Pada 2016,images Indonesia telah memulai agenda liberalisasi bernama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan suatu bentuk pelepasan bentuk tanggung jawab pemerintah kepada rakyat. Pemerintah tidak memiliki kedaulatan untuk mengatur dan melindungi rakyatnya, tetapi semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan demikian, logika yang dipakai adalah menghalalkan persaingan antar-individu dengan tidak memedulikan negara.

Hal ini tentu saja berdampak bagi seluruh ranah kehidupan termasuk pendidikan. Pendidikan di Indonesia—terutama jenjang universitas— mesti dapat bersaing dengan universitas lain di luar negeri. Tak hanya itu, universitas juga diharapkan dapat menciptakan lulusan yang dapat diterima di pasar kerja. Lalu, bagaimana dengan cara universitas di Indonesia untuk memenangkan persaingan? Cara yang dilakukan oleh universitas adalah dengan memajukan mutu pendidikan berlabel internasional bernama International Organization for Standardization (ISO). Ironis, ketika ISO yang notabene digunakan untuk manjemen organisasi suatu perusahaan—yang menuntut standar mutu kerja dan hasil produksi—juga diterapkan dalam ranah pendidikan.

Sebenarnya, wacana label internasional universitas sudah lama didengungkan. Label internasionalisasi sudah mulai dirintis sejak 2009.  Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pun tak ingin ketinggalan, ia sudah bergerak mencari label mutu internasional mulai 2010. Dimulai dengan beberapa jurusan yang telah mendapatkan ISO, perpustakaan, dan beberapa unit pelayanan teknisnya. Harapannya pada 2019, seluruh UNJ sudah bersertifikat ISO dan berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH).

Sekilas nampak tak ada masalah dengan UNJ yang ingin memburu selembar kertas ISO. Akan tetapi, proses memburu ISO juga memberikan dampak buruk kepada mahasiswa. Salah prasyarat kampus mendapatkan ISO adalah fasilitas yang memadai mahasiswa. Masalahnya, kampus tidak memiliki dana sendiri untuk melakukan perbaikan tersebut. UNJ pun mengajukan pinjaman dana kepada pihak asing, salah satunya adalah Islamic Development Bank (IDB) untuk mengubah tampilan kampus jadi lebih layak.

Celakanya, ketika sudah memiliki fasilitas yang lebih layak, kampus tidak memiliki dana lebih untuk melakukan perawatan fasilitas. Dana yang sudah pasti didapat oleh kampus berasal dari mahasiswa. Alhasil, kampus memanfaatkan ini dengan menerima mahasiswa dengan jumlah yang sangat besar. Tak hanya itu, biaya kuliah UNJ pun menjadi mahal melalui penerapan UKT. Memang, pemerintah yang menetapkan besaran UKT, tetapi kampus yang menjalakan UKT tersebut.

Iklan

Pemerintah menyediakan kisaran kuota 5 persen untuk mahasiswa yang tidak mampu. Akan tetapi, data Litbang LPM Didaktika pada 2014 menunjukkan kuota 5 persen yang disarankan oleh pemerintah bagi mahasiswa yang kurang mampu, tidak pernah sampai 5 persen. Belum lagi banyak ditemukan ketidakserasian antara jumlah pendapatan orang tua yang diisi oleh mahasiswa dan ketetapan besaran UKT yang diterima mahasiswa saat diterima di UNJ.

Hal ini tentu saja merugikan mahasiswa, tak sedikit mahasiswa yang tidak sanggup membayar uang kuliah. Data Litbang Didaktika menunjukkan setiap tahunnya ada mahasiswa baru yang mengundurkan diri sejak pemberlakuan UKT 2012, tiap tahunnya sekitar 30-50 mahasiswa mengundurkan diri.

Masih dalam pemenuhan untuk memiliki dana sendiri, UNJ pun melakukan komersialisasi untuk setiap asetnya. Mulai dari melakukan penyewaan ruangan untuk berbagai macam kegiatan hingga komersialisasi parkir yang sejak pemberlakukannya pada 2014 menimbulkan masalah. Ini tentu saja konsekuensi logis dari status UNJ yang berstatus Perguruan Tinggi yang menerapkan Pengelolaan Keuangan-Badan Layanan Umum (PK-BLU). Pada PK-BLU, kampus mendapatkan otonomi untuk mencari pendapatannya sendiri dan sedikit bantuan dari pemerintah.

Tak cukup sampai disitu, rektorat menargertkan bahwa pada 2019, UNJ sudah berstatus PTN-BH. Perguruan tinggi dengan status PTN-BH, sudah tidak mendaptakan dana lagi dari pemerintah. Artinya, kampus memiliki kewenangan seluas-luasnya untuk membiayai dirinya sendiri, apa pun caranya. Ketika masih berstatus BLU saja banyak mahasiswa yang menjadi korban, apalagi jika sudah berstatus Badan Hukum.

***

Apakah mahasiswa diam saja? Sebenarnya, ada beberapa mahasiswa baik yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) maupun kelompok solidaritas lainnya yang melawan. Akan tetapi, gerakan mahasiswa—terutama BEM—cenderung kooperatif dengan pihak kampus. Tak hanya itu, dalam tubuh BEM sendiri dikuasai oleh organisasi-organisasi ekstra kampus yang berafiliasi dengan partai politik dan hanya bertujuan untuk mendapatkan kader yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan partai politk tersebut. Ini tentu saja tidak demokratis. Hubungan afiliasi BEM dengan partai politik dapat disaksikan dengan gamblang tanpa perlu analisis mendalam, ketika Ketua BEM pada Januari lalu diancam dikeluarkan oleh kampus.

Kampus pun bereaksi dengan cepat, ketika ada mahasiswa melakukan. Rektorat seakan alergi dengan adanya kritik. Rektorat tak segan untuk melakukan ancaman Drop Out (DO) bagi yang dianggap merongrong kewibawaan rektorat. Kasus DO pada Januari lalu merupakan bukti nyata bahwa kampus antikritik. Beruntung bagi mahasiswa yang bergabung dengan organisasi ektra kampus yang memiliki afiliasi dengan partai politik. Ia bisa diselamatkan oleh bantuan “kakanda”. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa yang mengkritik kampus tetapi tidak ikut organisasi ekstra yang berafiliasi dengan partai politik?

Tak hanya itu, beberapa kali pejabat kampus menyatakan bahwa kritik dapat mengurangi akreditasi yang diraih oleh UNJ. Pada 2015 lalu, UNJ mendapatkan A dari BAN-PT. Menurut pejabat kampus tersebut, jika banyak kritik, maka citra yang sudah dibangun oleh UNJ akan buruk dan akan sulit mendapat label internasional. Ini tentu saja aneh, kampus menolak budaya akademik. Antikritik merupakan sifat diktatur. Jika mutu internasional yang hanya ingin diraih UNJ, dengan mengorbankan mahasiswa dengan semua dinamikanya, apakah layak jika UNJ masih berstatus Perguruan Tinggi Negeri? Tak hanya itu, mutu internasional yang ingin diraih oleh kampus semata-mata untuk bisinis. Bisnis pendidikan memang baik. Tapi, tidak baik menjadikan pendidikan sebagai bisnis.

Virdika Rizky Utama