Menjelang akhir September, bangsa Indonesia memiliki ingatan kolektif terhadap sebuah gerakan kelam. Gerakan tersebut dinamai oleh Soeharto dengan nama Gerakan 30 September (G30S), yang terjadi pada 1965. Enam jenderal  dan satu orang polisi menjadi korban atas gerakan tersebut. Soeharto menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai aktor intelektual gerakan tersebut.

Alhasil, dalih ini yang kemudian digunakan oleh Soeharto untuk membunuh anggota maupun simpatisan PKI. John Roosa dalam buku dalih pembunuhan massal mencatat setidaknya ada 3 juta orang yang dibunuh oleh tentara. Tak cukup sampai disitu, pada masa Soeharto menjadi presiden, dibuat film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Isinya, kejamnya PKI dan hadirnya Soeharto sebagai penyelamat.

Ihwal tuduhan PKI menjadi otak pembunuhan dan kebenaran film tersebut banyak diragukan. Sudah banyak buku atau penelitian yang coba membantah itu semua. Oleh sebab itu, pada tulisan ini tidak akan dibahas mengenai kebenaran gerakan dan siapa dalangnya. Bagi saya yang menarik dibahas dari peristiwa itu adalah efek setelah gerakan G 30 S.

***

Hanya satu kata yang dapat menggambarkan Indonesia setelah peristiwa G 30 S yakni mencekam. Tetesan darah rakyat Indonesia sangat mudah dijumpai. Tidak ada hari tanpa pembunuhan. Pembunuhan ditujukan bagi mereka yang dianggap dekat dengan PKI. Meski pun, hanya sebatas teman main catur, ia akan masuk daftar pencarian untuk dibunuh.

Iklan

Rakyat yang pada 20 tahun sebelumnya bersatu untuk memerdekakan diri. Kini, demi kepentingan kekuasaan saling bunuh untuk mempertahankan hidup. Pembunuhan bukan hanya dilakukan oleh tentara, melainkan pasukan partikelir yang dipersenjatai. Pada buku Palu Arit di Ladang Tebu karya Hemawan Sulistiyo menyebutkan, Soeharto memanfaatkan konflik simpatisan PKI dengan warga yang terjadi pada masa Soekarno, untuk membalaskan dendam.

Termasuk kalangan Islam, pada periode Soekarno, PKI sedang gencar melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) dan menyebut tuan tanah sebagai tujuh setan desa yang patut diganyang. Para Kiai masuk dalam kriteria tuan tanah sebab, mereka memiliki tanah yang luas untuk pesantren dsb.

Pemerintah Soeharto pun mengampanyekan bahwa PKI tidak bertuhan, yang sangat jelas bertentangan dengan Pancasila. Namun bukan hanya pembunhan, pemerintah Soeharto pun memenjarakan dan membuang mereka yang dianggap dekat dengan PKI ke Pulau Buru. Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun ditulis eks tahanan politik, mereka tak bisa bebas untuk bekerja, mengenyam pendidikan dan penghidupan lainnya. Kejadian tersebut berlangsung selama 32 tahun.

Sejarah bukan hanya berbicara ruang dan waktu, melainkan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang tercabut selama Soeharto memimpin. Sudah semestinya pula, pemerintah meminta maaf kepada keluarga korban, seperti yang pernah dilakukan oleh Gus Dur. Bukan bermaksud untuk balas dendam sejarah dan menganggap korban itu makhluk suci tanpa pernah melakukan salah sebelumnya. Jika sudah meminta maaf bukan berarti kita harus melupakan sejarah, melainkan untuk dijadikan pembelajaran untuk masa mendatang. “We should forgive but not forget. Truth and reconciliation are the only hope for nations that are bitterly divided,” ungkap Nelson Mandela.

***

Satu hal yang berbuah sejak G30S adalah ekonomi. Pada buku pelajaran Sekolah, kejatuhan Soekarno bukan hanya masalah G30S, melainkan buruknya perekonomian dan terjadi inflasi hingga 600 persen. Perekonomian Indonesia saat itu, sangat tertutup bagi asing. Soekarno coba mengimplementasikan idenya tentang tri sakti, berdaulat di bidang ekonomi dan politik serta berkepribadian dalam budaya.

Bagi Soekarno, tri sakti sebagai bentuk perwujudan Indonesia merdeka. Kemerdekaan yang dimaksud termasuk proteksi dan penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Pada dekade 1950, Soekarno pun menasionalisasi semua perusahaan asing yang ada di Indonesia. Tak hanya itu, Soekarno pun menolak tawaran pembangunan jalan trans Sumatera yang digagas oleh Caltex, dengan syarat Caltex diizinkan melakukan pengeboran minyak. Hal ini sesuai dengan konstitusi pasal 33.

Setelah Soeharto naik tahta, kehidupan ekonomi berubah drastis. Diberlakukannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA), diyakini sebagai prasyarat demi membangun Indonesia. Freeport merupakan perusahaan asing yang kali pertama masuk dan menguras gunung emas di Irian Jaya. Setelah itu, perusahaan asing lainnya pun berdiri di tanah Indonesia. G30S hanya sebagai jalan untuk masuknya korporasi dan demi itu semua, 3 juta rakyat dikorbankan.

Sudah hampir 50 tahun Freeport dan korporasi lainnya beroperasi, tapi tidak pernah sedikit pun berpengaruh bagi rakyat Indonesia. Konstitusi pasal 33 pun hanya sebatas menjadi bacaan, tanpa pernah dipraktikkan lagi. Seluruh hajat hidup orang banyak dikuasai oleh asing. Oleh sebab itu, pantas rasanya bila mengatakan bahwa Indonesia belum merdeka.

Virdika Rizky Utama

Iklan