Dua hari terakhir (4—6 Januari 2016) situasi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sedang panas. Musababnya Rektor UNJ, Djaali mengeluarkan surat pemberhentian—Drop Out—Ronny Setiawan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNJ. Djaali menanggap Ronny melanggar hukum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena menyebarkan ajakan untuk mendemo rektorat. Sejak dua hari tersebut, saya dan punggawa didaktika banyak mendapat pertanyaan dari kawan-kawan pers mahasiswa, alumni dan relasi lainnya.
Namun, drama dua hari tersebut berakhir anti-klimaks dengan kesepakatan damai antara Ronny dan Djaali yang difasiltasi oleh Jazuli Juwaini, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Padahal, di sekretariat BEM UNJ sudah tersedia spanduk besar bertuliskan: Hanya Satu Kata, Lawan!!!. Jalan damai dengan melibatkan politisi PKS tersebut sebenarnya sudah kami duga. Ada satu kelompok organisasi ekstra kampus yang memiliki kepentingan yakni kaderisasi dan regenerasi organisasi tersebut—terbukti dengan melibatkan politisi PKS. Kemudian, mereka coba memboncengi isu-isu kampus lainnya untuk mendapatkan massa.
Kasus Drop Out ini bermula ketika mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) melakukan demonstrasi menolak pindah dari Kampus B ke Kampus A. Alasan mereka awalnya ialah kurangnya fasilitas. Akan tetapi, ketika mewawancarai beberapa mahasiswa lain, jawabannya adalah ketakutan akan tidak fokusnya kaderisasi gerakan. Bagi sebagian besar mahasiswa UNJ, sudah menjadi rahasia umum jika organisasi ekstra kampus tersebut menguasai FMIPA. Mereka mengubah cara, aksi pertama yang dilakukan mahasiswa FMIPA tidak mendapat perhatian lebih dari mahasiswa kampus A.
Mereka kemudian membuat pesan berantai di media sosial dengan mengumpulkan isu-isu kampus lainnya seperti masalah parkir, Uang Kuliah Tunggal (UKT) bahkan sampai kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Meski tuntutannya sangat teknis, tetapi mereka seolah-olah menjadi Ratu Adil. Padahal, sebelumnya mereka tidak aware dengan isu tersebut, terutama kasus pelecehan seksual. Mereka berhasil mengagitasi massa, bahkan berencana akan demonstrasi dengan jumlah massa yang sangat banyak jika mereka tidak berhasil berdialog dengan pimpinan kampus hingga tanggal 4 Januari 2016.
Pesan berantai sangat ramai akan melaksanakan aksi pada Selasa 5 Januari 2016, bahkan bahasanya sangat provokatif, ada kalimat “akan membakar rektorat”. Hingga Selasa siang tidak ada kerumunan massa sama sekali, aksi ini ternyata hanya ramai di dunia maya tapi kosong di dunia nyata. Akan tetapi, rektorat sudah telanjur khawatir dan bertindak reaksioner. Rektorat menggelar rapat pimpinan tingkat universitas dan membuat daftar nama mahasiswa yang ditengarai menyebarkan pesan aksi tersebut. Rektorat menuduh tindakan mereka mengancam ketertiban dan kenyamanan kondisi kampus.
Rust en Orde ala UNJ
Satu kalimat menarik tercantum dalam surat keputusan rektor untuk memberhentikan Ronny dari kampus—sebelum dianulir. “Tindakan (mengirim pesan berantai-red) yang tergolong sebagai perbuatan kejahatan berbabis teknologi dan tindakan penghasutan yang dapat mengganggu ketentraman dan pelaksanaan program yang diselenggarakan Universitas Negeri Jakarta.” Sengaja saya menggarisbawahi potongan kalimat tersebut, sebab selama ini kampus selalu menganggap orang dan atau organisasi yang melakukan kritik baik tulisan maupun lisan sebagai penganggu dan dapat membahayakan ketertiban kampus
Tindakan tersebut sering dinamakan politik kemanan dan ketertiban. Ini berguna untuk membungkam suara yang tidak sependapat dengan penguasa. Biasanya politik ini digunakan oleh penguasa diktatur di suatu negara untuk menutupi kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh penguasa—termasuk Soeharto. Politik ketertiban dan keamanan ini bukan hal baru di Indonesia. Ini pernah dilakukan oleh kolonial untuk mengamankan tanah jajahannya dari amuk penduduk pribumi. Selanjutnya, politik ini dilakukan kembali oleh Soeharto untuk membungkam aktivis dan lawan politiknya.
Pada saat ini, UNJ sepertinya coba menghidupkan politik tersebut. UNJ tidak segan untuk mengeluarkan mahasiswanya dari kampus jika berani bersuara lantang. Kasus Ronny—meski ada kepentingan organisasi ekstra dan berakhir antiklimaks— setidaknya dapat dijadikan shock therapy oleh kampus untuk membungkam siapa pun yang berani melancarkan kritik. Kemudian, untuk lebih membungkam kritik, kampus selalu menganalogikan hubungan antara rektorat/dosen dan mahasiswa bagaikan hubungan bapak dengan anak.
Tentu saja dengan analogi ini, anak diposisikan sebagai bawahan dan selalu mesti hormat dengan bapak. Jika berani melawan, maka dianggap tidak sopan, kurang ajar, dan tidak bermoral. Jika sudah demikian, terlebih masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai moral. Maka, mahasiswa harus selalu menghormati dan mematuhi rektorat atau dosen. Dengan demikian, maka raiblah kritisisme di kalangan mahasiswa.
Tak hanya itu, pimpinan universitas sangat keliru jika menerapkan politik ketertiban di dalam kampus. Ingat, ini kampus, tempat menjunjung tinggi budaya akademik. Berbeda pendapat dan mengkritisi sesuatu semestinya bukan menjadi perkara besar terlebih dapat membahayakan ketentraman universitas. Itu sangat berlebihan.
Saya dan anggota didaktika lainnya dari awal kasus DO, hanya fokus pada satu masalah yakni kebebasan berpendapat. Saat ini, kebebasan berpendapat menjadi barang yang sangat mahal. Bukan hanya di UNJ, melainkan di seluruh universitas. Tentu bukan hanya kampus yang menjamin kebebasan berpendapat melainkan individu-individu di dalamnya pun mesti terlibat. Saya masih ingat kelompok organisasi ekstra yang kampus memiliki kepentingan dalam kasus DO¸ pada 2013 berhasil mengusir Jalaludin Rakmat yang saat itu akan menyampaikan pidato dalam halal bi halal.
Sayangnya dalam nota damai antara Djaali dan Ronny tidak mencantumkan poin kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat baik lisan mau pun tulisan dijamin dalam konstitusi pasal 28. Jika kampus dan mahasiswa tidak menjamin kebebasan berpendapat, maka kampus dan mahasiswa layak dipertanyakan keakademikannya. Tak hanya itu, mereka juga melanggar konstitusi.
Jika kebebasan berpendapat sudah dilaksanakan, tahap selanjutnya rektorat harus mendemonstrasikan seluruh kehidupan di kampus. Mahasiswa dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan dan tidak ada hierarki antara rektorat/dosen dan mahasiswa sebagai bentuk upaya perwujudan memanusiakan manusia dalam dunia pendidikan.
Virdika Rizky Utama