Ribuan orang memenuhi lapangan depan Gedung R Kampus A Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 11 sampai 12 November 2017. Hari itu, mahasiswa asal Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa Jepang UNJ menyelenggarakan acara yang menarik ribuan pengunjung dari dalam dan luar Jakarta untuk ikut serta dalam Jiyuu Matsuri alias Jimat yang bertema Digitized World.
Menggunakan nuansa kemajuan teknologi, Jimat tahun ini dilengkapi acara-acara baru berupa seminar berjudul “Hidup Bersama Robot” yang dibawakan oleh PT. Sari Teknologi. Selain seminar, terdapat juga lomba-lomba akademis yang pesertanya dibuka untuk siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat. Ada pula workshop yang menghadirkan seorang komikus Veteran, Sweta Kartika, yang juga merupakan pengarang komik sains fiksi, H20 Reborn, dan bahkan rumah hantu yang disiapkan bertajuk Deep Web.
Selain itu, acara tahunan yang selalu digelar ialah panggung musik yang menjadi pusat acara, deretan penyuka kebudayaan Jepang terlihat bersatu di depan panggung menikmati naik turunnya nada suara lagu yang berputar dibawakan oleh penampil. Kemudian, kios-kios cendramata dan kuliner asli Negeri Matahari Terbit berjajar disamping kanan dan kiri area acara.
Lomba-lomba tahunan, seperti lomba menyantap makanan khas Jepang—Takoyaki dan Ramen—juga masih dipertahankan. Ada pula lomba-lomba kreatifitas, seperti lomba menyanyi dan Dance Cover, yang merupakan lanjutan dari Pra-Event Jimat. Tak kalah menarik acara Jimat tahun ini, terdapat banyak orang menjadi costume player (cosplayer) karakter dari animasi Jepang.
Beberapa pengunjung mengapresiasi acara Jimat tahun ini. Sebab, memiliki keseruan yang sama dengan tahun sebelumnya. Satya Christian, Mahasiswa Universitas Darma Persada (UNSADA), mengaku tiap tahun selalu muncul di UNJ saat ada Jimat. Namun, menurutnya, acara Jimat tahun ini tidak sesuai dengan tema yang tercantum. “Gak ada unsur teknologinya. Cuma ada stand motor,” tambahnya.
Berbeda dengan Satya, ketua Komunitas Pecinta Budaya Jepang asal Grogol Irfan Pandu justru mengapresiasi pemilihan. Ia menganggap tema tahun ini kekinian karena berhubungan dengan teknologi.
Andhika Kurniawan, selaku Ketua Pelaksana Jimat 2017, menyatakan bahwa tema acara ini diterima cukup baik. Sebab, pesertanya mampu melewati target yang diberikan—mencapai 200 orang. “Mungkin pengunjung pasti beda seleranya, tapi Itu akan masuk bahan evaluasi kami nanti,” tuturnya saat diwawancarai oleh Tim Didaktika pada Minggu 12, November 2017.
Jiyuu adalah kebebasan
Acara kebudayaan ini muncul di UNJ pada 2008. Kala itu, masih memiliki nama Bunkasai yang diterjemahkan menjadi “perayaan”. Lebih dari 9 tahun yang lalu, pelaksanaan acara ini diragukan oleh berbagai pihak, termasuk dosen.
Ketua pelaksana acara Jimat tahun lalu Yohanes Frenky mengisahkan, meski dulu sempat diragukan, para mahasiswa Jepang UNJ berhasil mendapat pengakuan melalui bukti acaranya. Misalnya, berhasilnya kembang api mengudara (tanda usainya Jimat) di akhir acara. Kegiatan ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, termasuk dosen.
“Makna Jiyuu atau bebas bukanlah bebas tanpa aturan, melainkan kebebasan untuk berekspresi. Di acara Jimat, semuanya bebas menunjukan kesenangan terhadap budaya Jepang,’’ kata Dika.
Faisal Bachri