Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 akan segera berlangsung, kontestasi politik untuk menentukan kepala daerah baik tingkat kabupaten, kota maupun provinsi itu akan digelar pada 27 November. Berbagai cara dilakukan para calon kepala daerah untuk meraih dukungan publik, salah satunya dengan kampanye.
Namun sayangnya, kampanye dalam Pilkada 2024 masih diwarnai tindak seksisme terhadap perempuan. Tindakan seksisme diartikan sebagai sikap atau perilaku dan kebiasaan merendahkan satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lain.
Tidak sedikit calon kepala daerah yang mengeluarkan pendapat merendahkan perempuan. Seperti yang terjadi pada debat perdana Pilkada Banten, Calon Wakil Gubernur Banten Dimyati Natakusumah mengeluarkan pernyataan merendahkan perempuan. Ia menyebut perempuan tidak boleh diberikan beban yang berat, salah satunya menjadi gubernur.
Pernyataan tersebut dilontarkan kepada lawan politiknya, yaitu Calon Gubernur Banten Airin Rachmi Diany. Tak ayal, pernyataan kontroversial tersebut mendapat banyak kecaman publik, terutama dari aktivis perempuan.
Selain diutarakan secara langsung, tindakan seksisme juga tercermin pada alat peraga kampanye. Salah satunya pada baliho kampanye pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman nomor 2, yaitu Harda Kiswaya dan Danang Maharsa. Dalam baliho itu terdapat kalimat seksis berupa “Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok, IMAM (PEMIMPIN) KUDU LANANG”
Jika diartikan, kalimat tersebut sungguh merendahkan perempuan dengan menampilkan pesan perempuan tidak berhak dan tidak kompeten menjadi pemimpin. Stigma pemimpin harus laki-laki akhirnya semakin langgeng direproduksi.
Kasus-kasus serupa juga terjadi pada pemilihan legislatif beberapa bulan yang lalu. Berdasarkan data Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), sebanyak 84,1 persen calon anggota legislatif perempuan pernah menyaksikan dan menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Ruang politik yang seharusnya menjadi arena adu kompetensi berdasarkan visi, misi dan kemampuan kerja akhirnya menjadi tidak ramah bagi perempuan. Adu gagasan dan kompetensi tidak dapat dilakukan, yang terjadi justru keberadaan perempuan dalam ruang tersebut tidaklah benar dan menyimpang.
Maka, tidak aneh jika partisipasi politik perempuan cenderung rendah. Sebab, sekalinya mereka terjun dalam ranah politik, selalu ada ancaman mendapatkan tindakan seksisme maupun kekerasan berbasis gender.
Pemerintah semestinya berperan dalam menciptakan arena politik yang berkeadilan gender, tetapi hal ini belum menjadi perhatian serius. Terlihat dari solusi semu berupa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 65 ayat 1 tentang Keterwakilan Perempuan. Dalam peraturan itu, partai politik mencalonkan anggota legislatif untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Meskipun sudah diatur dalam perundang-undangan, nyatanya persentase perempuan yang terpilih tidak pernah mencapai angka tersebut. Seperti pada Pemilu 2024, tercatat keterpilihan perempuan hanya mencapai angka kurang lebih 22 persen.
Selain keterwakilan dalam parlemen, Indonesia juga mengalami krisis partisipasi perempuan dalam pemilihan kepala daerah. Berdasarkan data yang dihimpun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, per tujuh November hanya 331 (10.66 persen) calon kepala daerah perempuan dan 2.733 (89.34 persen) calon kepala daerah laki-laki.
Kedua hal tersebut, dapat terjadi sebab tidak pernah ada undang-undang yang secara tegas mewajibkan partai politik mendorong keterwakilan perempuan. Undang-undang ada pun dibuat hanya sebatas anjuran semata.
Pemerintah seharusnya menerapkan undang-undang tersebut dengan tegas. Selain itu, pendidikan gender kepada masyarakat harus lebih digalakkan, agar tindak seksisme yang dialami perempuan tidak terus berulang.
Baca juga: Omong Kosong Ruang Aman Perempuan
Masyarakat Patriarki dan Hegemoni Maskulinitas
Minimnya peran pemerintah dalam membangun masyarakat anti-patriarki, merupakan ciri negara yang masih terjebak dalam hegemoni maskulinitas laki-laki. Maskulin sendiri merujuk pada sifat, karakteristik atau perilaku yang biasanya dikaitkan dengan laki-laki. Dalam konteks budaya, maskulinitas selalu berkelindan dengan kekuatan fisik, keberanian, dominasi, ketegasan dan kemampuan melindungi.
Meminjam istilah Raewyn Connell, seorang sosiolog asal Australia yang menjelaskan tentang hegemoni maskulinitas dalam bukunya yaitu Masculinities. Connell berpendapat bahwa maskulinitas hegemonik merupakan nilai dominan yang diyakini dan diidealkan dalam suatu masyarakat tertentu. Adapun konsekuensi tidak mengikuti nilai tersebut adalah tersingkirkan dari tatanan sosial.
Sederhananya, jika di Indonesia kepemimpinan masih selalu dikaitkan dengan maskulinitas yang identik dengan laki-laki. Maka, mereka yang tidak memenuhi standar tersebut akan sulit menjadi pemimpin.
Sementara itu, keberadaan perempuan masih lekat dengan stereotip “keibuan” dan makhluk yang “lemah lembut”. Tentunya keadaan tersebut menyebabkan tersingkirkannya peran dan eksistensi perempuan dalam partisipasi politik. Maka, tidak aneh jika akhirnya banyak pernyataan bernada merendahkan terhadap kompetensi perempuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Watak pemerintah yang hanya memberikan solusi semu pada masalah minimnya keterwakilan perempuan, juga dapat dibaca melalui teori Simone de Beauvoir. Feminis eksistensialis asal Perancis tersebut menyebut bahwa dalam masyarakat patriarki perempuan hanya dianggap sebagai the other, dalam arti tersisihkan pada struktur sosial.
Dalam karyanya yang terkenal yaitu buku berjudul Second Sex, de Beauvoir melihat bahwa eksistensi perempuan masih menjadi objek pasif yang keberadaannya bergantung pada laki-laki. Hal tersebut dapat terjadi akibat adanya relasi kuasa yang inheren antara laki-laki dan perempuan.
Relasi kuasa yang inheren dapat dibedah melalui dominasi laki-laki pada struktur sosial, ekonomi dan budaya. Dalam konteks Indonesia, ketiga dimensi tersebut saling berkelindan untuk membentuk sebuah relasi kuasa yang akhirnya mengenyampingkan keberadaan dan peran perempuan.
Pada konteks struktur sosial di Indonesia, perempuan masih terbebani dengan nilai-nilai konservatif yang hanya menempatkan mereka sebagai pengurus rumah tangga. Contohnya saja pada beberapa adat patriarki dalam budaya Jawa, yang seringkali lebih mengutamakan anak laki-laki dibanding perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan.
Selain pada struktur sosial, dominasi wacana pada bidang ekonomi juga masih dipegang oleh laki-laki. Masih marak adanya kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, kebutuhan perempuan akan hak cuti menstruasi, hamil dan melahirkan pun belum semua dapat merasakannya.
Pada bidang budaya, perempuan di Indonesia sering direpresentasikan sebagai objek estetis atau seksual dalam iklan dan hiburan. Seperti pada dipilihnya perempuan sebagai brand ambassador produk laki-laki seperti rokok, serta maraknya talent perempuan pada ajang perlombaan e-sport. Perempuan tidak dibutuhkan berdasarkan kemampuannya, namun hanya sebatas penampilannya saja untuk menarik perhatian laki-laki.
Budaya patriarki yang berkembang semakin mengecilkan peran dan keberadaan perempuan dianggap sebagai subordinat saja. De Beauvoir saat itu tengah tergila-gila dengan filsafat eksistensialisme milik Sartre, yang memang sedang marak di Perancis. Ia akhirnya melihat celah upaya peminggiran peran dan keberadaan perempuan.
Filsafat eksistensialisme sendiri menekankan pada upaya pembebasan individu untuk menentukan keberadaan mereka sendiri agar dapat “eksis” di masyarakat. De Beauvoir menawarkan pembebasan perempuan dengan peningkatan kesadaran diri sebagai objek aktif, yang keberadaannya tidak bergantung pada laki-laki.
Selain itu, ia juga mendukung penguatan organ gerakan perempuan untuk bersolidaritas untuk dapat bersama-sama menyadari penindasan struktural yang mereka alami. Tidak hanya sadar, namun gerakan perempuan juga harus dapat melawan dan menuntut perubahan sistemik baik dalam kebijakan maupun budaya.
Meskipun tawaran de Beauvoir memang dominan merujuk pada kesadaran pribadi dan tidak struktural, karena memakai pendekatan filsafat eksistensialisme. Namun, dorongan untuk memperkuat peran dan gerakan perempuan bisa menjadi solusi bagi perempuan di Indonesia.
Indonesia pernah memiliki gerakan perempuan yang masif dan progresif, yakni Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Organisasi yang aktif pada Orde Lama ini aktif dan konsisten menyuarakan pandangan kritis terhadap perlindungan perempuan.
Mereka dengan tegas menuntut pemerintah membuat undang-undang tentang perlindungan hak-hak perempuan. Gerwani menentang isu perizinan poligami yang acapkali merugikan perempuan, dan penghapusan pernikahan di bawah umur
Meskipun undang-undang perkawinan yang mengatur hal tersebut baru disahkan pada 1974, setelah GERWANI dibubarkan Orde Baru. Namun, gagasan dan tindakan advokasi Gerwani sebelumnya menjadi dasar wacana hukum yang lahir dan melindungi perempuan.
Perempuan harus menyadari segala upaya diskriminasi terhadap mereka harus dilawan, ketika terjadi tindakan seksisme perempuan harus bersolidaritas. Dengan begitu, partisipasi perempuan dalam sektor publik, khususnya politik dapat meningkat.
Penulis: Zahra Pramuningtyas
Editor: Andreas Handy