Di tengah krisis iklim yang masih terjadi, Menteri LHK menyebut pembangunan besar-besaran era Jokowi harus terus dilanjutkan, meski melalui deforestasi dan emisi karbon.
Isu perubahan iklim mendesak manusia untuk melakukan aksi nyata guna menekan kenaikan suhu dunia. Pasalnya, perubahan suhu, curah hujan, dan pola angin, mengakibatkan berbagai bencana alam, seperti banjir dan longsor yang terjadi di NTT beberapa waktu lalu. Bahkan, naiknya volume air laut akibat pemanasan global diprediksi akan menenggelamkan Jakarta. Salah satu cara menanggulanginya yakni dengan menekan angka emisi karbon. Maka, hutan memiliki peran penting dalam hal ini.
Sebagai negara yang memiliki luasan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia menjadi harapan dalam mengatasi perubahan iklim global. Untuk itu, pemerintah menargetkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030.
Sayangnya, upaya alih guna hutan demi kepentingan pembangunan juga masih terjadi di Indonesia. Pembangunan besar-besaran di era Jokowi telah mengorbankan jutaan hektar hutan Indonesia. Bahkan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menyerukan agar pembangunan tetap harus berlanjut meskipun terjadi emisi karbon dan deforestasi.
Hal ini disampaikan oleh Siti Nurbaya Bakar selaku Menteri LHK saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, pada Selasa (2/11/2021) kemarin. Pernyataannya pun ia sampaikan ulang melalui akun Twitter dan di website pribadinya. Sontak, hal ini menuai berbagai kritik oleh publik.
Dalam pertemuan tersebut, ia menjelaskan program Forestry and Other Land Use (FoLu) Net Sink 2030, yakni inisiasi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan upaya mandiri, dan 41 persen dengan dukungan finansial dan teknologi dari negara-negara maju. FoLu Net Sink 2030 sendiri dibuat oleh Indonesia karena telah turut meratifikasi Perjanjian Paris 2015, yakni kesepakatan negara-negara anggota PBB untuk menahan laju kenaikan suhu bumi agar hanya di angka 2 – 1,5 derajat celsius pada 2050 kelak.
“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,” ucap Siti Nurbaya dalam akun Twitter-nya pada Rabu (3/11/2021) kemarin.
Baca Juga:Nobel Perdamaian dan Pesan Kebangkitan Jurnalistik
Padahal, sehari sebelumnya, Jokowi mengklaim Indonesia berhasil menurunkan laju deforestasi secara signifikan pada 2021, bahkan terendah dalam dua dekade terakhir. Hal ini disampaikannya saat berpidato di KTT Perubahan Iklim PBB (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021). Kendati demikian, mengapa pernyataan Menteri LHK kontras dengan klaim capaian Jokowi? Padahal, Jokowi menyampaikan hal tersebut untuk membuktikan komitmen Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Memang, laju deforestasi Indonesia turun 75,03% atau menjadi 115,46 hektar (ha) sepanjang 2019-2020, dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462,46 ribu ha. Namun, penurunan tersebut belum bisa dikatakan sebagai suatu pencapaian yang patut dibanggakan. Dengan daratan Indonesia seluas 191.944.000 ha, 115,46 ha diantaranya telah terdeforestasi, atau setara 65 kali luas Yogyakarta. Artinya, 1,1% daratan Indonesia telah terdeforestasi selama periode 2019-2020.
Angka tersebut bukan hanya pengisi statistik belaka. Deforestasi tentu juga merubah aspek kehidupan masyarakat yang terkena dampaknya, sebagaimana terjadi di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Masyarakat Desa Sumberagung dan sekitarnya menganggap Gunung Tumpang Pitu sebagai pusat mata air bagi pertanian dan kebutuhan rumah tangga, dan juga sebagai acuan arah nelayan. Selain itu, Gunung Tumpang Pitu juga menjadi benteng alami untuk menghadang bahaya tsunami, sebagaimana saat terjadi tsunami pada 1994. Bagi warga, keberadaan Gunung Tumpang Pitu telah meminimalisasi jumlah korban saat itu. Tanaman obat-obatan yang berguna bagi masyarakat setempat, juga tumbuh di gunung tersebut.
Namun, Gunung Tumpang Pitu kini telah dikeruk menjadi tambang emas sejak masuknya PT. Bumi Suksesindo dan PT. Damai Suksesindo pada 2012 silam. Deforestasi akibat pembangunan secara masif dan terstruktur, seperti yang terjadi di Tumpang Pitu, telah menyebabkan kerusakan ekologis dan ekonomi warga. Jika Menteri LHK menyebut pembangunan besar-besaran harus terus dilanjutkan, maka peminggiran masyarakat yang mengandalkan hutan sebagai ruang hidupnya akan terus berlangsung.
Masyarakat sekitaran Tumpang Pitu mungkin akan geram mendengar Menteri LHK yang mengatakan bahwa menghentikan pembangunan atas nama zero deforestation, sama dengan melawan mandat UUD 1945 untuk kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat. Pasalnya, apa yang diuntungkan bagi mereka dengan adanya tambang emas yang dibayar dengan gunung? Jika memang tambang emas lebih menguntungkan warga sekitar Tumpang Pitu, tentu tak akan ada perlawanan dari warga untuk menolak tambang tersebut. Artinya, kita tak akan mengenal nama Budi Pego yang ditangkap karena menolak aktivitas tambang dan dituduh komunis.
Perubahan makna deforestasi ke arah positif oleh Menteri LHK, justru semakin mencerminkan sikap pemerintah yang cenderung berpihak pada pemilik modal. Sementara itu, masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan dan alam, semakin terpinggirkan.
Siti Nurbaya juga menganggap deforestasi dapat memberikan akses jalan kepada masyarakat yang berada di kawasan hutan. Ia mengklaim, banyak jalan yang terputus karena harus melewati kawasan hutan, seperti di Kalimantan dan Sumatera.
Logika seperti ini justru mengancam keberlangsungan hidup masyarakat desa yang sejatinya bergantung pada alam. Pembangunan mengilhami terjadinya transformasi desa ke kota. Kehadiran negara yang menganggap bahwa kehidupan di desa cukup terbelakang dan terisolasi, menjadi pembenaran bagi pemerintah untuk merubah nilai-nilai yang sudah ada di desa. Padahal, kesenjangan ekonomi terlihat jelas di kehidupan kota.
Melihat “niat baik” pemerintah untuk memberikan akses jalan kepada masyarakat pedalaman, tentu tak lepas dari kepentingan komersil. Di satu sisi, jalanan memang dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat desa. Namun di sisi lain, jalanan lebih menguntungkan bagi perusahaan yang telah merebut ruang hidup masyarakat. Jalanan yang disediakan pemerintah juga akan menjadi akses bagi mobil-mobil pengangkut material tambang, atau pembangunan pusat perbelanjaan dan kantor-kantor. Artinya, yang dikatakan Menteri LHK deforestasi dan pembangunan menawarkan akses jalan, sebenarnya bukan ditujukan kepada masyarakat yang “terisolasi”, melaikan kepada pemilik modal.
Jokowi, yang digadang-gadang sebagai rezim pembangunan, nyatanya tak dapat memberikan jawaban atas tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Pasalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya kenaikan angka kemiskinan selama periode Maret 2020 hingga Maret 2021. Jumlah orang miskin di Indonesia sudah mencapai 27,54 juta orang pada Maret 2021. Jumlah ini membuat tingkat kemiskinan mencapai 10,14 persen dari total populasi Indonesia. Dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin meningkat 0,36 persen, atau naik 1,12 juta orang.
Adanya pandemi Covid-19 memang menjadi faktor utama penyebab kenaikan tersebut. Namun, Covid-19 tetap tidak menghentikan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Lantas, apa urgensi pembangunan jika angka kemiskinan tetap meningkat? Selain itu, masalah krisis lingkungan juga masih belum terselesaikan. Pembukaan hutan secara besar-besaran masih terus terjadi. Maka, deforestasi atas nama pembangunan bukanlah solusi.
Penulis : Hastomo Dwi P.
Editor : Sultan Bayu A.