Nobel Perdamaian 2021 diberikan kepada jurnalis Dmitry Muratov dan Maria Ressa. Hal ini menandakan adanya angin segar akan kebangkitan jurnalisme secara global.

Nobel Perdamaian tahun ini dimenangkan oleh Dmitry Muratov dan Maria Ressa. Keduanya merupakan jurnalis senior yang sudah lama berkecimpung di dunia jurnalistik. Dmitry Muratov terkenal akan perjuangannya lewat surat kabar Novaya Gazeta, yang secara konsisten menjadi oposisi pemerintahan Vladimir Putin. Sementara Maria Ressa, merupakan salah satu pendiri surat kabar Rappler, yang terus menegakkan kebebasan pers di Filipina.

Rasanya, ini merupakan sinyal positif dunia jurnalistik. Terakhir kali Nobel Perdamaian diberikan kepada seorang jurnalis adalah era 1930an. Ketika itu jurnalis asal Jerman, Carl von Ossietzky, berhasil membongkar rencana persenjataan diam-diam Jerman yang berpotensi melanggar Perjanjian Versailles pada 1926. Dirinya sebagai jurnalis juga tidak kenal gentar atas intimidasi yang dilakukan pemerintah. Hal tersebutlah yang membuat dirinya diganjar sebagai pemenang Nobel Perdamaian edisi 1935.

Komite Nobel Norwegia menyatakan bahwa pemberian Nobel Perdamaian kepada keduanya adalah karena jasa mereka menegakkan kebebasan berekspresi sekaligus membela kebebasan pers di lingkup wilayahnya. Seperti yang dilakukan Maria Ressa di Filipina, ketika media yang dia naungi, yaitu Rappler dengan terus mengkritisi kampanye Anti-Narkoba yang mematikan dari Presiden Duterte.

Baca Juga: Menteri LHK Dukung Pembangunan Besar-besaran, Hutan Makin Terancam

Tidak jauh berbeda dari Maria, Dmitry Muratov juga merupakan seorang jurnalis yang secara konsisten berjuang membela kebebasan berekspresi di Russia. Lewat Novaya Gazeta, Dmitry terus mendorong kebebasan berekspresi dan independensi media di Russia. Mengingat kematian enam jurnalis Novaya Gazeta sejak tahun 2000 yang dikenal sangat vokal terhadap pemerintah.

Iklan

Pemberian Nobel Perdamaian ini dapat juga dilihat sebagai kembalinya marwah jurnalisme klasik, yang memfokuskan diri pada pengulikan fakta dan pengungkapan kebenaran. Dewasa ini, jurnalisme semacam itu sangat jarang dilakukan media. Ditambah peran media sebagai pengawas kekuasaan atau pilar keempat demokrasi juga menyusut akhir-akhir ini.

Jika merujuk pada Bill Kovach, pengawasan kepada kekuasaan merupakan salah satu elemen dalam sembilan elemen jurnalisme. Sayangnya, disiplin ini juga mulai terganggu dengan adanya konglomerasi dan relasi kuasa yang membuat independensi wartawan dipertanyakan. Misal, jurnalis A tidak mungkin memberitakan keburukan dari perusahaan yang menjadi cabang dari medianya. Konflik kepentingan tersebut lah yang menghambat independensi jurnalis.

Namun, secercah harapan dapat kita lihat dari media Novaya Gazeta pimpinan Dmitry Muratov, beberapa jurnalisnya terkenal tidak takut akan tekanan. Bahkan, mereka senantiasa menjadi pengawas kekuasaan di Rusia meskipun nyawa yang menjadi taruhannya. Salah satu jurnalis mereka, Anna Politkovskaya, meregang nyawa setelah ditembak di lift blok apartemennya oleh orang tak dikenal tepat pada hari ulang tahun Presiden Putin. Dirinya dikenal sebagai wartawan yang tak kenal takut dalam mengungkap kasus korupsi besar-besaran pejabat Rusia dan pelanggaran HAM di kawasan Kaukasus Utara.

Hendaknya media dapat menjadi mata pengawas dan pengawal pemerintahan. Apalagi, di era digital ini, di mana banjir informasi melanda ruang-ruang publik. Peran jurnalis sebagai penguak kebenaran juga rasanya amat diperlukan, terutama pada masa penurunan indeks demokrasi dunia. Menurut RSF dalam kurun waktu 2021 terdapat sekitar 73 negara yang melakukan pemblokadean terhadap kebebasan pers. Sementara menurut Economic Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi negara mengalami penurunan secara global.

Maka, hendaknya momen penghargaan Nobel Perdamaian ini dijadikan suatu momentum bagi kebangkitan jurnalisme. Terutama bagi jurnalis di negara-negara dengan kebebasan pers yang sedang dikekang. Untuk Indonesia sendiri, penghargaan ini hendaknya dimaknai sebagai semangat baru perlawanan jurnalis terhadap misinformasi, disinformasi serta kebohongan post-truth.

 

Penulis  : Izam Komaruzaman

Editor    : Yoga A.