Ketidakstabilan ekonomi dan simpang siur informasi keringanan UKT, membuat Salimah terpaksa putus kuliah. 

Suara bising kendaraan lewat menghiasi sambungan telepon kami dengan Salimah. Di sela kesibukannya membantu menjaga toko obat milik keluarga, tidak banyak yang tahu dia terpaksa putus kuliah karena masalah keuangan.  

Salimah diterima kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Jerman lewat jalur Penmaba UNJ. Setelah proses administrasi di Siukat selesai, ia mendapatkan UKT golongan III dengan besar Rp 3.700.000 per semesternya. Awalnya hal ini tidak menjadi masalah besar, namun setelah ayahnya di-PHK semuanya berubah.

Salimah terpaksa mengakhiri studinya tahun lalu. Kesulitan membayar UKT adalah penyebab utamanya. Ketika masih aktif berkuliah, segala kebutuhan finansial hanya mengandalkan penghasilan dari ayahnya. Awal semester satu, Salimah mengaku sang Ayah masih menyanggupi bayaran kuliah. 

“Waktu semester satu, Ayah gue masih bisa bayar UKT dan segala macemnya. Pas bayar juga sempet ngutang, cuma, kan, dulu masih bisa lunasin. Tapi waktu akhir tahun kemaren pas pandemi reda, Ayah gue kena PHK,” ucap Salimah.

Dia menambahkan sebelum Ayahnya terkena PHK, beliau sudah memiliki firasat akan dikeluarkan dari perusahaan. Sehingga Ayah Salimah memilih menyisihkan uang untuk mendirikan toko obat bersama Bude-nya.

Iklan

“Bude sama Ayah gue sama-sama urunan modal buat bikin toko obat,” pungkasnya.

Benar saja, Ayah Salimah terkena PHK. Ekonomi keluarganya terguncang. Toko obat yang dirintis sebelumnya menjadi sumber pencaharian utama keluarganya. Kondisi ini membuat Salimah berpikir ulang untuk meneruskan kuliahnya. Ditambah ia memiliki  kakak dan yang masih membutuhkan biaya pendidikan. 

Bukannya menerima begitu saja keterbatasan ekonominya. Salimah sebetulnya pernah memperjuangkan mimpi untuk terus berkuliah. Terhitung ia pernah mencoba mengajukan keringanan UKT. Sayangnya, Salimah tidak mendapat banyak informasi terkait hal tersebut. 

Gue nggak tau persis sistem buat ngajuin keringanan UKT ini kayak gimana karena simpang siur. Gue baru tau kalo diminta buat masukin transkrip IPK, padahal gue masih semester satu,” keluhnya.

Baca juga: https://lpmdidaktika.com/kewajiban-beli-buku-memberatkan-mahasiswa/

Saat pengumuman pengajuan keringanan UKT tiba, Salimah tidak menemukan namanya di antara mahasiswa yang menerima bantuan. Lantas, ia langsung menghubungi salah seorang dosen Pembimbing Akademik-nya untuk memberitahukan itu. Dosen tersebut sekadar menyarankan Salimah untuk menghadap WR II bersama orang tuanya.  

Salimah menuruti saran sang dosen. Ia bersama Ayah-nya datang menghadap ke WR II.  Akan tetapi, ketika tiba di depan gedung Rektorat, langkah kaki Salimah terasa berat. Ia pesimis, sebab tidak ada jaminan sama sekali, alasan dirinya mengajukan keringanan UKT akan diterima oleh birokrasi kampus.

Tak ingin kecewa, Salimah mengurungkan niatnya. Ia memilih untuk meyakinkan orang tuanya, bahwa keputusan untuk berhenti kuliah harus diambil. Salimah mengikhlaskan semuanya. Keputusan ini semata ingin memprioritaskan adik-adiknya. Setelahnya dia membuat surat pengunduran diri, guna kebutuhan administrasi kepada pihak kampus.  

Gue gak enak sama orang tua kalo harus bayar UKT karena biaya sekolah adek-adek gue masih ditanggung mereka. Jadi, yaudah lah…” helanya. 

Salimah berharap dapat melanjutkan kuliahnya dan mendapatkan beasiswa agar tidak membebani orang tuanya.

Iklan

 

 Penulis : Syiva Khairunissa

Editor : Asbabur Riyasy