari itu, memperlihatkan keanekaragam agama dan budaya di Indonesia. 

“Sebagai warga negara Indonesia dan seorang Muslim tak patut melupakan kebudayaan Tionghoa yang telah ada,” tutur Ali.

Bagi Ali hal-hal yang baik haruslah dijadikan contoh. Belajar dari Sunan Kudus yang tetap menjaga kearifan lokal ketika berdakwah. Sampai sekarang saat perayaan Idul Adha di Kudus hewan qurban sapi diganti dengan kerbau. Tujuannya untuk menghormati umat Hindu yang tinggal di sekitar Kudus. 

Seorang pengurus Masjid Lautze, Koh Apiyau menuturkan bahwa masjid yang berarsitektur Tionghoa itu menjadi sebuah gerbang untuk para mualaf mengakses rumah ibadah. Sebab, orang Tionghoa akan melihat masjid sebagai rumah sendiri sehingga mempermudah akses informasi seputar Islam. 

“Selama ini orang Tionghoa menganggap Islam itu negatif, Islam itu tukang kawin (poligami), Islam itu teroris,” ucap Apiyau.

Menurut Apiyau, orang Tionghoa yang Mualaf merasa nyaman untuk beribadah dan mengenal agama Islam di Masjid Lautze. Sebab, arsitektur masjid ini begitu bersahabat. Serta, kegiatan-kegiatan di masjid ini ramah bagi para mualaf. Kegiatan seperti ketika salat tarawih orang Tionghoa yang baru menjadi mualaf akan diberi kesempatan untuk menjadi imam. Pergantian imam dilakukan tiap dua rakaat sekali. Tujuannya agar para mualaf mempunyai keberanian dan jiwa pemimpin. Lebih dari itu, kegiatan konseling di masjid ini selalu terbuka untuk para mualaf.

“Orang non muslim itu tidak pernah baca quran atau hadist, yang dia tau itu kita. Kita sebagai orang muslim harus kasih contoh yang baik,” terang Apiyau.

Iklan

 

Penulis/Reporter: Adam Farhan 

Editor: Sonia Renata