Isu pemberhentian tidak adil sembilan buruh outsourcing di UNJ ditentang perusahaan. Mereka menyatakan tidak memotong gaji buruh untuk ikut sekolah paket berbayar.

Sembilan buruh PT CTP mengeluh pemberhentian kerja secara tidak adil. Para pekerja diberhentikan oleh perusahaan karena jenjang pendidikan mereka yang tidak sesuai kualifikasi. Padahal para pekerja mengaku telah mengikuti perintah perusahaan untuk mengikuti jenjang pendidikan non-formal, yaitu sekolah paket.

Selama bersekolah, gaji mereka dipotong sebesar Rp500.000 per bulan oleh pihak perusahaan. Potongan itu cukup memberatkan untuk mereka yang diupah hanya Rp3.500.000 per bulan. Masih ada selisih dibandingkan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta sebesar Rp 5.390.000.

Namun, setelah menamatkan sekolah, sembilan buruh PT CTP tersebut tetap harus gantung sapu. Mereka mengeluhkan tidak adanya kepastian mendapat kompensasi dari pihak perusahaan.

Demi memperjuangkan hak pekerja tersebut, sekitar puluhan massa, terdiri dari mahasiswa dan buruh outsourcing UNJ mengadakan konsolidasi di Taman Demokrasi (31/01). Konsolidasi itu diadakan untuk merespons isu pemberhentian kerja tidak adil sembilan buruh PT CTP di UNJ.

Salah satu buruh PT CTP di UNJ, Ukiran, mengaku diberhentikan karena adanya ketentuan baru, berupa batas maksimal umur pekerja. Ukiran menyebut, batas umur maksimal yang ditentukan perusahaan hari ini adalah 50 tahun.

Iklan

Meski begitu, Ukiran merasa ragu untuk memperjuangkan haknya. Sebab, ia melihat buruh lain memilih untuk berhenti bergerak. Ia menilai, hal itu terjadi karena kawan-kawannya takut berhadapan langsung dengan perusahaan.

“Umur saya sudah lebih dari 50 tahun. Kalau bisa kerja lagi untuk menutupi biaya Rp3.500.000 untuk kemarin mengikuti sekolah paket. Saya tidak setuju dengan pemberhentian ini, “ ungkapnya.

Mahasiswa Prodi Pemasaran Digital, Rahman Hakim, menilai pemberhentian sembilan buruh PT CTP tidaklah adil. Menurutnya, para buruh sudah didorong untuk mengikuti sekolah paket berbayar oleh perusahaan, sehingga tidak seharusnya mereka diberhentikan dengan alasan jenjang pendidikan yang rendah.

Lebih lanjut, Ketua Green Force UNJ itu menyebut seharusnya para buruh masih dapat bekerja. Sambil mengikuti sekolah paket hingga setara dengan jenjang pendidikan yang ditentukan perusahaan.

“Para buruh harus kembali dipekerjakan dan tidak boleh ada lagi isu pemberhentian kerja semena-mena di kampus. Mahasiswa juga seharusnya lebih aktif dan mau bersolidaritas terhadap isu semacam ini,“ ungkap Rahman.

Tanggapan PT CTP

Pasca konsolidasi, puluhan massa bersama PT CTP ingin berdiskusi pada Jumat, 31 Januari 2025 di Gedung M, UNJ. Namun, PT CTP mengalihkan pertemuan ke hari Senin, 3 Februari 2025.

Ketika ditemui sesuai dengan kesepakatan baru, di Gedung M UNJ, Human Resource Development (HRD) PT CTP, Zakiy Adzani membantah adanya pemberhentian kerja tidak adil dan pelanggaran hak-hak pekerja di perusahaannya. Menurut Zakiy, PT CTP telah memenuhi semua hak buruh. Baik berupa pembayaran upah, jaminan sosial, hingga tunjangan hari raya (THR).

“PT CTP bekerjasama dengan UNJ pada Januari 2024. Sedangkan sembilan pekerja mengambil sekolah paket A pada pertengahan 2023. Seharusnya pemotongan upah untuk sekolah paket menjadi tanggung jawab perusahaan sebelumnya, yakni PT PIP,” ujarnya.

Lebih lanjut, Zakiy mengatakan, alasan PT CTP tidak memperpanjang masa kerja sembilan buruh lantaran terhalang ijazah dan usia. Tuturnya, misal pekerja PT CTP memiliki batas minimal ijazah setara sekolah menengah pertama (SMP) dan maksimal berusia 50 tahun. Tambahnya, apabila sembilan buruh tersebut telah memenuhi syarat ijazah yang diatur PT CTP, maka mereka diperbolehkan untuk melamar kembali.

Iklan

Sementara itu, menanggapi upah yang berada di bawah ketentuan UMP, Zakiy menyebut bahwa PT CTP menetapkan gaji sebesar Rp3.500.000 per bulan karena keterbatasan keuangan perusahaan. Serta, mempertimbangkan status pekerja yang merupakan tenaga harian lepas.

Sedangkan terkait kompensasi bagi buruh yang kontraknya tidak diperpanjang, Zakiy menyatakan bahwa perusahaan tidak memiliki kewajiban untuk memberikannya karena mereka berstatus pekerja harian lepas. Selanjutnya, ia menyebut PT CTP telah membayarkan THR kepada para pekerjanya sebesar Rp1.500.000. Walaupun pekerjanya belum genap setahun bekerja di PT CTP, semenjak transisi perusahaan pada Januari 2024.

“Biasanya pekerja harian atau kontrak di Jakarta hanya diupah sebesar Rp2.500.000. Sedangkan di PT CTP para pekerja diupah sebesar Rp3.500.000. Itu sudah termasuk layak, kami berkomitmen untuk memberi yang terbaik kepada pekerja,” katanya.

Diskusi Lanjutan

Pada Rabu (12/02) dilakukan diskusi antara pihak PT CTP dengan para buruh yang diberhentikan. Mereka bilang tidak begitu mengingat kronologi ketika mengikuti sekolah paket A, sehingga enggan berbicara.

Sementara itu, buruh PT CTP yang tidak diberhentikan, Euis, turut dihadirkan dalam diskusi tersebut dan angkat bicara. Ia menyatakan bahwa sekolah paket berbayar memang terjadi pada pertengahan 2023 atas imbauan PT PIP, perusahaan outsourching sebelumnya.

“Dari pertengahan hingga akhir 2023, saya ikut sekolah paket C (setara SMA). Selama itu, gaji saya dipotong Rp500.000 per bulan,” ungkap Euis.

Pernyataan ini kemudian dibenarkan oleh Sophie yang sebelumnya mengklaim bahwa pemotongan gaji dilakukan oleh PT CTP. Dalam diskusi terakhir, ia mengakui bahwa sekolah paket berbayar yang ia ikuti berlangsung saat masih bekerja di PT PIP pada 2023.

“Iya, saya ikut sekolah paket ketika masih bekerja di PT PIP, bukan di PT CTP,” tutup Sophie.

Reporter/penulis: Andreas, Adam, Alfira, dan Zaki 

Editor: Zahra Pramuningtyas