Aliansi Perempuan Indonesia (API) mengadakan aksi protes bertajuk Perempuan Menggugat Negara, pada Senin (25/11). Aksi tersebut merupakan bentuk pengawalan dari 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP).
Aksi dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan titik kumpul di depan Mall Sarinah, massa melakukan short march sampai pada patung kuda. Aksi Perempuan Menggugat Negara ini dihadang aparat—mereka tidak diperbolehkan menuju ke istana negara. Ironisnya, jumlah polisi yang menjaga melebihi jumlah massa yang mengikuti aksi.
Pada aksi ini, terdapat tiga tagline yang menjadi fokus utama permasalahan untuk disuarakan. Adapun permasalahannya adalah: Hapus kekerasan terhadap perempuan; Hentikan proyek pembangunan merusak alam; juga Stop intimidasi dan kriminalisasi perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM).
Salah satu orator dari Komunitas Kelas Muda, Fani Juantika Fahmi menjelaskan, aksi peringatan 16 HAKTP merupakan peringatan bagi pemerintah yang kehadirannya tidak mampu menjamin keamanan bagi perempuan. Ia menilai, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadangkan dapat bermanfaat bagi masyarakat justru memberikan banyak dampak buruk dalam pelaksanaannya.
Lebih lanjut, Ia mengkritik dampak besar yang diciptakan pemerintah bagi masyarakat luas dengan adanya pembangunan PSN. Oleh sebabnya, Fani beserta kawan API akan terus mengawal dan memberikan advokasi perihal keamanan perempuan Indonesia di tengah laju pembangunan PSN kepada seluruh masyarakat.
“Masyarakat banyak yang tergusur dan lahan tani juga banyak yang diambil, itu semua merupakan bagian dari dampak yang diberikan oleh Proyek Strategis Nasional (PSN) yang saat ini kita sedang perjuangkan bersama-sama,” ujar Fani.
Baca juga: Lingkaran Setan Partisipasi Politik Perempuan
Selaras dengan Fani, salah satu massa aksi, Dila mengatakan terdapat segudang agenda proyek pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan perempuan dan kelompok rentan. Perampasan lahan dan ruang hidup sudah seperti santapan sehari-hari bagi perempuan. Tidak hanya itu, pendistribusian anggaran pun acapkali malah merugikan perempuan.
“Misalnya pada kenaikan PPN 12% menjadi beban tersendiri bagi perempuan. Bagaimana tidak? Hal tersebut memungkinkan semakin banyak perempuan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya, itu permasalahan struktural yang dilakukan negara,” tukasnya.
Dila menegaskan, aksi 16 HAKTP merupakan perjuangan yang tidak akan berhenti sampai di sini. Pasalnya, kawan-kawan yang tergabung di Aliansi Perempuan Indonesia akan terus melanjutkan agenda kampanye anti kekerasan terhadap perempuan lewat media sosial.
“Mari kita perluas dan upayakan bersama, berteriak bersama, kalau tidak kuat berteriak minimal kita berbisik, kemudian bersatu,” ucap Dila.
Seorang buruh garmen yang tergabung dalam massa aksi, Sri Rahmawati menyatakan diskriminasi yang dihadapi buruh perempuan dalam pabrik cukup tinggi. Seperti rendahnya tingkat kenyamanan bekerja sampai pelecehan, juga tidak semua perempuan yang menjadi korban dapat bersuara. Hal tersebut yang menjadi alasan dirinya dan teman-teman lain tidak berhenti dalam perjuangan menyuarakan hak perempuan.
Sri menambahkan, edukasi tentang hak-hak yang dimiliki perempuan sangatlah penting. Ia mengatakan, kesadaran ihwal hak perempuan tidak hanya disuarakan oleh buruh perempuan atau perempuan kota, kesadaran itu juga harus dimiliki oleh perempuan adat yang mendapatkan diskriminasi.
“Penyadaran terhadap hak perempuan merupakan bentuk penjagaan terhadap keberlangsungan hidup perempuan,” pungkasnya.
Reporter/penulis: Safira Irawati dan Siva Nur’Ajizzah
Editor: Anna Abellina Matulessy