Beberapa waktu yang lalu, kita semua disibukkan oleh pengalihan isu mengenai freeport, seperti papa minta saham. Dan sekarang, yang sedang hangat diperbincangkan mengenai teroris di Jakarta. Lalu bagaimana mahasiswa menyikapi hal ini? Apakah memberitahu lewat media sosial, bila itu hanya pengalihan isu akan menyelesaikan masalah?
Siapa yang tidak tahu PT Freport Indonesia? Seperti yang kita semua tahu, freeport adalah perusahaan emas terbesar di dunia yang sebagian sahamnya dimiliki Amerika, yang telah berdiri sejak 1967. Sampai saat ini, hasil tambang berupa emas, tembaga, dan perak hanya menyejahterakan kaum elite politik Indonesia saja. Kemiskinan makin merajalela di bumi Papua, kabar terbaru tentang perpanjangan kontrak antara Indonesia dan Amerika juga semakin membuat rakyat Papua sengsara.
Sadar atau tidak, kepedulian mahasiswa terhadap masalah ini mulai memasuki periode degradasi atau hampir mati suri. Walaupun begitu, tetap ada mahasiswa yang menyerukan dan memperjuangkan keadilan atas nama rakyat. Meskipun, dengan cara-cara yang berbeda tentunya. Beberapa tipe dibawah ini mungkin mewakili kepedulian mahasiswa menanggapi apa yang sedang terjadi sekarang.
Tipe pertama, di tujukan kepada mereka yang terperangkap dalam sistem pendidikan Indonesia. Mereka menjalani aktivitas seperti robot setiap hari, di mana keteraturan kehidupan sudah diatur sebelumnya. Kuliah pulang-kuliah pulang (kupu-kupu) ungkapan yang sering ditujukan untuk mereka. Mereka terisolasi oleh tugas-tugas. Sistem Kredit Semester (SKS) yang di terapkan membuat mahasiswa harus cepat lulus dengan IP yang tinggi. Mereka berpikir bahwa bahagia ditentukan ketika mereka berhasil menjadi bagian dalam sistem pendidikan kampus itu.
Kepentingannya sendiri nomor satu di atas kepentingan lainnya. Sikap individualisme ini lah yang di sukai kampus. Ini berarti, kampus berhasil membungkan dan membisukan mahasiswa sebagai pembawa perubahan. Hal seperti ini pernah terjadi di Indonesia tahun 1990-an. Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus(NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) seperti mengebiri kegiatan aktifitas politik mahasiswa. Segala kegiatan politik diluar senat, BEM dan lain-lain dianggap ilegal. Karena kebijakan itu, kegiatan mahasiswa jauh dari kegiatan mengkritisi kebijakan pemerintah. Tetapi, mungkin saat ini tanpa adanya kebijakan NKK dan BKK pun aktivitas mahasiswa terasa mati. Adanya sistem SKS yang merupakan kebijakan dari orde baru mungkin bisa menjadi alasan.
Tipe kedua adalah mereka yang melakukan tindakan di dunia maya. Mereka cenderung lebih suka berkoar-koar di media sosial. Membagikan post-post tentang freeport, mengomentari berita-berita berbau freeport dan tidak jarang tipe pertama, selalu menyambung-nyambungkan berita dengan freeport agar terlihat rasa kepedulian mereka terhadap freeport.
Mereka lebih suka bergulat dengan teori. Teori itu digunakan untuk menyindir pemerintah, tetapi tidak jarang mereka menyindir orang lain. Sakit memang, tapi bukankah hanya menyindir pemerintah dirasa belum cukup. Sama halnya seperti kita membicarakan seseorang, tetapi orang itu tidak tahu apa yang kita bicarakan. Itu sama saja seperti memberikan pendapat yang tidak di dengar. Bukankah hal itu tidak akan menyelesaikan masalah?
Tipe ketiga adalah mereka yang bergerak di dunia nyata, seperti aksi atau demo. Tipe ini mempunyai massa yang cukup banyak. Mereka menyuarakan suara rakyat, mereka melindungi rakyat dan mereka berjuang untuk rakyat dari kebijakan pemerintah yang menyimpang. Tetapi biasanya kurang jelas, rakyat seperti apa yang mereka perjuangkan. Tidak jarang, masih banyaknya mahasiswa yang ikut aksi atau demo karena gengsi belaka. Mudahnya mereka untuk menerima ajakan dari orang lain, untuk mengikuti aksi tanpa tahu akar permasalahan, biasanya mahasiswa seperti ini, merasa terpaksa dan hanya bertahan sebentar.
Belum lagi, adanya oknum-oknum yang memanfaatkan niat tulus mahasiswa untuk mengkritisi dan menolak kebijakan pemerintah, yang sekiranya berdampak tidak baik untuk rakyat. Seperti kasus malari tahun 1974, di mana karena adanya rivalitas antara Jendral Soemitro dengan Ali Moetropo mengakibatkan rusaknya citra gerakan aksi mahasiswa saat itu. Niatan awal mahasiswa untuk menentang modal asing, terutama Jepang masuk ke Indonesia. Tercoreng karena adanya kerusuhan yang sengaja dilakukan oleh oknum yang memiliki kepentingan lain.
Tetapi, tipe kedua dan tipe ketiga jika dimanfaatkan, akan berguna dalam era globalisasi ini. Tipe kedua bisa memanfaatkan teknologi media elektronik sebagai jalan menyalurkan aspirasi mengenai freeport. Pembuatan vidio semenarik dan sekreatif mungkin saya kira bisa menjadi kegiatan untuk mengajak dan menyadarkan mahasiswa pengguna media sosial untuk ikut peduli terhadap kemiskinan yang terus melanda teman kita di Papua. Media surat kabar online juga diperlukan sebagai media propaganda guna memperluas kesadaran mahasiswa, bahkan rakyat.
Sedangkan tipe ketiga, dengan dibekali oleh pengetahuan yang cukup mengenai freeport, dengan membaca buku, sering mengikuti kegiatan diskusi dan menyimak perkembangan freeport akan memudahkan kita untuk mengetahui rakyat apa yang sedang kita bela? Penyadaran seperti ini yang diperlukan oleh para aktivis agar tidak gampang terprovokasi oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab.
Tetapi, mahasiswa dalam menyikapi hal ini jangan hanya bergerak di dunia maya atau bergerak melalui aksi untuk selebrasi politik saja. Perlunya sikap yang tegas dan adil dalam menanggapi hal itu. Dalam hal ini refleksi atau teori dan tindakan diperlukan agar bukti nyata dari keinginan perubahan itu dapat dicapai.
|
|||
Hendrik Yaputra