Sebagai reaksi atas masifnya dampak pemanasan global, Indonesia sama seperti banyak negara lainnya berupaya mengurangi penggunaan energi fosil. Oleh karenanya, pemerintah mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan energi fosil.
Salah satu sumber EBT yang digenjot pemanfaatannya oleh pemerintah adalah geothermal (panas bumi). Berdasarkan data Handbook Of Energy & Economic Statistics Of Indonesia (HEESI) 2023, diketahui kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas (PLTP) telah melonjak dua kali lipat dari sepuluh tahun sebelumnya. Pada 2013 jumlah kapasitas terpasang PLTP sebanyak 1.343,50 megawatt (MW), sedangkan pada 2023 sebanyak 2.597,51 MW.
Namun dibalik lonjakan pemanfaatan energi geothermal itu, banyak dampak buruk yang didapatkan warga imbas dari hadirnya berbagai PLTP baru. Sebagai contoh pada Februari lalu, ratusan warga dilarikan ke rumah sakit karena menghirup gas beracun yang bocor dari uji sumur pembangkit PLTP di Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Sebagai bentuk protes dari berbagai permasalahan yang ditimbulkan dari PLTP, Koalisi Nasional Tolak Geothermal melakukan aksi demonstrasi di Gedung Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) pada Rabu (17/07). Dihadiri sekitar seratus massa aksi, mereka menuntut pemerintah untuk memberhentikan pengembangan proyek PLTP.
Koordinator Lapangan, Farhat mengatakan geothermal bukan energi bersih dan terbarukan seperti yang digaungkan pemerintah. Baginya, proyek geothermal mempunyai daya rusak yang sama seperti pada pertambangan umumnya.
“Pertambangan geothermal dapat menghasilkan amblesan karena injeksi air dilakukan secara masif. Terlebih lagi, sering terjadi kebocoran gas berbahaya berupa H2S (hidrogen sulfida) di PLTP,” ujar Farhat pada Rabu (17/07).
Tambah Farhat, pertambangan geothermal kerap memakan luas lahan yang begitu besar. Dirinya mencontohkan wilayah kerja panas bumi (WKP) di Gunung Gede Pangrango luasnya mencapai 92 ribu hektar. Hal ini menurutnya berpotensi akan adanya perampasan ruang hidup masyarakat.
Baca Juga: Uang Kuliah Tak Adil
Dadang adalah satu dari sekian petani di Gunung Gede Pangrango yang lahan perkebunannya berdiri di atas WKP. Dengan begitu dirinya bersama petani Gunung Gede Pangrango yang lain, menolak tegas pembangunan PLTP di daerahnya.
Tidak hanya menggusur lahan, menurut Dadang, PLTP Gunung Gede Pangrango berpotensi membuat krisis air bersih. Sebab pertambangan geothermal akan membutuhkan jumlah air yang besar.
Ia melihat warga yang sehari-harinya memakai air dari gunung, kini telah sulit menemukan air saat musim kemarau. Menurutnya, jika PLTP telah dibangun, kemungkinan warga makin sulit mendapatkan air bersih.
“Saya menolak tanpa syarat adanya pertambangan geothermal di Gunung Gede Pangrango, “ ucap Dadang.
Permasalahan yang diciptakan oleh PLTP sudah dirasakan oleh salah satu massa aksi, Tino di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Menurut kesaksiannya, PLTP mempengaruhi penurunan secara drastis hasil pertanian masyarakat di sana. Baginya, hal itu dikarenakan adanya gas H2S dari PLTP yang meningkatkan kadar keasaman pada tanaman.
“PLTP juga berdampak kepada rumah warga. Baru tiga bulan dipakai, asbes rumah warga langsung berkarat dan lapuk, “ ujarnya.
Anggota Koalisi Rakyat Untuk Hak atas Air (KRuHA), Sigit mengecam ekspansi pertambangan geothermal secara serampangan oleh negara. Baginya, permasalahan yang terus terjadi menandakan pemerintah tidak melakukan evaluasi terkait hal itu, dan justru malah semakin menyengsarakan rakyat.
“Yang kemudian jadi pertanyaan, transisi energi yang dilakukan pemerintah itu berkeadilan atau enggak?” Tegasnya.