Sebelum teriakan reformasi mengudara dan terwujud. Rambut gondrong mendapat cap buruk bahkan dianggap subversif. Buku Dilarang gondrong karya Aria Wiratma menjelaskan rambut gondrong jadi kambing hitam kekuasaan orde baru. Kambing hitam secara terstruktur adalah ciri khas pemerintah otoriter dan fasis seperti Nazi menunjuk Yahudi dan minoritas sebagai penyebab masalah sosial.

Upaya pengkambing hitaman tidak lain merupakan upaya pelanggengan kekuasaan, salah satunya framing media terhadap simbol musuh kekuasaan. Dalam buku itu pula, framing pemberitaan yang menyudutkan orang berambut gondrong. Padahal jika dipikir secara rasional sambing ngopi, rambut gondrong justru menyulitkan tindakan kriminal. Maling jika rambutnya gondrong akan kesulitan membobol.

Asal usul orang gondrong jadi simbol buruk memiliki sejarah. Budaya gondrong di Indonesia merupakan pencerminan remaja orde baru terhadap counter culture budaya Hippies barat. Pada tahun 60-an sampai 70-an muncul gerakan penolakan terhadap wacana besar barat khususnya Imperialisme Amerika. Gerakan ini pula dikenali dengan kiri baru yang dilandasi ideologi revolusioner.

Trend rambut gondrong adalah fenomena masuknya kebudayaan barat yang diawali oleh kebijakan ekonomi liberal orde baru. Namun jadi ironi saat kebudayaan barat dianggap merusak kebudayaan ‘’pancasilais’’ justru Indonesia menghambakan ekonomi barat.

Di buku yang sama, Aria menjelaskan bahwa gerakan-gerakan besar seperti Peristiwa Malari diawali dari ABRI merazia rambut gondrong. Jelas saja, aparatus negara (meski tidak semua) selalu aktif berupaya menekan budaya semacam ini apalagi bisa sporadis. Aparatus negara yang dimaksud mencakup institusi akademik yakni, universitas.

Universitas seharusnya jadi wadah berpikir berlandaskan pemikiran progressif, malah jadi polisi moral. Hal ini jelas berdampak buruk pada pengembangan intelektualitas mahasiswa, penilaian moralitas tidak lain adalah ide-ide lama yang terlepas dari kebutuhan jaman.

Iklan

Padahal nilai moral dan norma bersifat relatif. Moral dan norma merupakan seperangkat pengetahuan seperti panduan berkehidupan sehari-hari. Sebagai perwujudan pengetahuan, keberadaan tidaklah absolut atau natural melainkan warisan generasi sebelumnya. Jadi bisa selalu diubah jika sudah usang dan bikin kekolotan yang nyata.

Kedudukan pengetahuan menjadi kekuatan bagi penguasa. Generasi tua yang telah masuk ke dalam lapisan makna moralitas lama otomatis mendapat legalitas untuk memonopoli makna. Di sisi lain, kaum pemuda menghadapi realita sosial yang sudah berubah sementara nilai moral masih sama. 

Alhasil, wacana yang berkembang tidak lain adalah keseragaman dan budaya yes-man. Serta merta budaya kritis dan semangat perubahan lenyap entah kemana.

Omong kosong bila kampus harus melahirkan insan yang manusiawi dan plural, sejak dalam pelaksaannya saja akademik menjadi ideologisasi budaya lama.

Di kampus yang mulia ini, UNJ, nilai baik buruk dikuasai oleh aparatus ideologi negara yakni birokrasi dan dosen. Sehingga hal sederhana seperti gaya berpakaian harus diatur sesuai kekuasaan. Sebagai kekuasaan absolut birokrat kampus dibantu dosen terus saja melakukan penghisapan intelektualitas alih-alih membangun. 

Gaya berpakaian dianggap jadi cerminan intelektualitas akademisi. Jadi suatu kewajaran bila dalam ruang diskursus akademis sekecil kelas perbedaan di suruh keluar ruangan. Toh budaya lama harus langgeng!

Padahal banyak pertimbangan dan alasan yang jadi dasar kenapa seorang akademisi memilih untuk melanggengkan budaya tertentu. 

Pledoi: Saya disuruh keluar cari sepatu seakan sepatu tinggal dipetik dari pohon.

Tulisan ini sejati berawal dari pengalaman penulis yang disuruh keluar ruangan oleh figur dosen supaya cari sepatu. Jika secara sederhana, ini dapat dibenarkan karena ada segudang alasan berupa aturan akademis atau kampus yang mendasarinya tanpa pernah membuka ruang perdebatan akademisi.

Apa sebenarnya substansi dari pelaksanaanya? apakah dengan memakai sepatu maka lengkap sudah keilmuan seseorang? apakah sendal menjadikan seorang buta pengetahuan atau inferior? Pertanyaan-pertanyaan ini sering luput, diremehkan atau bahkan di represi.

Iklan

Sebuah omong kosong struktural jika pertanyaan ini dijawab dengan pernyataan-pernyataan normatif moral atau norma yang normatif.

Sejauh tiga paragraf ini memang hal-hal ini terdengar konyol, tapi kita harus sadar bahwa kebenaran adalah sebab akibat. Seperti yang sebelumnya disebutkan, hal kecil seperti rambut gondrong adalah salah satu pemicu kejadian sebesar reformasi. Maka sejatinya jika kita sama-sama mendambakan perubahan, hormatilah realita dan kebenaran yang plural. Dengan landasan itu, kami juga mendambakan perubahan ke arah yang lebih baik, sesuai dengan pemikiran gerak sejarah, makin hari dunia mengarah ke arah rasionalitas. Tapi tidak bisa cuma menuggu waktu akan mengubah, manusia sebagai materi harus menggerakan sejarah.

Faisal Bahri